Sweetest Nightmare
Hayden Brent Wilson terlihat sedang duduk tenang. Pribadi bersurai hitam legam itu menatap lekat permukaan meja bulat dari sebuah kafe yang tengah dikunjunginya. Ceceran berkas yang terdapat di sana, sukses mencuri atensi Hayden, seutuhnya.
Sejatinya, pria berparas tampan berusia tiga puluh tahun itu tengah menahan kegelisahan pada pikiran yang tengah luar biasa berkecamuk dengan begitu hebat.
"Jadi, Hayden ... apa kau benar-benar yakin dengan keputusan yang kau ambil?"
Pertanyaan itu mengalun dengan suara lembut, memecah keheningan, menelusup dalam rungu Hayden dengan begitu sopan. Atensi Hayden teralih, sedikit mendongakan pandangan, mempertemukan manik jelaga indahnya dengan manik mata hazel milik seorang gadis cantik yang duduk di hadapan, saling bersebrangan.
Agaknya, fokus Hayden terbagi pada beberapa hal yang tengah berputar dalam benak, hingga tidak begitu mendengarkan apa yang dibicarakan oleh sang lawan bicara.
Namun, kendati begitu, Hayden tentu tahu apa sebenarnya yang menjadi alasan dirinya saat ini berada di sana, menepati janji temu yang sudah terjadwalkan dari jauh-jauh hari sebelumnya.
Menjadi salah satu putra dari pemilik perusahaan yang saat ini tengah melejit di negaranya, bahkan cukup diketahui hampir di seluruh belahan dunia, tentu pertemuan yang Hayden hadiri sebagian besar berhubungan dengan bisnis.
Golden Hit Group. Perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata, properti dan kuliner. Ketiga element sempurna yang saling berkaitan itu, berada dalam genggaman orangtua Hayden.
Tentu tak lama lagi, perusahaan tersebut akan beralih tangan, yakni ke dalam genggaman Hayden dan juga sang adik - Jayden Wrent Wilson.
Pernikahan. Hanya sebuah pernikahan yang menjadi langkah akhir bagi Hayden untuk menempati posisi tertinggi di perusahaan milik kedua orangtuanya tersebut.
Bukan syarat yang menjadi perkara tersulit, karena jika Hayden mau, dia bisa menunjuk wanita manapun untuk ia nikahi, kalau hanya sekadar materi yang menjadi tujuan utama.
Hal itu tentu juga berlaku bagi Jayden. The perfect duo. Julukan yang orang-orang tujukan pada kakak beradik itu tentu bukan tanpa alasan.
Selain dari segi penampilan yang mampu memanjakan mata, materi dan kemapanan yang mereka miliki pun mampu membuat banyak wanita bersedia bertekuk lutut, berada di bawah kendali keduanya.
Namun, ada satu wanita beruntung yang telah berhasil membuat seorang Hayden menujukan atensi, bahkan mengganggu benaknya dengan tidak sopan, selama beberapa tahun terakhir ini.
"Janessa Kennely Jordan." Hayden menatap gadis cantik di hadapan dengan tatapan lekat, sulit diartikan.
Menaikan salah satu alis, membiarkan matanya sedikit memicing, menatap penuh telisik, detik berikutnya, Hayden mendapati dirinya terkekeh meremehkan, kala mengalihkan pandangan, sejenak.
Mengulum lidah dalam mulut, agaknya Hayden berusaha untuk menahan emosi yang tiba-tiba saja menyeruak, memenuhi rongga dada.
Pandangan Hayden kembali bertemu dengan gadis cantik bernama Jane itu.
Terkesan tajam, sarat akan ketidak sukaan, tatapan Hayden membersamai sudut bibirnya yang tertarik, mengulas senyuman sinis. "Apa yang membuatmu ragu akan keputusanku, Nona manis?"
Jane memutar bola matanya malas. Menyedekapkan lengan di dada, bersamaan dengan kedua tungkai yang saling bertopang, gadis itu duduk, menunjukan postur tubuh arogan. "Sudah dipikirkan dengan matang-matang?"
Kerutan samar memeta di kening Hayden, mewakilkan rasa herannya terhadap sosok gadis yang ia tahu, tidak begitu memperdulikan kehidupan orang lain, jika sama sekali tidak memberi keuntungan pada diri sendiri. "Kau ragu? Sejak kapan kau memikirkan apa yang akan kau lakukan secara berulang?"
Mendengkus jengah, Jane menurunkan kedua tangannya, menatap sosok Hayden dengan tatapan lekat, sesaat. "Baiklah."
Kepasrahaan terdengar jelas dari bagaimana Jane berucap. Pasrah pada keputusan yang terlanjur diambil oleh Hayden, atau memang sudah merasa cukup jengah jika harus bertatap muka dengan pria tampan itu, membuat Jane tidak memiliki sedikit pun niat untuk mengulur waktu.
"Aku tidak memiliki banyak waktu untuk meladenimu. Aku harus segera kembali ke kantorku."
Menata ceceran berkas yang berada di permukaan meja, adalah tindakan selanjutnya yang Jane lakukan, setelah memutuskan kontak mata yang masih berlangsung dengan Hayden.
"Kau sudah membaca semuanya, kan?"
Mempertemukan kembali pandangan, mendapati manik mata jelaga Hayden masih tertuju padanya, Jane tentu ingin memastikan.
Hayden mengangguk samar. "Sudah. Lalu?"
Rasa kesal sungguh tak terelakan, membuncah dalam relung, hingga mati-matian Jane harus menahan diri agar tidak melayangkan pukulan atau paling tidak sekadar tamparan di permukaan wajah berharga milik Hayden.
Mendengkus, menatap Hayden dengan tatapan malas, menunjukan raut wajah masam pun gusar, Jane tahu, bahwa dirinya akan terlibat dalam masalah yang cukup pelik, jika membiarkan emosinya menguasai diri.
Menggeleng tak habis pikir, bersamaan dengan embusan napas kasar yang menguar, Jane menatap Hayden dengan tatapan tajam, sedikit memberi kesan mengancam. "Setelah pernikahan ini terjadi, pastikan semua aset kekayaannya berpindah tangan, menjadi atas namaku. Hanya itu yang aku mau, dan kau pun mendapatkan apa yang kau mau."
Hayden memutar bola matanya malas. Bukan kali pertama gadis di hadapannya itu mengingatkan apa yang harus ia lakukan, jika saja ia tidak mempertaruhkan sesuatu yang memang sudah lama ia idam-idamkan, tentu ingin sekali memberi penolakan, atau sekadar memperingati dengan tegas, bahwa dirinya tidak suka dituntut seperti ini.
"Ya. Kau sudah bisa berhenti mengingatkanku akan hal itu."
Mendengkus kasar, Hayden menyugar surai hitamnya ke belakang. "Aku sudah berjanji padamu, kau ingat? Kau bisa mempercayaiku, kali ini."
Menyelipkan sedikit godaan di akhir kalimat, Hayden menorehkan senyum miring, kala mendapati raut wajah Jane memetakan kejengkelan luar biasa.
Memiringkan kepala sekilas, bersamaan dengan pelupuk yang berkedip genit, mendapati reaksi yang diinginkan, tentu membawa kepuasan tersendiri bagi pria tampan itu.
Jane berdecih. "Dasar Playboy."
"Aku bisa mendengar apa yang kau katakan, Babygirl."
Melihat Hayden agaknya menikmati sisi penggodanya yang tiba-tiba kambuh, Jane menatap pria itu lekat, seolah tengah menelisik sesuatu.
Hayden mengernyitkan kening, matanya dibuat sedikit memicing, menatap Jane, nanar. "Ada apa? Apa yang membuatmu menatapku dengan tatapan seperti itu? Jangan bilang kau sudah jatuh cinta padaku, saat belum ada satu pun rencana yang kita jalankan."
Benar-benar. Memang sepertinya sesulit itu jika harus di hadapkan dengan Hayden yang sudah mengeluarkan jurus andalannya yang memang terkenal suka sekali menggoda, memberi kesan mudah akrab, katanya.
Namun, sayangnya ... sepertinya hal itu sama sekali tidak berlaku pada Jane. Air mukanya sama sekali tidak memancarkan rona tersipu, mendengar godaan yang Hayden lontarkan.
Mempertahankan tatapan lekat pun wajah datar yang terkesan dingin, Jane tidak mengindahkan godaan pria tampan di hadapannya itu. "Kenapa kau menyetujui rencana pernikahan ini? Seingatku, kau memang akan mendapatkan apa yang kau inginkan, tapi bukankah hal itu sama sekali tidak memberimu keuntungan? Lihat, kau hanya akan menikah dengan gadis yang tidak memiliki keperdulian terhadapmu sama sekali."
Memberi penekanan pada keterangan yang ia selipkan di penghujung kalimat, Jane membuat dua tanda kutip di atas kepala, menggunakan jemari tangannya.
Rasa penasaran terlanjur menggunung, dan sedikit pun tak mampu ia bendung. Tidak seharusnya ia menanyakan hal itu, tentu Jane tahu, dan Hayden pun pastinya tidak akan terlalu menyukainya.
Alasan mereka bertemu di sana sekarang ini adalah untuk membahas sebuah rencana pernikahan dan beberapa perjanjian, bukan termasuk alasan, kenapa Hayden melibatkan diri dalam bentuk sebuah persetujuan.
Sementara Jane menunggu jawaban yang mungkin saja akan Hayden lontarkan, pria di hadapannya itu malah terkekeh senang, menyikapi segalanya, seakan hanyalah sebuah guyonan.
"Aku bisa melakukan apapun demi berlangsungnya pernikahan ini."
"Kau memang sudah sangat mempersiapkan diri untuk terjebak dalam sebuah mimpi buruk selama sisa hidupmu, ya?"
Kesan serius seketika hadir, menyelimuti suasana sekitar, kala Jane akhirnya menyuarakan sebuah alasan yang membuat benaknya memiliki banyak sekali pertanyaan yang berputar, selepas Hayden menyetujui sebuah perjanjian yang ia tawarkan.
Hayden menanggapi dengan sebuah senyum miring, bersama dengan kepala yang tertunduk sesaat, pun raut wajah merah padam, sementara sorot matanya terlihat begitu membingungkan, jelas sulit sekali diterka maksudnya. "Mimpi buruk? Itu bagimu, bukan bagiku. Aku memiliki alasan yang tidak bisa aku jabarkan. Untuk saat ini, mari sudahi perbincangan kita sampai di sini, Nona Jane. Mohon kerjasamamu untuk ke depannya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Siti Mastura
hallo salam kenal, saya sudah mampir dikarya mu, jangan lupa mampir dikarya ku # Engkaulah Takdirku
2023-06-26
0
Ning Ning
aku mampir Thor munghin hayidene ingin menjebak palishiya
2023-03-05
0
Chybie Abi MoetZiy
bagus.... smga smpe tamat disini. 😊
2023-02-11
2