Anna berjalan memasuki sebuah kafe yang terletak tak jauh dari kantor tempatnya bekerja.
Waktu makan siang sudah tiba. Itulah kenapa Anna pergi ke kafe saat ini. Ia biasanya datang ke sana bersama Feli, karena mereka jarang sekali menikmati makan siang mereka di kafetaria tempat mereka bekerja.
Tidak ada alasan spesifik terkait hal itu. Hanya saja, baik Feli mau pun Anna merasa lebih nyaman menikmati waktu makan siang mereka di luar area Kantor, terutama tak jarang Jay - sang atasan, bergabung.
Anna memendarkan pandangan, hingga netranya berhasil menangkap satu meja kosong di salah satu sudut ruang, dekat jendela.
Bibir gadis itu merenggang, mengulun senyum senang tatkala kakinya melangkah ringan, menghampiri meja tersebut.
"Hey, Jay."
Ah ya. Tentu gadis itu tidak tersenyum tanpa alasan, karena meja yang ia hampiri tidak sepenuhnya tak berpenghuni.
Benar adanya keadaan meja tersebut kosong, karena belum ada satupun makanan ataupun minuman yang tertata di atasnya.
Jay duduk di salah satu kursi yang tertata melingkari meja yang Anna hampiri. Pria tampan yang sebelumnya sibuk bermain dengan ponsel pintarnya itu pun, akhirnya menengadahkan pandangan saat mendengar suara Anna yang ceria menyapa, mengecai ke dalam rungunya.
Jay tersenyum tipis, menyambut. "Hey, Anna."
Anna mendudukan dirinya di kursi yang berada tepat di hadapan Jay. Mereka duduk bersebrangan, terhalang meja bundar yang melintang.
"Aku kira kau makan di kafetaria kantor."
Jay menundukan pandangan sekilas seraya membuang napas kasar. "Tidak. Aku sedang ingin makan di luar," terangnya sambil menyimpan ponsel yang masih ia genggam ke atas meja.
Menunduk, Anna menelisik meja kosong di hapadannya sekilas, kemudian mengangguk samar. "Tentu kau datang kemari untuk makan." Gadis itu berucap seraya kembali menengadah, menatap Jay, lekat. "Apa makananmu sejenis angin?" Ia menelisik meja di hadapannya sekali lagi. "Kenapa aku tidak bisa melihat apa pun di sini? Atau kau sudah memakannya?"
Jay memutar bola matanya malas. "Kau tahu alasanku yang sebenarnya."
Anna membuang napas kasar. "Apa? Apa yang kali ini mengganggu benakmu?"
Tantu Anna tahu, jika Jay acap kali memilih menghabiskan waktu makan siangnya di sana, karena ia bisa bertemu atau berbincang dengan Feli dan dirinya.
Mereka bertiga sudah bersahabat sejak lama. Tentu mereka sudah hapal akan kebiasaan satu dan yang lainnya.
"Bagaimana dengan Feli? Apa dia sudah memberi kabar?"
Anna mendengkus kasar. Tentu seharusnya ia tahu juga apa yang kali ini sedang menganggu benak Jay, sahabatnya itu.
Gadis itu menggeleng samar. "Tidak. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi dia tidak menjawab panggilanku."
Jay tertunduk. Ia menatap benda pipih yang ia simpan di atas meja sambil mengetuk-ngetukan jemari jenjangnya di atas permuakaan meja. "Hayden mempercepat pelaksanaan pernikahannya."
"APA?!" Anna memekik, terkejut. Mata gadis itu membola, menatap Jay tidak percaya.
Jay membuang napas kasar seraya perlahan menengadahkan pandangan, hingga netra teduhnya dan Anna beradu tatap. "Hayden. Kakakku. Dia mempercepat pelaksanaan pernikahannya."
Anna menjitak gemas kening Jay dengan pergerakan cukup cepat, usai mendengar sahabatnya itu merampungkan perkataan. "Aku mendengarnya bodoh."
Jay meringis. Ia mengusap keningnya beberapa kali. "Lalu kenapa kau bertanya?"
Anna menyilangkan kedua lengannya di dada. Gadis itu membuang napas kasar seraya menggeleng tidak percaya. Ia berdecak pelan. "Sampai saat ini aku tidak percaya, pria bodoh sepertimu bisa memimpin cabang perusahaan ayahmu."
Jay menyeringai, penuh kepuasan. "Anggap saja aku beruntung karena terlahir di keluarga kaya."
Jay menyondongkan sedikit tubuhnya ke arah meja. Ia menatap Anna dengan tatapan tajam, penuh keseriusan. "Tapi bukan hal ini yang ingin aku bahas denganmu sekarang."
Alis sebelah kiri Anna menukik, bersamaan dengan matanya yang sedikit memicing, menatap Jay penuh terka. "Ini tentang pernikahan Hayden?"
Jay membuang napas kasar untuk kesekian kalinya. "Ya."
Anna memiringkan kepalanya sekilas. "Dari mana kau tahu, bahwa Hayden mempercepat pelaksanaan pernikahannya?"
"Dari Ibuku, karena Ibuku memintaku untuk mengosongkan seluruh jadwalku besok."
Mata Anna membola manakala kenyataan berhasil memukul keras dirinya. "Besok?! Apa Hayden akan melaksanakan pernikahannya besok?!"
Jay mengangguk tanpa semangat. "Hmm."
Melepaskan silangan tangan di area dada, Anna menenggerkan telepak tangannya tersebut di atas meja. "Apa mungkin itu alasan, kenapa Feli tidak masuk kerja hari ini?"
Dahi Jay mengernyit, heran. "Apa hubungannya?"
Anna menggeleng tidak percaya. "Bodoh! Kau benar-benar bodoh!" cela gadis itu, geram. Ia membuang napas kasar. "Mungkin saja Feli diminta untuk membantu mempersiapkan sesuatu oleh Jane. Seperti, menyiapkan baju pengantin atau hal semacamnya. Kau tahu betul bagaimana tabiat Jane, kan?"
Jay mengangguk setuju. "Gadis itu tidak pernah bisa melakukan hal apa pun dengan benar tanpa Feli."
Anna menjentikan jari seraya mengalihkan pandangan sekilas. Ia menggertakan gigi, menahan kejengkelan. "Aku merasa sedikit khawatir pada Feli. Apa dia akan baik-baik saja?"
"Apa kita harus mencegah pernikahan ini terjadi?"
Dahi Anna mengernyit. Gadis itu menatap Jay, nanar. "Apa maksudmu? Dan bagaimana caranya?"
Jay membuang napas kasar. "Kau tahu, bagaimana perasaan Feli terhadap Hayden. Dia pasti sangat terluka jika pernikahan ini terjadi. Apa pun caranya, mari kita lakukan!"
Anna mengangguk, syarat akan kepahaman. "Kau benar. Kau sangat perduli pada perasaan Feli. Lalu bagaimana dengan perasaanmu?"
Mata Jay membola. Ia menatap Anna dengan keterkejutan luar biasa yang terpatri di wajahnya. "A-apa maksudmu?"
Anna menyeringai ngeri, penuh arti. "Hey. Jangan kau pikir aku ini bodoh, ya! Feli mungkin memang tidak sensitif terhadap tingkah seseorang di sekitarnya. Tapi tidak denganku."
Gadis cantik itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Jay. "Dia adalah cinta pertamamu yang sering kau ceritakan padaku dan Feli, kan?"
Anna tersenyum licik penuh kepuasan tatkala ia melihat bagaimana terkejutnya Jay karena perkataannya. "Atau mungkin kau masih memiliki perasaan itu terhadap Feli, sampai sekarang?"
Jay tertegun. Pria itu memaku, seolah apa yang Anna katakan, tepat menggali kebenaran yang selama ini coba ia sembunyikan.
Anna terkekeh puas. "Jadi perkiraanku benar? Kau mencintai Feli? Dan memendam perasaanmu sendirian selama hampir sembilan tahun?" Ia menengadahkan kepala sesaat. "Damn! Jayden. That's so fucking long."
...***...
"Tuan Wilson. Apakah anda bisa ikut bersama saya ke ruang ganti untuk melihat gaun pilihan istri anda?"
Hayden yang saat itu tengah asyik membaca majalah, sekita menengadahkan pandangan, menatap Lisa - pemilik butik yang ia kunjungi, tengah tersenyum ramah padanya.
Hayden melirik jam tangannya sekilas. "Tiga jam?" Ia memiringkan kepala sekilas. "Cukup lama."
Lisa tersenyum. "Itu karena Nona Jane kebingungan memilih gaun yang akan ia kenakan Tuan."
Hayden membuang napas kasar. "Sudah kuduga."
Membangkitkan diri dari duduknya, Hayden melempar majalah yang masih ia genggam ke atas meja di hadapan. Ia sedikit merapikan pakaiannya, sebelum melangkah dengan mantap menuju ruangan yang Lisa maksudkan.
Lisa berjalan mendahului Hayden untuk pergi memanggil Feli dan Jane yang masih berada di ruang ganti.
Mengetuk pelan permukaan daun pintu dari ruang ganti utama, Lisa menyempatkan diri melirik Hayden yang berjalan melewatinya. "Noona ... apa kalian sudah siap? Tuan Wilson sudah di sini."
"Hmm," Jane bergumam, pelan.
Hayden tanpa basa-basi mendudukan diri di sofa yang terdapat di ruangan tersebut. Ia duduk dengan keadaan tangan dan kaki menyilang dalam posisi sempurna, menunjukan betapa berwibawa juga arogannya ia, pada saat yang sama.
Sementara di dalam ruang ganti ... Feli masih berdebat dengan batinnya. Ia merasa benar-benar bingung, kenapa ia juga harus mencoba gaun pengantin dan memilihnya sendiri di saat Jane sudah ada di sana, bersamanya dan juga Hayden.
Gadis itu tertunduk, menatap indahnya gaun pengantin yang membalut tubuhnya.
"Nona, kau bisa ke luar sekarang," titah salah satu pelayan yang membantu menata penampilan Feli.
Feli menengadah, menatap bayangan cantiknya di permukaan cermin besar yang terpampang di hadapannya.
Gaun pengantin putih sederhana dengan hiasan renda cantik di area dada hingga tangan dan beberapa bagian bawah gaun, serta sedikit sentuhan hiasan tambahan berupa ikat pinggang berbentuk pita kecil dengan warna yang senada, tampak membalut tubuh indah Feli dengan sempurna.
Surai panjangnya yang terurai, didukung dengan riasan wajah yang mempesona namun tak berlebihan, membuat gadis itu tertegun menatap bayangan dirinya untuk beberapa saat.
"Kau sangat cantik Nona," puji sang pelayan yang juga ikut serta memandang penampilan sempurna gadis itu.
Feli menoleh sembari memancarkan senyum tipis, agak tertahan, sebab tersipu. "Terima kasih."
Sang pelayang mengangguk, lalu membukakan pintu ruangan ganti tersebut. Ia membungkukan setengah tubuhnya sekilas, mempersilahkan Feli untuk mengambil langkah.
Feli menelan ludahnya dengan susah payah tatkala ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah pintu yang sudah terbuka lebar untuk dirinya.
Gadis itu meremat gemas kedua sisi gaun yang ia kenakan, mencoba mengontrol rasa gugup yang seketika mengungkung relungnya.
Sang pelayan tersenyum ramah saat Feli memokuskan seluruh atensi ke arahnya. "Silahkan Nona. Kakakmu dan calon suaminya sudah menunggu."
"Kakakku sudah ke luar?"
Sang pelayan mengangguk dengan pelupuk matanya yang terpejam sebentar, bersamaan dengan bibirnya yang mematrikan senyum hangat. "Sudah Nona."
Feli menghela napas panjang, lalu membuangnya secara perlahan seraya menundukan pandangan sekilas. Ia sebisa mungkin mensugestikan dirinya untuk tetap tenang.
Karena tak dapat dipungkiri, menunjukan diri dalam keadaan dibalut gaun pengantin di hadapan Hayden, bukanlah perkara mudah bagi gadis itu.
Setidaknya, dulu ia pernah berangan-angan melakukan hal tersebut, namun dengan posisi, ia benar-benar menjadi calon pengantin dari pria yang ia cintai, yakni Hayden.
Feli membuang napas kasar untuk kesekian kali sebelum ia memantapkan diri untuk mengambil langkah, ke luar dari ruangan tersebut dan menunjukan penampilan cantiknya. Ia berjalan perlahan dengan kepala tertunduk.
"Bagaimana penampilanku?" Suara Jane menggema dalam rungu Feli tatkala ia berhasil melewati ambang pintu.
Ia menghentikan langkah manakala ia merasa sudah cukup memiliki jarak dengan ruangan ganti yang sebelumnya ia tempati.
Gadis itu menengadahkan pandangan, menelisik penampilan cantik sang kakak yang dibalut gaun pengantin yang tak kalah indah.
Gaun yang Jane kenakan terbilang cukup mewah, berbanding sedikit jauh terbalik dengan gaun yang Feli kenakan.
Memiliki warna yang sama, tapi dengan desain yang cukup berbeda. Masih di hiasi dengan hiasan renda, namun yang Jane kenakan terkesan lebih dominan.
Sementara Feli memilih gaun dengan lengan yang sedikit panjang dan area dada lebih tertutup, Jane justru memilih yang sebaliknnya.
Gadis itu memilih gaun dengan lengan yang lebih pendek. Area dada sedikit terbuka, membentuk v-line, menunjukan lekukan dada dengan sempurna.
"Nona Feli, kau sudah selesai?" Lisa menyapa ketika ia menjadi orang pertama yang menyadari kehadiran Feli di sana.
Hayden menoleh ke arah mana Lisa memandang, namun pandangannya masih terhalang oleh kain yang terbentang di sekitar area ruang ganti.
Sementara Hayden terlihat begitu penasaran, Jane yang sudah lebih dulu bisa melihat bagaimana penampilan Feli, justru terlihat begitu kesal.
Feli masih memaku di tempatnya berdiri dengan kepala dan pandangan yang kembali tertunduk. Rasa gugup semakin mengungkung dirinya kala itu.
Ia berusaha mengontrol jantungnya yang seketika berdebar dalam tempo yang begitu cepat dan tak terkendali. Gadis itu memainkan jemari lentiknya yang saling bertaut di area perut.
Lisa menoleh ke arah Hayden seraya mematrikan senyum hangat sekilas, sebelum ia memutuskan untuk berjalan, menghampiri Feli.
"Nona, kau sangat cantik. Ayo tunjukan dirimu," gumam Lisa memuji, begitu dirinya berhasil merangkul bahu Feli
Feli sedikit terhenyak. Ia menoleh ke arah Lisa yang sudah menatapnya dengan lembut sambil tersenyum, penuh pengertian.
"Mari."
Feli mengangguk samar, perlahan. Ia kembali menundukan pandangan manakala Lisa mulai menuntunnya berjalan, ke arah di mana Jane sudah berdiri lebih dulu.
"Bukankah, calon istrimu sangat cantik, Tuan Wilson?" Lisa menoleh ke arah Jane yang sudah mengalihkan pandangan. "Dia sangat cerdas dalam memilih gaun."
Hayden menyeringai ngeri, penuh arti. "Hemm. Dia adalah wanita tercantik yang pernah aku temui selama hiduku," gumamnya, lirih.
Jantung Feli yang malang seolah berhenti berdetak untuk beberapa saat, tatkala Hayden melontarkan pujian untuk calon istrinya.
Rasa sesak seketika menjalari rongga dada gadis itu. Ia merasa ribuan pisau tajam berhasil menghunus relungnya, meninggalkan luka dalam yang tak akan pernah mampu untuk ia sembuhkan.
Pujian yang pernah ia harapkan untuk tertuju pada dririnya, kini ia dengar secara langsung untuk wanita lain, yang tak lain dan tak bukan merupakan kakaknya sendiri.
Pujian sederhana itu, pernah ia mimpikan akan Hayden lontarkan untuk dirinya, jika suatu saat ia mengenakan gaun pengantin indah di hadapan Hayden untuk acara pernikahan mereka.
Namun, nampaknya, kini mimpi indah itu sudah benar-benar hancur tak tersisa. Bahkan tak terlihat sedikit pun puing-puing kecil dari kehancurannya.
'Semoga kau bahagia dan bisa mencintai Kakakku, walaupun bukan sekarang, tapi mari berharap yang terbaik untuk masa depan. Terutama tentang kehidupan pernikahanmu, Hayden.' Feli membatin lirih.
Pandangan Hayden tertuju pada satu arah, terlihat begitu sendu, menyimpan sejuta rindu dan haru. "Aku sangat beruntung karena bisa memilikinya, selamanya ...."
Bukankah itu saja sudah cukup untuk menghancurkan hati gadis malang bernama Felisha? Tidak. Itu tidak cukup, tapi lebih dari sangat cukup.
Hey, tapi tunggu dulu. Ada satu kebenaran yang tidak Feli ketahui. Ini tentang tatapan Hayden.
Hanya Feli yang tidak mengetahui kebenaran bahwa, pandangan Hayden tak pernah sedikit pun teralihkan dari sosoknya, bahkan saat Hayden melontarkan semua pujian yang ia tujukan pada wanita yang kelak akan menjadi teman hidupnya.
Hening. Keheningan beberapa saat menyelimuti ruang ganti tersebut, selepas Hayden melontarkan kalimat terakhirnya.
Saat itulah, akhirnya Feli memilih untuk menengadahkan pandangan, hingga manik hazelnya berhasil bertemu pandang dengan manik jelaga indah milik Hayden yang terlihat begitu sendu menatapnya. "Aku sangat mencintaimu, calon Istriku."
Tbc....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Ning Ning
aaaaaaa haiyeden love you
2023-03-25
0