"Bagaimana? Apa kau bisa menemukannya?" Jane bertanya pada seseorang yang kini sedang menjadi lawan bicara, menyuarakan rasa penasaran yang terlanjur membuncah dalam relung.
Gadis cantik itu saat ini tengah berada di dalam ruang kerjanya. Duduk santai di tepian meja sambil berbincang dengan seseorang melalui sambungan panggilan suara.
Terdengar seorang pria di sebrang sambungan membuang napas kasar. "Maaf Nona. Kami belum menemukan apa yang Nona cari."
Jane memutar bola matanya malas seraya menyisir surai hitam panjangnya ke belakang dengan jemarinya yang lentik. Raut wajah gadis itu terlihat begitu masam dan gusar. "Jangan berhenti. Aku butuh bukti itu sesegera mungkin."
"Baik Nona. Saya akan berusaha mencari orang yang memiliki video yang Nona maksud sampai dapat."
Membuang napas kasar, Jane memejamkan pelupuk matanya untuk beberapa saat. "Baiklah. Aku mengerti, kau pasti butuh waktu banyak untuk menemukan orang yang memiliki video itu. Apa kau mendapat info tambahan dari pemilik kafe terdahulu?"
"Pemilik kafe yang Nona maksud, pemilik kafe yang mengelola kafe itu dua puluh tahun yang lalu?"
"Hmm. Apa kau mendapatkan sesuatu darinya?"
"Beliau sudah sangat tua sekarang ini Nona. Sangat tidak memungkinkan bagi kita untuk memaksanya mengingat kejadian dua puluh tahun silam di kafe tersebut."
Jane membuang napas kasar untuk kesekian kalinya. "Baiklah. Tetaplah berusaha. Aku yakin, orang yang memiliki video itu, masih menyimpannya."
"Baik Nona."
Jane pun menutup panggilan tersebut tatkala seseorang yang ia hubungi merampungkan jawabannya.
Gadis itu menaruh ponselnya ke permukaan meja, memendarkan pandangan setelahnya, hingga netra teduhnya berhasil mengunci sebuah bingkai foto tua yang terpampang rapi di meja kerjanya.
Meraih bingkai tersebut, Jane tertunduk. Ia menatap bingkai foto berisikan potret dirinya saat masih kecil bersama sang ayah dan sang ibu tengah tersenyum, dengan tatapan sendu penuh rindu.
Tersenyum lirih, jemari lentik Jane menjamah permukaan datar foto dalam genggaman. "Aku merindukan kalian, Ayah, Ibu."
Air mata seketika mengembun dalam pelupuk mata gadis itu. "Ibu ...." air matanya berderai begitu saja, saat satu panggilan sempurna untuk pahlawan tanpa tanda jasanya itu lolos dari celah antara bibir tipisnya.
Bibir tipis Jane yang sudah gemetar karena tangisnya perlahan merenggang, mengulas senyum lirih. "Aku akan memberikan keadilan padamu." Ia terkekeh getir sekilas. "Maaf, karena aku membutuhkan waktu yang begitu lama."
...***...
"Feli! Apa kau sudah merasa jauh lebih baik?" Jay bertanya saat dirinya hendak memasuki ruangan meeting dan berpapasan dengan Feli di ambang pintu.
Feli tersenyum simpul sekilas. "Jauh lebih baik."
Jay menatap Feli dengan tatapan sendu, menelisik raut wajah cantik sahabatnya itu, mencoba menerka dan membaca apa yang saat ini tengah ia rasakan sebenarnya.
Namun, Jay tidak bisa menemukan ekpresi yang tepat untuk menggambarkan emosi macam apa yang terpancar dari sorot mata teduh Feli.
Gadis itu semakin pandai bersandiwara. Sebab terbiasa, sorot mata teduhnya kini tak dapat lagi terbaca. Tidak nampak sedikitpun emosi di sana.
Jay akhirnya menyerah. Ia membuang napas kasar. "Apa Hayden tadi menyusulmu?"
Feli mengangguk samar sembari tersenyum getir sekilas. "Hmmm."
"Apa yang dia katakan?"
Gadis cantik itu terkekeh. "Tidak ada." Ia menoleh ke arah ambang pintu ruang meeting yang masih terbuka, sekilas. "Sebaiknya kita segera masuk."
Memendarkan pandangan, Feli menelisik keadaan sekitar, takut-takut, ada yang memperhatikannya berbincang dengan Jay, sebelum ia kembali memokuskan atensinya pada sahabat sekaligus atasannya yang masih menatapnya itu dengan tatapan sendu. "Sebelum karyawan yang lain datang."
Jay membuang napas jengah seraya sedikit merapikan jas kerjanya. "Kupikir begitu."
Jay dan Feli pun akhirnya memasuki ruangan meeting, disambut oleh beberapa orang yang sudah sedari tadi menunggu di sana.
"Feli!" Anna memekik, memanggil Feli seraya melambaikan tangan.
Feli yang mendengar suara sahabat cantiknya itu mengecai ke dalam rungu, menoleh, lalu tersenyum dan berjalan menghampiri Anna.
"Hey." Feli berucap seraya mendudukan dirinya, tepat di samping kursi yang Anna duduki.
Seketika, Feli memokuskan seluruh atensinya pada berkas yang sedari tadi ia bawa, membuat Anna mendengkus kasar seraya menggeleng tidak percaya.
"Bagaimana pertemuanmu dengan Jay pagi tadi? Apa yang dia tanyakan?"
Feli memutar bola matanya jengah sebelum akhirnya menoleh ke arah Anna dan menatap gadis itu dengan tatapan tajam. "Apa aku harus menceritakannya padamu? Meskipun aku tahu, kau sudah tahu jawabannya?"
Anna mengalihkan wajahnya sekilas. "Sepertinya tidak." Ia mengakhiri perkataannya dengan sebuah senyum manis, membuat Feli berdecak pelan.
"Lalu, apa yang telah kau lakukan bersama Hayden di toilet wanita?"
Seketika Feli tertegun. Ia menatap Anna dengan mata yang membola, sementara Anna menyeringai penuh kepuasan tatkala ia melihat ekspresi wajah terkejut Feli.
"Kau melihatnya?"
Anna mengangguk samar. "Hmm. Aku melihat Hayden ke luar dari sana sebelum dirimu." Dahi Anna mengernyit, bersamaan dengan salah satu alisnya yang menukik. Matanya sedikit memicing, menatap Feli, penuh curiga. "Dia terlihat kesal. Apa yang telah terjadi? Apa Hayden kembali menanyakan soal kejadian dua tahun yang lalu?"
Feli membuang napas lega seraya meluruskan pandangan. "Tidak."
Anna menyikut pelan lengan Feli. "Kau pasti berbohong."
Feli terkekeh sekilas, meremehkan. "Tidak."
"Pembo-" "Baiklah. Mari kita mulai meeting siang ini." Anna tak sempat merampungkan perkataan, karena Jay sudah angkat suara, siap untuk memulai meeting saat ini.
Feli tersenyum senang tatkala ia menoleh ke arah Anna sekilas dan melihat bagaimana ekspresi kesal yang tergambar di wajah gadis itu.
"Kau berhutang penjelasan padaku."
...***...
"JANESSA KENNELY JORDAN!"
Jane yang saat itu tengah sibuk dengan pekerjaannya sedikit terhenyak, tatkala ia mendengar pintu ruangannya terbuka dengan suara bantingan yang cukup keras, diiringi oleh suara pekikakan Hayden yang terdengar penuh amarah.
Seorang pria paruh baya dengan cepat menghampiri Jane dan berdiri di depan meja kerja gadis itu. Beliau membungkukan setengah tubuhnya sekilas. "Maaf Nona. Saya sudah berusaha mencegahnya."
Menoleh ke arah Hayden yang masih berdiri di ambang pintu, netra teduh Jane beradu tatap dengan netra pria tampan yang sudah menatapnya dengan tatap tajam, penuh kemarahan.
Membuang napas kasar, ia menoleh ke arah pria paruh baya yang masih berdiri dengan pandangan tertunduk di depan meja kerjanya. "Tidak apa-apa pak Hans. Biarkan dia masuk."
Pria paruh baya yang dipanggil pak Hans itu pun mengangguk paham. "Baik Nona."
Pak Hans pun pergi dari ruangan Jane dengan segera. Beliau membiarkan Hayden masuk secara hormat sebelum menutup pintu.
Jane mendengkus jengah seraya berdiri dari duduknya. Ia berjalan ke depan meja kerjanya dan mendudukan diri di tepian meja tersebut.
Ia menyilangkan kedua lengannya di dada. Matanya tertuju pada Hayden yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya. "Hayden Brent Wilson."
Dahi Jane mengernyit, bersamaan dengan matanya yang sedikit memicing, menatap Hayden keheranan. "Bukankah, kau seharusnya saat ini berada di kantor adikmu, Jay? Menghadiri pertemuan penting?"
Hayden perlahan berjalan mendekat ke arah Jane, mengikis jarak yang hanya terbentang sekitar satu meter di hadapannya.
Tatapan tajamnya, tak sedetik pun ia alihkan dari sosok Jane yang saat ini tiba-tiba terlihat begitu gugup.
"Kau!" Haydenn menenggerkan kedua telapak tangannya di permukaan meja, tepat di kedua sisi tubuh Jane sebagai topangan tubuhnya.
Melihat Hayden begitu marah, Jane menelan ludahnya kasar dengan susah payah tatkala rasa gugup berhasil mengungkung relungnya, karena jarak dirinya dan Hayden begitu dekat. Pergerakannya terkunci oleh tubuh Hayden.
"Apa yang kau lakukan?" Jane bertanya seraya mendorong dada bidang Hayden, membuat Hayden mengambil beberapa langkah mundur, memberi jarak. Gadis itu beranjak dari duduknya dengan cepat.
Hayde menyeringai ngeri, penuh arti. "Berani-beraninya kau!" Ia meraih pergelangan tangan Jane dan menggenggamnya dengan sangat erat.
"Hayden." Jane meringis, berusaha melepaskan diri dari genggaman Hayden dengan menghentak-hentakan tangannya.
Namun, semakin keras ia mencoba lepas, semakin keras pula Hayden menggenggam pergelangan tangannya, membuat wajah gadis itu mengernyit, menahan rasa sakit.
"Berani-beraninya kau menyakiti Feli!" Kemarahan dan rasa tak terima jelas terdengar dari bagaimana Hayden berucap.
Menghempaskan tangan Jane dengan pergerakan yang begitu kasar, Hayden membuat tubuh gadis itu terhuyung.
Jane terkekeh sinis, tidak percaya. "Jadi kau datang kemari dan bersikap seperti ini, hanya karena Feli?"
Jane menatap Hayden dengan tatapan tajam yang didominasi oleh rasa kecewa. Sementara Hayden, balas menatapnya dengan tatapan tajam yang tampak begitu menyeramkan.
Tersenyum lirih, Jane menundukan pandangannya, sekilas. "Bukankah kau menyetujui rencana pernikahan yang aku tawarkan karena kau ingin menyakiti Feli? Kau ingin membalaskan rasa sakit hatimu terhadapnya?" Ia terkekeh sinis, meremehkan. "Lalu apa ini? Apa kau masih mencintai Feli?"
Sudut bibir sebelah kiri Hayden menukik tajam, mengulas seringaian yang begitu nampak kejam, sesaat. "Apa yang kau katakan memang benar. Aku menyetujui rencanamu karena aku ingin menyakiti Feli."
Hayden menatap Jane dengan tatapan tajam, penuh kemarahan yang siap menghujam, didukung oleh aura wajahnya yang terlihat gelap dan dingin, mengintimidasi. "Tapi hanya aku yang boleh menyakitinya. Dan jika kau sekali lagi berani mendaratkan tangan bahkan ujung jarimu untuk menyentuh Feli, aku tidak akan segan-segan untuk menghabisimu dengan tanganku sendiri!"
Tbc ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
YeniPark
Bukti apa yg lagi Jane cari?🤔
Halah Hayden kalau cinta ya cinta aja🤣 pake bilang cuman kamu yg boleh nyakitin Feli segala🤭
2023-02-25
1