Clara mencoba bersikap wajar. Dia masih santai makan mie ayam walau rasanya tenggorokannya tercekat. Leni plongak plongok terlihat shock.
"Sudah Bu, jangan gosipin orang paling berpengaruh di kampung ini. Nanti kita juga diusir," kata anak ibu itu mengingatkan. Ibu itu meminta Clara dan Leni untuk menyimpan rahasia itu. Dua gadis itu menyanggupinya.
Mereka hanya sebentar di warung itu. Mie ayam yang mereka pesan tidak ada yang sanggup menghabiskan.
"Ayo pulang saja Len," ajak Clara. Mengurungkan niatnya untuk melayat. Gadis itu sanggup menahan ekspresi terkejut dan air matanya di dalam warung. Tidak saat diluar warung. Air matanya bocor dengan deras. Leni buru buru menjalankan motornya menjauh dari warung. Sebelum ibu pemilik warung menyadari air mata Clara.
Leni menghentikan motornya ditepi jalan yang agak sepi. Ia prihatin dengan apa yang dialami temannya.
"Kamu gak papa Ra? Mau aku carikan minum biar sedikit tenang?" tanya Leni karena Clara terus menangis sesenggukan. Gadis itu menggeleng.
"Aku baik, tolong rahasiakan fakta ini. Biar aku yang menyelesaikan," kata Clara pada Leni. Mata mereka bertemu sejenak.
"Oke, kalau itu mau kamu. Aku akan tutup mulut dengan sangat rapat," kata Leni yakin. Clara mencoba tersenyum.
"Makasih ya Len," kata Clara.
***
Sampai rumah ternyata orang tua Clara juga baru sampai rumah. Mereka habis atur atur ketempat saudara. Artinya semua saudaranya sudah tahu tentang pernikahannya dengan Tama. Gadis itu cuma bisa menghembuskan nafas kasar….. Kemungkinan membatalkan pernikahan ini semakin mengecil. Dia tidak mungkin membuat orang tuanya malu..... Namun, benarkah dia sanggup?
Hpnya juga berbunyi. Pesan dari Mbak Galih dan Mbak Diah. Mereka mengirimkan beberapa foto kebaya akad yang cocok dengan tubuh Clara. Haaaa semua orang sudah sibuk menyiapkan pernikahan ini. Apa sanggup dia membatalkannya??? Tama jelas sudah membohonginya. Pria itu bukan pria baik yang seperti tampilannya. Dia punya anak diluar nikah. Dan meminta anaknya serumah dengan Clara kelak? Ha…. Ini menggelikan. Entah…. Clara bingung sendiri. Yang jelas dia harus bicara dulu dengan Tama, namun besok dia libur kursus. Besok adalah long weekend untuk semua orang. Tanggal merah di hari jumat. Artinya Jumat, Sabtu, Minggu dia libur kursus.
***
Clara habis mandi. Dia melihat Ibunya lagi asik nonton acara talk show.
"Ganti lah Bu, acara makan makan aja," rengek Clara.
"Bentar, ini penyanyi lawas favorit ibu lagi diwawancarai," jawab Ibu sambil memeluk remot.
"Heisss," Clara cuma bisa mendesis dan mencibir. Dia ikut larut dalam talk show itu.
Talk show itu membahas si artis yang harmonis walaupun punya anak sambung dari suaminya.
"Kalau berduit ya enak. Gak usah ngurusin anaknya kalau gak mau. Tinggal nyewa baby sitter beres urusan anak. Coba kalau suruh momong sendiri. Anak sendiri aja bikin pusing, apalagi anak orang lain. Uang emang bikin mudah mau gak bahagia kalau ada uang bisa bikin seneng. Yah…. Walaupun gak semua bisa dibikin seneng," kata Ibu berkomentar. Clara tersenyum kecut. Dia teringat masalahnya sendiri. Benar…. Bahkan Tama bilang kalau dia sewa baby sitter untuk Daus nanti.
"Tama juga orang kaya Nduk, ibu bersyukur untuk itu. Kamu gak perlu kerepotan gak punya beras di awal nikah atau banyak hutang setelah nikah. Dia juga anak baik. Semoga pernikahan ini membawa kebaikan untukmu," kata Ibu jadi sedikit melow. Clara cuma bisa manggut manggut. Baginya semakin tak ada kesempatan mundur dengan pesta yang digelar sekitar sebulan lagi.
"Hai," sapa Tama saat menjemput Clara pagi itu. Clara cuma tersenyum dan masuk mobil. Hari ini rencananya mereka mau cari seserahan dan beberapa printilan nikah lain. Clara mencarinya dengan tidak bersemangat, dan Tama menyadari perubahan sikap Clara itu.
“Kamu kenapa Yank?” tanya Tama saat mereka memilih makeup.
“Habis ini boleh kita ngomong Mas?” tanya Clara. Tama mengangguk.
Di sinilah mereka. Sebuah restoran ikan bertema pemancingan yang cukup terkenal di daerah sini.
“Pesan apa Yang?” tanya Tama sambil melihat daftar menu.
“Aku mau es cream coklat yang ukuran jumbo,” kata Clara kemudian menutup menu makanan. Langsung dicatat oleh waiters yang menunggu mereka.
“Gak makan?” tanya Tama heran. Clara cuma menggeleng.
“Aku pesan dua porsi nasi dan gurame bakar dan dua es teh manis Mas,” kata Tama.
“Kamu harus makan Yang. Ini udah lewat jam makan siang lho.” lanjut Tama. Clara cuma tersenyum. Menunggu wautres itu pergi menjauh.
“Kamu punya anak Mas? Apa Daus itu anakmu?” tanya Clara to the point. Ekspresi terkejut Tama tak bisa dia sembunyikan.
“Kamu tahu dari mana?” tanya Tama.
“Gak penting, aku mau penjelasanmu sejujur jujurnya,” kata Clara lekat memandang Tama. Yang dipandang menghela nafas dalam.
“Oke, aku mau jujur. Dengarkan ceritaku sampai selesai,” kata Tama mengawali kisah.
Tama dan Citra adalah sepasang kekasih sejak jaman SMP. Kedekatan mereka terjadi karena ibunya Citra bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Tama.
“Namun tentu saja kisah kasih kami ditentang oleh keluargaku. Kata Bapak kenapa harus berpacaran dengan anak babu. Aku tahu itu sangat menyakitkan untuk Citra dan ibunya. Sebenarnya tak ada yang salah dengan cinta kami. Citra itu gadis yang manis,” cerita Tama sambil pandangannya tertuju pada kolam ikan dibawah mereka. Dia seperti tersedot dalam lamunannya sendiri. Clara diam mendengarkan. Sisi hatinya ada yang begitu sakit dan perih. Tama jelas masih mencintai Citra.
“Aku masih menjalin hubungan dengan Citra saat aku kuliah di kota. Citra lulus SMP dan bekerja sebagai buruh harian lepas di pabrik kue. Kami sering bertemu walau diam diam,” kenang Tama. Dia tersenyum sendiri mengingat saat saat manis hubungannya dengan Citra. Nyatanya cinta pertama itu sulit terlupakan, apalagi dengan hubungan backstreet. Rasanya lebih mendebarkan dan menantang.
“Lalu?” tanya Clara karena Tama lama terdiam. Tenggelam dalam lamunannya. Pria itu sedikit tersentak dan menoleh ke arah Clara.
“Lalu hubungan kami ketahuan Bapakku. Saat itu aku baru saja diwisuda sarjana. Langsung didaftarkan ke Jepang. Aku dibuang keluar negeri agar bisa jauh dari Citra,” kata Tama. Rahangnya mengeras. Nyatanya hubungannya dengan sang bapak memang selalu tidak harmonis.
“Empat tahun tetap tidak merubah perasaanku pada Citra. Akan tetapi aku pulang dengan keadaan kecewa. Citra menikah dengan dengan pria pengangguran dari desa sebelah,” kata Tama sambil menghela nafas panjang.
Tama melihat Citra disia siakan suaminya. Pagi sehari setelah Tama pulang dari Jepang, Tama melihat sendiri citra dipukuli suaminya didepan matanya. Darah Tama mendidih, wanita yang selalu memenuhi mimpi dan nyatanya teraniaya seperti itu. Dengan dorongan Tama, Citra berani menggugat suaminya. Mereka berpisah.
“Dan api cinta yang dulu sempat mengecil diantara kami kembali membara. Pertentangan dengan bapakku kembali berlanjut. Aku nekat kali itu. Aku menghamili Citra agar dapat restu menikahinya,” cerita Tama.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments