Hayden Brent Wilson terlihat sedang duduk tenang. Pribadi bersurai hitam legam itu menatap lekat permukaan meja bulat dari sebuah kafe yang tengah dikunjunginya. Ceceran berkas yang terdapat di sana, sukses mencuri atensi Hayden, seutuhnya.
Sejatinya, pria berparas tampan berusia tiga puluh tahun itu tengah menahan kegelisahan pada pikiran yang tengah luar biasa berkecamuk dengan begitu hebat.
"Jadi, Hayden ... apa kau benar-benar yakin dengan keputusan yang kau ambil?"
Pertanyaan itu mengalun dengan suara lembut, memecah keheningan, menelusup dalam rungu Hayden dengan begitu sopan. Atensi Hayden teralih, sedikit mendongakan pandangan, mempertemukan manik jelaga indahnya dengan manik mata hazel milik seorang gadis cantik yang duduk di hadapan, saling bersebrangan.
Agaknya, fokus Hayden terbagi pada beberapa hal yang tengah berputar dalam benak, hingga tidak begitu mendengarkan apa yang dibicarakan oleh sang lawan bicara.
Namun, kendati begitu, Hayden tentu tahu apa sebenarnya yang menjadi alasan dirinya saat ini berada di sana, menepati janji temu yang sudah terjadwalkan dari jauh-jauh hari sebelumnya.
Menjadi salah satu putra dari pemilik perusahaan yang saat ini tengah melejit di negaranya, bahkan cukup diketahui hampir di seluruh belahan dunia, tentu pertemuan yang Hayden hadiri sebagian besar berhubungan dengan bisnis.
Golden Hit Group. Perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata, properti dan kuliner. Ketiga element sempurna yang saling berkaitan itu, berada dalam genggaman orangtua Hayden.
Tentu tak lama lagi, perusahaan tersebut akan beralih tangan, yakni ke dalam genggaman Hayden dan juga sang adik - Jayden Wrent Wilson.
Pernikahan. Hanya sebuah pernikahan yang menjadi langkah akhir bagi Hayden untuk menempati posisi tertinggi di perusahaan milik kedua orangtuanya tersebut.
Bukan syarat yang menjadi perkara tersulit, karena jika Hayden mau, dia bisa menunjuk wanita manapun untuk ia nikahi, kalau hanya sekadar materi yang menjadi tujuan utama.
Hal itu tentu juga berlaku bagi Jayden. The perfect duo. Julukan yang orang-orang tujukan pada kakak beradik itu tentu bukan tanpa alasan.
Selain dari segi penampilan yang mampu memanjakan mata, materi dan kemapanan yang mereka miliki pun mampu membuat banyak wanita bersedia bertekuk lutut, berada di bawah kendali keduanya.
Namun, ada satu wanita beruntung yang telah berhasil membuat seorang Hayden menujukan atensi, bahkan mengganggu benaknya dengan tidak sopan, selama beberapa tahun terakhir ini.
"Janessa Kennely Jordan." Hayden menatap gadis cantik di hadapan dengan tatapan lekat, sulit diartikan.
Menaikan salah satu alis, membiarkan matanya sedikit memicing, menatap penuh telisik, detik berikutnya, Hayden mendapati dirinya terkekeh meremehkan, kala mengalihkan pandangan, sejenak.
Mengulum lidah dalam mulut, agaknya Hayden berusaha untuk menahan emosi yang tiba-tiba saja menyeruak, memenuhi rongga dada.
Pandangan Hayden kembali bertemu dengan gadis cantik bernama Jane itu.
Terkesan tajam, sarat akan ketidak sukaan, tatapan Hayden membersamai sudut bibirnya yang tertarik, mengulas senyuman sinis. "Apa yang membuatmu ragu akan keputusanku, Nona manis?"
Jane memutar bola matanya malas. Menyedekapkan lengan di dada, bersamaan dengan kedua tungkai yang saling bertopang, gadis itu duduk, menunjukan postur tubuh arogan. "Sudah dipikirkan dengan matang-matang?"
Kerutan samar memeta di kening Hayden, mewakilkan rasa herannya terhadap sosok gadis yang ia tahu, tidak begitu memperdulikan kehidupan orang lain, jika sama sekali tidak memberi keuntungan pada diri sendiri. "Kau ragu? Sejak kapan kau memikirkan apa yang akan kau lakukan secara berulang?"
Mendengkus jengah, Jane menurunkan kedua tangannya, menatap sosok Hayden dengan tatapan lekat, sesaat. "Baiklah."
Kepasrahaan terdengar jelas dari bagaimana Jane berucap. Pasrah pada keputusan yang terlanjur diambil oleh Hayden, atau memang sudah merasa cukup jengah jika harus bertatap muka dengan pria tampan itu, membuat Jane tidak memiliki sedikit pun niat untuk mengulur waktu.
"Aku tidak memiliki banyak waktu untuk meladenimu. Aku harus segera kembali ke kantorku."
Menata ceceran berkas yang berada di permukaan meja, adalah tindakan selanjutnya yang Jane lakukan, setelah memutuskan kontak mata yang masih berlangsung dengan Hayden.
"Kau sudah membaca semuanya, kan?"
Mempertemukan kembali pandangan, mendapati manik mata jelaga Hayden masih tertuju padanya, Jane tentu ingin memastikan.
Hayden mengangguk samar. "Sudah. Lalu?"
Rasa kesal sungguh tak terelakan, membuncah dalam relung, hingga mati-matian Jane harus menahan diri agar tidak melayangkan pukulan atau paling tidak sekadar tamparan di permukaan wajah berharga milik Hayden.
Mendengkus, menatap Hayden dengan tatapan malas, menunjukan raut wajah masam pun gusar, Jane tahu, bahwa dirinya akan terlibat dalam masalah yang cukup pelik, jika membiarkan emosinya menguasai diri.
Menggeleng tak habis pikir, bersamaan dengan embusan napas kasar yang menguar, Jane menatap Hayden dengan tatapan tajam, sedikit memberi kesan mengancam. "Setelah pernikahan ini terjadi, pastikan semua aset kekayaannya berpindah tangan, menjadi atas namaku. Hanya itu yang aku mau, dan kau pun mendapatkan apa yang kau mau."
Hayden memutar bola matanya malas. Bukan kali pertama gadis di hadapannya itu mengingatkan apa yang harus ia lakukan, jika saja ia tidak mempertaruhkan sesuatu yang memang sudah lama ia idam-idamkan, tentu ingin sekali memberi penolakan, atau sekadar memperingati dengan tegas, bahwa dirinya tidak suka dituntut seperti ini.
"Ya. Kau sudah bisa berhenti mengingatkanku akan hal itu."
Mendengkus kasar, Hayden menyugar surai hitamnya ke belakang. "Aku sudah berjanji padamu, kau ingat? Kau bisa mempercayaiku, kali ini."
Menyelipkan sedikit godaan di akhir kalimat, Hayden menorehkan senyum miring, kala mendapati raut wajah Jane memetakan kejengkelan luar biasa.
Memiringkan kepala sekilas, bersamaan dengan pelupuk yang berkedip genit, mendapati reaksi yang diinginkan, tentu membawa kepuasan tersendiri bagi pria tampan itu.
Jane berdecih. "Dasar Playboy."
"Aku bisa mendengar apa yang kau katakan, Babygirl."
Melihat Hayden agaknya menikmati sisi penggodanya yang tiba-tiba kambuh, Jane menatap pria itu lekat, seolah tengah menelisik sesuatu.
Hayden mengernyitkan kening, matanya dibuat sedikit memicing, menatap Jane, nanar. "Ada apa? Apa yang membuatmu menatapku dengan tatapan seperti itu? Jangan bilang kau sudah jatuh cinta padaku, saat belum ada satu pun rencana yang kita jalankan."
Benar-benar. Memang sepertinya sesulit itu jika harus di hadapkan dengan Hayden yang sudah mengeluarkan jurus andalannya yang memang terkenal suka sekali menggoda, memberi kesan mudah akrab, katanya.
Namun, sayangnya ... sepertinya hal itu sama sekali tidak berlaku pada Jane. Air mukanya sama sekali tidak memancarkan rona tersipu, mendengar godaan yang Hayden lontarkan.
Mempertahankan tatapan lekat pun wajah datar yang terkesan dingin, Jane tidak mengindahkan godaan pria tampan di hadapannya itu. "Kenapa kau menyetujui rencana pernikahan ini? Seingatku, kau memang akan mendapatkan apa yang kau inginkan, tapi bukankah hal itu sama sekali tidak memberimu keuntungan? Lihat, kau hanya akan menikah dengan gadis yang tidak memiliki keperdulian terhadapmu sama sekali."
Memberi penekanan pada keterangan yang ia selipkan di penghujung kalimat, Jane membuat dua tanda kutip di atas kepala, menggunakan jemari tangannya.
Rasa penasaran terlanjur menggunung, dan sedikit pun tak mampu ia bendung. Tidak seharusnya ia menanyakan hal itu, tentu Jane tahu, dan Hayden pun pastinya tidak akan terlalu menyukainya.
Alasan mereka bertemu di sana sekarang ini adalah untuk membahas sebuah rencana pernikahan dan beberapa perjanjian, bukan termasuk alasan, kenapa Hayden melibatkan diri dalam bentuk sebuah persetujuan.
Sementara Jane menunggu jawaban yang mungkin saja akan Hayden lontarkan, pria di hadapannya itu malah terkekeh senang, menyikapi segalanya, seakan hanyalah sebuah guyonan.
"Aku bisa melakukan apapun demi berlangsungnya pernikahan ini."
"Kau memang sudah sangat mempersiapkan diri untuk terjebak dalam sebuah mimpi buruk selama sisa hidupmu, ya?"
Kesan serius seketika hadir, menyelimuti suasana sekitar, kala Jane akhirnya menyuarakan sebuah alasan yang membuat benaknya memiliki banyak sekali pertanyaan yang berputar, selepas Hayden menyetujui sebuah perjanjian yang ia tawarkan.
Hayden menanggapi dengan sebuah senyum miring, bersama dengan kepala yang tertunduk sesaat, pun raut wajah merah padam, sementara sorot matanya terlihat begitu membingungkan, jelas sulit sekali diterka maksudnya. "Mimpi buruk? Itu bagimu, bukan bagiku. Aku memiliki alasan yang tidak bisa aku jabarkan. Untuk saat ini, mari sudahi perbincangan kita sampai di sini, Nona Jane. Mohon kerjasamamu untuk ke depannya."
"Akhirnya. Aku bisa beristirahat." Felisha Kylie Jordan bergumam tatkala ia menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur.
Manik hazel gadis itu tertuju ke atas sana, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan sendu untuk beberapa saat.
Tak lama kemudian, tiba-tiba raut wajahnya berubah, terlihat sedikit murung. Gadis itu memejamkan mata seraya menelan ludahnya dengan susah payah.
'Apa Hayden benar-benar akan menikah? Dengan siapa?'
Feli - begitu singkatnya putra kedua dari tuan Jordan itu biasa disapa, membuka matanya dengan pergerakan yang begitu cepat. Matanya membola, menunjukan kerterkejutan yang tengah dirasa.
"Hey! Felisha!" Ia bergumam keras seraya memukul kepalanya dengan telapak tangan yang mengepal. "Apa kau sudah gila?"
Feli membuang napas kasar seraya mendudukan diri di tepian tempat tidur. "Lupakan itu. Dia menikah ataupun tidak, itu bukan urusanmu."
Mulut, hati dan pikiran Feli memang sedang tidak berada di jalur yang sama.
Jujur saja, hati Feli saat ini sedang gundah gulana, sementara benaknya sibuk menerka.
Sudah seminggu ini ia mendengar kabar yang bisa dibilang cukup membuatnya merasa penasaran dan gelisah dalam satu waktu.
Betapa tidak, satu perusahaan tengah ramai memperbincangkan sebuah berita tentang seseorang yang dulu sekali, pernah mengisi hari-harinya.
Hayden Brent Wilson, mantan kekasih Feli, kabarnya akan melangsungkan pernikahannya dalam waktu dekat.
Hal itu sedikit banyak membuat Feli tidak nyaman. Meski telah sekuat tenaga menepis, relung hati terdalam Feli tidak bisa membohongi, bahwasannya ia masih memiliki rasa terhadap pria yang sudah lama lolos dari genggamannya itu.
Di sela pergolakan asa, tiba-tiba sebuah ketukan pelan menyita perhatian Feli. Ia yang saat itu tengah bergelut dengan permasalahan batin dan benaknya pun seketika menoleh ke arah pintu kamarnya yang sudah terbuka.
Gadis itu tersenyum lembut tatkala mendapati seorang wanita paruh baya tengah berdiri di ambang pintu kamarnya, sambil tersenyum, menatapnya.
"Ibu." Feli berucap seraya membangkitkan diri dari tempat tidur.
Ia berjalan ke arah Luciana - sang ibu yang masih berdiri di ambang pintu. Permukaan dahi gadis itu tiba-tiba mengernyit, bersamaan dengan matanya yang sedikit memicing, menatap Luciana, keheranan.
Bukan tanpa alasan, hal itu Feli lakukan karena merasa bingung. Setelah jaraknya dengan sang ibu terkikis, hampir habis, Feli menyadari, bahwa sang ibu menunjukkan raut wajah murung pun terlihat cemas dan bingung.
"Ibu. Ada apa?" Feli berucap seraya menengkup kedua bahu Luciana dengan sangat lembut.
Luciana tersenyum lirih. "Tidak ada. Apa Ibu menganggumu?"
"Tidak sama sekali. Apa Ibu membutuhkan sesuatu?"
Luciana mengangguk samar. "Bisa tolong telpon kakakmu? Tanyakan dia masih di mana. Katakan ada tamu yang ingin menemuinya."
"Tamu?" Feli benar-benar tidak mengerti, apa yang sebenarnya saat ini tengah terjadi, pasalnya baru kali ini ia melihat sang ibu tampak begitu cemas dan bingung saat membicarakan tamu yang mencari Jane.
"Baiklah. Aku akan menelpon kak Jane sekarang."
Luciana tersenyum lirih seraya mengusap lembut surai Feli secara perlahan pun lembut. "Setelah itu, susul Ibu ke ruang tamu, ya?"
Feli menatap bingung sang ibu dengan raut wajah datar, tanpa ekspresi, sampai sang ibu pergi meninggalkannya di sana, kembali sendiri.
Feli menggelengkan kepalanya dengan pergerakan yang cukup cepat, agar ia bisa membawa dirinya kembali tersadar dari rasa bingung pun terkaan-terkaan yang mulai mengungkung dalam benaknya.
Gadis itu mengindikan bahu sebelum akhirnya mengayunkan kaki, melangkah mendekati nakas yang berada di samping tempat tidur untuk mengambil ponselnya dari sana.
Feli tak membuang banyak waktu untuk segera melakukan permintaan sang Ibu, yakni menelpon Jane - sang kakak.
"Hallo?" Feli menyapa dengan keramah tamahannya yang luar biasa seraya menenggerkan benda pipih itu di daun telinga tatkala Jane menjawab panggilannya.
"Ada apa?" Berbanding terbalik dengan Feli. Jane justru berucap dengan nada ketus luar biasa, penuh ketidak sukaan.
"Kakak di mana? Ibu bilang, ada tamu yang mencari Kakak. Apa Kakak bisa pulang lebih cepat?"
Terdengar Jane mendesah malas di sebrang sambungan terlpon sana. "Aku hampir sampai."
"Ah, bai-"
Belum sempat Feli merampungkan perkataan, Jane dah memutuskan sambungan tersebut begitu saja.
Feli menurunkan ponselnya dari daun telinga. Ia tertunduk lesu seraya membuang napas kasar. "Selalu seperti itu."
Ia menggeleng kecewa seraya menyimpan kembali ponselnya ke atas nakas. Ia memutuskan untuk mengabaikan tingkah laku Jane yang bisa dibilang cukup menyebalkan, karena ia sudah sangat terbiasa.
Ia lebih memilih untuk segera melakukan permintaan sang ibu yang ke dua, yakni pergi ke ruang tamu untuk menyusulnya yang telah pergi lebih dulu.
"IBU! AKU SUDAH MENELpo-" Ucapan Feli memelan, sampai kemudian terhenti, begitu ia menginjakan kaki di ambang pembatas ruang tamu.
Sayangnya, bukan hanya perkataannya yang tak sempat rampung, tetapi juga dengan napasnya yang tiba-tiba tercekat untuk beberapa saat.
Feli seketika memaku dan membeku di tempatnya menghentikan langkah.
Jantung gadis itu berdebar begitu cepat tatkala netra teduhnya berhasil beradu tatap dengan netra dingin seorang pria yang sudah tertuju ke arahnya.
"Hayden, apa dia gadis yang ingin kau nikahi?" Seorang wanita paruh baya yang saat itu tengah duduk berdampingan dengan Hayden, angkat suara.
Namanya Emely. Emely Wilson. Beliau adalah ibunda dari The perfect duo, yakni Hayden dan Jayden.
Ya, kehadiran Hayden lah yang ternyata sudah mampu menghentikan dunia Feli untuk sesaat.
Gadis itu memaku di tempatnya berdiri tatkala ia menyadari, di sana lah Hayden dan keluarganya berada, duduk di sofa yang tertata di ruang tamu, bersama Luciana - sang ibunda.
Manik mata Hayden yang menunjukkan aura gelap dan dingin masih terkunci, beradu tatap dengan mata Feli yang sudah membola, menatapnya tidak percaya.
Betapa tidak. Gadis itu sebelumnya jelas sedang memikirkan Hayden. Kemudian tiba-tiba saja pria itu kini ada di hadapannya.
Benak Feli bahkan mendadak jadi buntu, membuat tubuhnya memaku cukup lama, tidak beralih sama sekali, di titik yang sama.
Hayden menyeringai ngeri penuh arti seraya membuang napas kasar dan mengalihkan pandangan, ke arah Emely. "Bukan Bu. Bukan dia."
"Aku pulang!" Suara Jane menggema begitu keheningan menghampiri ruang tamu setelah Hayden merampungkan pernyataan singkatnya.
Hayden tersenyum senang seraya menoleh ke arah Feli yang di mana tepatnya Jane memunculkan diri, di belakang gadis itu. "Itu dia."
Semua orang yang berada di sana seketika menoleh ke arah mana Hayden memokuskan atensi, yakni di mana Feli dan Jane berdiri saling berdampingan.
Hayden mengulum senyum senang tatkala netranya berhasil beradu pandang dengan netra Jane. "Babe, kau baru pulang?"
Feli seketika menoleh ke arah sang kakak dengan mata yang membola untuk kesekian kalinya. Ia merasa terkejut luar biasa.
Sementara Jane hanya tersenyum manis menanggapi pertanyaan sederhana Hayden.
Hayden menoleh ke arah ibu dan ayahnya sekilas. "Ayah, Ibu, dia adalah Jane. Wanita yang ingin dan akan aku nikahi."
Tbc ....
"Feli, Jane, ayo duduk Sayang." Luciana berucap dengan suara lembutnya.
Feli terhenyak. Ia menoleh ke arah sang ibu, tetapi tatapannya terkunci dengan netra lekat Hayden yang sudah kembali menatapnya.
Sementara Jane ... gadis itu tentu tak membuang banyak waktu untuk segera mendudukan dirinya, tepat di samping sang ibu.
Untuk kesekian kalinya, Feli memaku. Tubuhnya seolah tak bekerja sesuai perintahnya. Tatapan tajam Hayden yang tertuju ke arahnya, membuat gadis itu terkurung dan membeku.
Feli menelan ludahnya dengan susah payah. Rasa gugup seketika mengungkung dalam relungnya. Ia mampu melihat kebencian dari bagaimana manik mata Hayden menatapnya.
Dahi Luciana mengernyit, bersamaan dengan matanya yang sedikit memicing, menatap Felisha yang tak kunjung bergerak dengan tatapan heran. "Feli? Apa kau baik-baik saja, Sayang?"
Atensi orangtua Hayden yang sebelumnya terfokuskan ke arah Jane setelah Hayden mengatakan bahwa dialah gadis yang ingin sang putra nikahi, akhirnya teralihkan ke arah Feli.
Satu hal yang tak mereka sadari, yakni kekhawatiran dan rasa bersalah yang jelas terpancar dari sorot mata Luciana terhadap Feli.
Luciana berhasil menyembunyikan hal tersebut, bahkan Feli yang biasa mengetahui apa yang dirasakan sang ibu melalui sorot matanya pun, berhasil dikelabuhi.
Feli dengan ragu menoleh ke arah sang ibu. "A-aku akan m-mengambilkan minuman, Bu."
Luciana tersenyum lirih. "Baiklah. Cepatlah kembali."
"Eummm." Feli berucap seraya menoleh ke arah Hayden, hingga mereka beradu tatap untuk beberapa saat. "Tentu," imbuhnya, sebelum akhirnya pergi, melangkahkan kaki ke arah dapur dengan pergerakan yang begitu berat.
Hayden mendengkus kasar seraya menyeringai penuh arti tatkala ia melihat Feli menjauh dari ruang tamu dengan langkah yang sedikit terhuyung.
Feli membuang napas kasar tatkala ia tiba di dapur. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding sembari memegangi dada, berusaha mengontrol detak jantungnya yang menggila.
Napas gadis itu menjadi berat, terengah-engah. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Feli mendongakan kepala, menatap cahaya remang yang terpantul di langit-langit seraya menelan ludahnya dengan susah payah.
"Pengaruh kehadirannya, masih begitu besar bagiku. Padahal aku sering bertemu dengannya, jika Jayden memintaku untuk ikut serta dalam meeting di Kantor, maupun di luar." Feli bergumam lirih.
Ya, Feli memang bekerja di kantor yang dipimpin oleh Jay, adik dari Hayden. Ia bersahabat baik dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Jay, karena Jay merupakan teman satu SMA dan satu Universitasnya dulu.
Feli membuang napas jengah seraya menundukan kepala, meluruskan pandangan. Ia tidak ingin membuat sang ibu menunggu lebih lama hanya untuk sebuah minuman saja.
Dengan tubuh yang masih sedikit gemetar, Feli mulai meraih beberapa gelas, menatanya di atas nampan dan mengisinya dengan air mineral.
Atensi Feli tak sepenuhnya berada di sana. Benak dan hatinya masih sibuk bergelut, melawan keterkejutan yang baru saja ia alami.
Pasalnya, ia kini tahu, wanita yang hendak Hayden nikahi, merupakan kakaknya sendiri.
Pandangan Feli mengarah lurus ke depan. Ia menatap dinding di hadapannya dengan tatapan kosong, hingga ia tidak menyadari, salah satu gelas yang tengah ia isi, sudah penuh dan airnya tumpah ruah.
"Kau ingin mengisi gelas, atau nampannya?"
Feli terhenyak. "Astaga!" Ia dengan cepat menaruh teko yang digenggamnya ke atas meja dan membersihkan kekacauan yang ia buat.
Gadis itu menghela napas panjang, kemudian membuangnya dalam satu kali hentakan kasar tatkala kekacauan yang ia buat, kini sudah terselesaikan.
"Apa kau berusaha mengabaikanku?"
Mata Feli membola, tatkala ia menyadari, ada seseorang yang berhasil menyadarkan dirinya dari lamunan yang sebelumnya menguasai benak.
Gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah sebelum akhirnya menoleh ke samping kiri.
Napas gadis malang itu tercekat untuk beberapa saat. Jantungnya kembali berdebar dengan tempo yang begitu cepat tatkala netra teduhnya berhasil beradu tatap dengan netra Hayden yang sudah tertuju ke arahnya dengan tatapan lekat.
Salah satu sudut bibir Hayden menukik tajam, menunjukan seringaian ngeri, penuh arti. "Hai, Babe. Apa kau terkejut, saat melihatku datang kemari untuk melamar kakakmu?"
Feli mengedipkan pelupuk matanya berulang. Kedua telapak tangan yang berada di kedua sisi tubuhnya ia kepalkan dengan sangat erat.
Pengaruh Hayden memang cukup besar untuk dirinya. Namun, tidak untuk kali ini. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya terhadap Hayden untuk sekarang ini.
Feli memberanikan diri untuk menatap Hayden dengan tatapan tajam. "Apa tujuanmu? Apa alasanmu yang sebenarnya, hingga kau memutuskan untuk menikahi Kakakku?"
Hayden mendengkus kasar. Ia meluruskan tubuhnya seraya bersender ke dinding di belakangnya. Ia mengindikan bahu seraya menoleh ke arah Feli yang masih menatapnya.
"Entahlah. Mungkin awalnya ... aku hanya ingin membantu."
Jawaban singkat Hayden berhasil membuat dahi Feli mengernyit, keheranan. "Apa maksudmu?"
Hayden memiringkan tubuh ke arah Feli. Ia menatap gadis itu dengan mata yang membola, seolah merasa terkejut luar biasa. "Apa Jane tidak menceritakan apa pun padamu?"
Feli memilih bungkan dan tidak mengikuti permainan yang tengah Hayden mainkan. Ia tahu betul, bahwa saat ini Hayden tengah menguji kesabarannya.
Hayden tersenyum. "Perusahaan ayahmu hampir bangkrut. Awalnya, itu yang menjadi alasanku untuk menikahi Jane. Untuk membantu perusahaan ayah kalian."
Feli terkekeh sekilas, meremehkan. "Apa kau serius? Apa kau pikir aku bodoh? Aku tahu segala hal tentang perusahaan ayahku. Tidak mungkin perusahaan ayahku bangkrut begitu saja."
Hayden menyeringai, penuh kepuasan seraya menegakan tubuh. Ia berdiri dengan benar. Hayden menganggukan kepala seraya berjalan mengitari Feli yang hanya diam, memperhatikan dan mendengarkan.
"Sepertinya, dugaanku benar." Hayden membungkukan sedikit tubuhnya tatkala ia berdiri tepat di belakang Feli, hingga wajahnya kini berdekatan dengan ceruk leher gadis itu.
Tubuh Feli seketika meremang, manakala embusan napas hangat Hayden, berhasil menyapu kulit lehernya.
Hayden mengikis jarak yang terbentang antara wajahnya dan Feli seraya sedikit menengadahkan pandangan. Bibir penuh Hayden hampir saja menyentuh daun telinga Feli, membuat Feli sedikit bergidik karenanya.
Jarak yang terlalu dekat itu pun, berhasil membuat persendian di seluruh tubuh Feli menegang. Jantungnya berdegup dengan tempo yang sangat cepat, luar biasa, hingga ia merasa hampir saja meloncat ke luar dari dada.
"Jane masih merahasiakan segalanya darimu," bisik Hayden menggoda, tepat di dekat telinga Feli.
Feli mengembuskan napas yang entah sejak kapan ia tahan tatkala ia merasa, Hayden kembali membuat sedikit jarak, menjauh dari dirinya.
Ia memaku untuk kesekian kalinya. Feli meyakini, perkataan yang telah Hayden lontarkan padanya, mungkin memang ada benarnya. Pasalnya, semenjak perusahaan milik ayahnya berada di bawah kendali Jane, ia tidak sepenuhnya mengetahui apa yang terjadi pada perusahaan milik ayahnya tersebut.
Hayden menyeringai, penuh kemenangan manakala ia menikmati setiap momen yang ia habiskan untuk memperhatikan setiap gerak-gerik Feli.
Pada saat bersamaan, Feli berpikir bahwa Hayden mungkin akan pergi meninggalkannya sendiri di sana, karena pria itu tidak lagi mengatakan apa pun padanya, tapi sayangnya ... ia salah.
Gadis itu terhenyak dengan mata yang membola seketika tatkala ia merasa dua lengan kekar melingkari pinggang rampingnya.
Hayden memeluk Feli dari belakang, membawa tubuh gadis itu mendekat, hingga punggung Feli saling bertekanan dengan dada bidangnya.
Feli benar-benar terkejut dan bingung atas tindakan tiba-tiba yang dilakukan oleh Hayden tersebut, tetapi ia hanya memilih diam dan bungkam, berharap Hayden memberitahu seluruh alasannya yang sebenarnya, terkait rencana pernikahan dirinya dan Jane.
Hayden menyandarkan dagunya pada bahu Feli yang menegang. Ia menelusupkan wajahnya di ceruk leher gadis malang itu, membuat sang empu memejamkan mata sesaat, merasakan sensasi embusan napas hangat Hayden yang menyentuh kulitnya dan membuat tubuhnya kembali meremang.
Hayden menghirup aroma tubuh Feli, membiarkan aroma feromon yang memabukkan menyeruak di dalam indra penciumanya. "Kau tahu ...-" Hayden menjeda perkataannya cukup lama setelah berucap dengan suara rendah dan husky-nya. "Jane ...-" Memberi jeda lagi, Hayden menatap sisi wajah Feli, lekat. Ia tersenyum miring. "aku sangat mencintainya."
Feli menelan ludahnya dengan susah payah seraya menundukan pandangan, menatap lengan Hayden yang masih memeluknya dengan erat.
"Aku akan segera menjadi kakak iparmu. Apa kau menyukainya, Feli?" Hayden menyeringai penuh kepuasan seraya mempererat pelukannya pada tubuh Feli, membuatnya sedikit kesulitan untuk bernapas.
Feli hanya berdiam diri di sana, layaknya sebuah batu, benda mati tak bernyawa. Ia bungkam, seolah tidak berani untuk melontarkan perkataan apa pun.
"Aku bisa mengunjungimu kapan saja. Bahkan setiap hari jika aku mau, setelah aku menikah dengan kakakmu." Hayden berbisik dengan lembut di telinga Feli. "Bisakah kau membayangkannya? Aku bisa memperlihatkan betapa mesranya hubunganku dan Jane, padamu."
Tubuh Feli mulai kembali gemetar tatkala semua ucapan Hayden yang lebih terdengar seperti menggoda, menyapa rungunya.
"Kau bisa melihat, bagaimana aku bercumbu dan menciumi Jane set-" "Cukup!" Feli memekik, penuh kemarahan tatkala tubuhnya sudah gemetaran sangat hebat.
Feli melepaskan diri dari dalam rengkuhan Hayden dengan pergerakan yang cukup kasar. Ia mengambil langkah, agar bisa membuat sedikit jarak.
Gadis itu memutar tubuhnya, agar bisa saling berhadapan dengan Hayden. Raut wajah Hayden seketika berubah menjadi serius, terlihat gusar nan dingin.
Hayden menyeringai ngeri, penuh arti. "Kasar sekali."
Feli menatap Hayden dengan tatapan tajam, penuh kemarahan yang siap menghujam. "Aku tidak keberatan jika kau memang ingin menikahi Jane ...-"
Feli menjeda perkataannya cukup lama, membuat Hayden menatapnya penuh terka. "Tapi tolong, jangan sakiti dia. Jangan sakiti perasaannya."
Hayden terkekeh sinis sekilas, meremehkan. "Menyakiti perasaaannya bagaimana? Apa seperti yang sudah kau lakukan padaku, dua tahun yang lalu?"
Feli dengan cepat meraih nampan yang telah ia siapkan, lalu pergi meninggalkan Hayden sendirian di sana.
Hayden terkekeh sinis sekilas tatkala netranya terkunci, menatap sosok Feli yang perlahan menjauh dan menghilang dari pandangan. "Gadis menyedihkan."
Tbc ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!