"Jane! Apa kau melihat adikmu, Feli?" Luciana berucap dengan nada suara yang terdengar begitu panik tatkala ia berjalan, menghampiri Jane yang tengah berada ruang makan, duduk di salah satu kursi yang tertata mengitari meja persegi panjang di sana.
Jane yang saat itu tengah menikmati sarapan pun dibuat jengkel olehnya. Ia membuang napas kasar seraya memutar bola matanya jengah. "Aku tidak tahu."
Luciana berdiri tepat di samping kursi yang tengah Jane duduki. "Apa semalam kau bertengkar dengan Feli? Aku mendengarnya menangis dan dia mengurung diri di kamar, tidak membiarkanku masuk."
Jane tersenyum sinis. "Bukan urusanku."
Luciana menatap sosok Jane yang seolah mengabaikan kehadirannya dengan tatapan geram. "Apa kau belum merasa cukup puas?"
Jane membuang napas kasar sebelum akhirnya ia menoleh ke arah Luciana, menatap wanita paruh baya yang merupakan ibu sambungnya itu, dengan tatapan malas, tanpa minat. "Apa maksudmu?"
"Kau sudah membuat hidup Feli suram. Apa kau belum puas?"
Jane terkekeh sinis sekilas. "Apa kau pikir, hanya hidup Feli saja yang suram? Kau tidak melihat kehidupanku? Hidupku juga suram, setelah putrimu itu hadir dalam kehidupanku."
Mata Luciana membola. Ia menatap Jane dengan tatapan tajam, penuh rasa geram yang hampir saja membuncah. "Kenapa kau menyalahkan putriku?"
Jane menggebrak meja makan seraya melepaskan peralatan makan yang masih ia genggam, membuat Luciana sedikit terhenyak. Kemarahan Jane terhadap keluhan sang ibu sambung , sudah benar-benar menguasai dirinya.
Gadis itu membangkitkan diri. Ia mendorong kursi yang ia duduki dengan pergerakan yang sedikit kasar.
Jane berdiri tepat di hadapan Luciana. Ajang beradu tatap yang didominasi oleh emosi pun dimulai saat itu juga.
Tatapan keduanya, terlihat begitu tajam, saling menonjolkan kemarahan yang membara dan siap menghujam satu sama lain.
"Karena putri sialanmu itu, merupakan penyebab dari kematian ayahku!" Jane berucap dengan tegas, penuh penekanan, memastikan bahwa kekecewaan, kesedihan juga kemarahan yang hadir dalam relungnya tersampaikan dengan sempurna pada Luciana, sebelum ia akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan Ibu sambungnya itu, di sana, karena sudah terlanjur kehilangan nafsu makannya.
Luciana mengepalkan kedua telapak tangannya yang berayun di kedua sisi tubuhnya. Manik hazelnya tak berhenti menatap sosok Jane yang perlahan menghilang dari pandangan, tertelan jarak juga terhalang dinding penyekat antar ruang.
Wanita setengah baya itu membuang napas kasar seraya menggeleng tidak percaya. Ia mendudukan diri sambil memijit keningnya yang mulai berdenyut nyeri. "Anakku tidak pantas hidup menderita," lirihnya perih.
Luciana menengadahkan pandangan, menatap langit-langit di atas sana, seolah ia tengah bertatap muka dengan Tuhan, menunjukan tatapan yang dipenuhi pengharapan. "Jika kau ingin menghukumku. Hukum saja aku. Jangan putriku."
***
"Feli! Kau datang lebih awal?" Seorang wanita cantik yang dapat dipastikan merupakan salah satu rekan kerja Feli, menyapa Feli tatkala ia melihat gadis cantik itu tengah duduk di kursi yang menghadap meja kerjanya.
"Hemm." Feli menjawab tanpa menoleh ke arah temannya. Ia memokuskan seluruh atensinya ke arah komputer yang menyala di atas meja.
"Feli. Apa kau tahu, siapa yang sedang bertanya padamu?"
"Annatasia, dari devisi perencanaan," tegas Feli, begitu datar dan dingin.
Gadis cantik yang bernama Annatasya itu berdecih pelan. Ia menjinjitkan tumitnya agar tubuhnya sedikit condong, berusaha melihat komputer kerja milik Feli. "Apa yang sedang kau kerjakan?"
"Aku sedang menyiapkan berkas untuk materi pertemuan siang ini."
Anna - begitu singkatnya gadis cantik bernama Annatasia itu biasa disapa, melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. "Siang? Tapi sekarang baru pukul tujuh pagi." Ia menatap Felisha. Manik mata hazel indahnya gemetar, menyorotkan keheranan. "Apa kau sedang ada masalah?"
Feli tertegun. Pergerakan jarinya yang lentik, cekatan menyentuh keyboard seketika terhenti. Ia membuang napas kasar. "Tidak ada."
"Pembohong! Kau mau berbagi denganku? Aku siap menjadi pendengar yang baik." Anna menawarkan diri dengan perkataan sehalus mungkin, berharap tidak menyinggung perasaan Feli sedikit pun.
Anna dan Feli sudah bersahabat sejak mereka masih kecil. Sekeras apapun Feli sering mencoba menyembunyikan kegelisahannya, Anna menjadi salah satu orang yang paling sering mengetahuinya, setelah Luciana, sang ibu.
Feli tersenyum lirih. "Tidak. Terima kasih." Ia akhirnya menengadahkan pandangan, hingga netra teduhnya berhasil beradu pandang dengan netra Anna yang sudah menatap sendu dirinya. "Kenapa kau datang sepagi ini?"
Anna membuang napas kasar seraya memutar bola matanya jengah. "Apa kau berusaha mengalihkan pembicaraan sekarang?"
Feli terkekeh sekilas. "Tidak sama sekali. Aku hanya penasaran. Kenapa kau berada di Kantor sepagi ini? Bukankah hobimu itu terlambat?" Feli mengakhiri perkataanya dengan sebuah tawa kecil yang terdengar menggemaskan.
Anna menggeleng tidak percaya seraya berdecak pelan. "Itulah dirimu, Fel-" nenjeda perkataan, Anna menatap Feli yang seketika terdiam dengan tatapan sendu penuh keprihatinan. "Kau, gadis yang selalu berusaha menyembunyikan semua rasa sakit yang kau rasakan di balik tawanya."
***
Di waktu yang sama, akan tetapi di tempat yang berbeda, Hayden terlihat tengah duduk di salah satu kursi yang tertata mengitari meja makan, menikmati makanan yang ia jadikan untuk menu sarapannya, pagi ini.
Namun, sorot matanya terlihat begitu kosong, tertuju pada area ruang makan yang berada di hadapannya.
Mulutnya sibuk mengunyah, sementara benaknya sibuk memikirkan sesuatu yang membuatnya tak bisa fokus pada apapun yang ia kerjakan dari semalam.
"Felisha Kylie Jodran." Nama itu berhasil lolos dari mulut Hayden dengan pengucapan yang begitu lembut mendayu.
Hayden tertunduk, menatap piring makanannya yang masih terisi oleh setengah pancake. Ia membuang napas kasar. "Sebenarnya apa yang berusaha kau sembunyikan dariku? Apa yang membuatmu bersikap, seolah kau memang tidak pernah mencintaiku?"
Terlalu sibuk sebab memokuskan seluruh atensi yang dimiliki pada sekelumit pemikiran semraut yang hinggap dalam benak, Hayden sampai terhenyak.
Pria tampan yang memiliki perawakan tinggi tegap dan atletis itu mengerjap tatkala suara dering ponsel berhasil menyapa rungu dan mengintrupsi gumamannya.
Hayden menoleh malas ke arah ponselnya yang ia simpan di atas meja makan, sekitar sepuluh senti meter saja letaknya, dari piring yang ada di hadapan. Ia meraih ponsel tersebut dan menatap layarnya yang belum berhenti berkedip, menunjukan sebuah notifikasi panggilan suara masuk.
Dahi Hayden mengernyit, bersamaan dengan matanya yang sedikit memicing, menatap benda pipih itu dengan tatapan heran. "Ibu?" gumamnya, agak kebingungan karena mendapati, sang ibulah yang telah menyebabkan ponsel miliknya tiba-tiba berdering.
Ia membuang napas kasar sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut dan menahan benda pipih dalam genggamamnya itu, ke depan daun telinga.
"Hey! Hayden!" Emely - ibunda dari Hayden memekik di sebrang sambungan sana, membuat Hayden refleks menjauhkan ponsel yang sudah bertengger di daun telinganya untuk sesaat.
"Ibu." Hayden berucap dengan suara yang terdengar tenang dan lembut. "Pelankan suaramu. Anakmu ini tidaklah tuli."
Terdengar Emely membuang napas kasar di sebrang sambungan. "Anak kurang ngajar! Bagaimana mungkin aku bisa tenang?!"
Hayden memejamkan pelupuk matanya untuk beberapa saat. "Ada apa, Bu? Bicaralah pelan-pelan."
"Contoh surat undangan yang kau pesan sudah Ibu lihat."
Dahi Hayden mengernyit, heran. "Lalu?"
Emely membuang napas kasar untuk kesekian kalinya. Sejatinya, wanita setengah baya itu saat ini tengah menahan emosi yang hampir membeludak pada putra pertamanya itu. "Apa kau bermain-main dengan pernikahan ini?"
Hayden tertegun. Matanya membola, membulat sempurna karena merasa terkejut oleh celotehan sang ibu. "A-apa maksud Ibu?" Hayden menelan ludahnya dengan susah payah. Ia berusaha menyembunyikan kegugupan yang seketika mengungkung dalam relungnya. "Tentu saja tidak, Bu!" imbuhnya.
"Lalu apa ini? Kenapa nama calon istrimu tidak tertera pada surat undangan ini?"
Rasa penasaran pun bingung yang tengah Emely rasakan, dapat Hayden ketahui dari bagaimana cara sang ibu bertanya padanya saat ini.
Hayden membuang napas lega. Ia terkekeh kecil, sekilas. "Apa Ibu menelponku sepagi ini, hanya karena hal itu?"
"Tentu saja. Kenapa di sini hanya tertulis, 'Hayden dan Mr.Jordan Daughter'? Apa kau ingin menikahi kedua putri Tuan Jordan?"
Hayden menyeringai ngeri, penuh arti. "Aku hanya ingin pernikahanku dipenuhi kejutan, Bu. Biarkan para tamu undangan menerka-nerka, gadis mana yang akan aku nikahi sebenarnya."
Tbc ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
YeniPark
Kata2nya Anna buat Feli itu relate banget🤣 Banyak kok yg suka nyembunyiin maslah hidup di halik tawa. Gak cuman Feli aja🤭
2023-02-12
0