"Terima kasih untuk makan malamnya, Jay." Anna berucap seraya menyenderkan tubuhnya ke kepala kursi yang ia duduki.
Anna dan Jay saat ini tengah berada di sebuah restoran mewah. Mereka sedang menikmati makan malam bersama. Ah tidak, mungkin lebih tepatnya, mereka sudah selesai menikmati makan malam mereka.
Jay hanya bisa menggeleng tidak percaya sambil menatap gadis cantik yang duduk berhadapan dengannya, tampak begitu kekenyangan.
Jay terkekeh. "Apa kau menikmati makananmu?"
Anna tersenyum sembari mengangguk antusias. "Tentu saja." Namun, gadis itu tiba-tiba menatap Jay dengan tatapan penuh curiga tatkala ia merampungkan perkataannya. "Tapi tumben sekali kau mengajakku makan malam tanpa Feli?"
Jay membuang napas kasar seraya mengalihkan pandangannya sekilas. "Aku ingin melanjutkan pembicaraan kita yang tertunda tadi siang."
Anna memutar bola matanya jengah. "Maksudmu, mencari rencana agar Hayden membatalkan pernikahannya?"
Jay mengangguk, membuat Anna menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Pasalnya, Anna tidak mengira bahwa Jay benar-benar memikirkan pernikahan sang kakak dengan sangat serius.
Anna membuang napas kasar seraya menegakan posisi duduknya. "Apa yang akan kau lakukan?"
Jay menelan ludahnya dengan susah payah. Pria tampan itu menatap Anna dengan tatapan sendu yang menyiratkan rasa ragu dengan jelas.
Dahi Anna mengernyit, bersamaan dengan alisnya yang menukik, hampir menyatu. Gadis itu menatap Jay dengan tatapan heran. "Apa?"
Jay membuang napas kasar dengan satu kali hentakan. "Bagaimana jika kita beritahu Hayden, bahwa Feli tidak pernah mengkhianatinya dengan pria manapun?"
Mulut Anna sedikit menganga. Kali ini, ia benar-benar tidak percaya atas apa yang telah ia dengar. Gadis itu mengerjapkan pelupuk matanya dengan pergerakan cepat, beberapa kali. "A-apa kau serius?"
Jay mengangguk samar. "Aku yakin Hayden masih memiliki perasaan terhadap Feli. Jika kita memberitahu kebenarannya, mungkin dia akan membatalkan rencana pernikahan ini."
Anna tersenyum lirih. Ia menatap Jay dengan tatapan sendu yang sangat sulit sekali diartikan. "Kau begitu perduli dengan kebahagiaan Feli. Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana dengan perasaanmu? Apa kau akan baik-baik saja, jika melihat Hayden dan Feli kembali bersama?"
Jay terkekeh getir, sekilas. "Perasaanku?" Ia menganggukan kepala perlahan seraya menundukan pandangan. "Aku mungkin akan sedikit merasa sedih."
Ia menengadahkan pandangan, hingga netra teduhnya, berhasil kembali beradu pandang dengan netra Anna, lantas tersenyum simpul. "Tapi aku akan lebih merasa sedih, jika harus terus menerus melihat Feli kehilangan jati dirinya."
Anna memaku. Ia terdiam membeku, seakan ada sesuatu yang berhasil menghentikan waktu dan pergerakannya.
Gadis itu bisa melihat, betapa tulusnya perasaan Jay terhadap Feli. Delapan tahu? Bukankah itu bukan waktu yang tidak sebentar bagi Jay untuk memendam perasaannya terhadap Feli, sendirian?
Anna tahu, Jay acap kali berkencan dan berganti-ganti wanita. Namun ia paham, dengan siapapun Jay menghabiskan waktu bersama, pada akhirnya, pria tampan itu akan jatuh di tempat yang sama.
Jay akan tetap kembali pada Feli. Jay akan tetap mementingkan kebahagiaan Feli di atas segalanya, tak terkecuali kebahagiaannya sendiri.
Bukankah dia sangat luar biasa?
Anna menggeleng samar. "Tidak-tidak."
Dahi Jay mengernyit, keheranan. "Apanya yang tidak?"
"Huh?" Anna sepertinya sudah terlalu terbawa jauh dalam lamunannya.
Tak lama kemudian, setelah tersadar dari lamunan, gadis itu kembali memaku. Ia menatap Jay yang tengah menelisiknya dengan tatapan kosong.
'Aku tidak boleh memikirkan betapa baiknya pria di hadapanku ini. Jika tidak, mungkin, aku akan jatuh cinta padanya.' Anna membatin lirih.
Gadis cantik itu terkekeh sekilas. "Tidak. Itu tidak boleh terjadi."
"Annatasia Moore!"
Anna terhenyak saat emosi Jay akhirnya meledak. Pria tampan di hadapannya memekik geram.
"A-apa?"
Jay menatap Anna dengan tatapan tajam. "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Anna menelan ludahnya dengan susah payah seraya mengerjapkan pelupuk matanya berulang. Ia menggeleng samar. "T-tidak. Tidak ada."
Jay mendengkus lelah. "Sadarkan dirimu." Ia menggeleng tidak percaya. "Kau memang tidak bisa diajak bicara seius."
Anna terkekeh kikuk. "Maaf. Maaf." Gadis itu kini mencoba memukoskan seluruh atensinya pada perbincangan dirinya dan Jay.
"Kau bilang, kau ingin memberitahu Hayden perihal pengkhianatan yang Feli lakukan dua tahun lalu, bukan?"
Jay mengangguk samar. "Hemm."
"Apa kau punya bukti yang bisa kau berikan pada Hayden?"
Jay menatap Anna, keheranan. "Bukti?"
Anna membuang napas kasar seraya memejamkan pelupuk matanya sebentar. "Ya. Bukti. Kau tidak ingat? Feli saja tidak tahu, kenapa malam itu ia bisa bersama laki-laki lain di dalam rumahnya sendiri."
Jay menatap Anna dengan tatapan dingin, mengintimidasi. "Bisa saja Feli tahu, tapi dia berusaha menyembunyikannya dari semua orang."
...***...
"Ah, melelahkan sekali." Feli bergumam lirih seraya merenggangkan otot-otot di bahunya.
Gadis itu baru saja tiba di dalam kamarnya, membawa sebuah paperbag besar yang dapat dipastikan berisi gaun yang siang tadi ia beli bersama Hayden dan juga Jane.
Feli mendudukan dirinya di tepian tempat tidur dan menaruh paperbag yang ia bawa di sampingnya.
Hari ini cukup melelahkan bagi gadis cantik itu. Bagaimana tidak, hampir seharian ini ia disibukan dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan rencana pernikahan Jane, seperti melihat gedung yang tengah didekorasi, memilih gaun dan sebagainya.
Sebenarnya, bisa saja ia menolak. Namun, ia berpikir, mungkin bantuan yang hari ini ia lakukan untuk Jane, merupakan hal terakhir yang bisa ia lakukan untuk sang kakak.
Terlebih Feli tahu betul, bahwa Jane tidak memiliki siapa pun yang berpihak padanya selepas sang ayah meninggal. Jadi, bisa dibilang, Feli berusaha sangat keras untuk menebus rasa bersalahnya yang mendalam dan perlahan membunuhnya secara perlahan.
Feli membuang napas kasar. "Dasar menyebalkan." Gadis itu menatap daun pintu kamarnya dengan tatapan geram, penuh ketidak sukaan. "Kenapa mereka mengajakku untuk memilih gaun pengantin, jika pada akhirnya tetap memilih gaun yang Jane pilih?"
Mungkin hanya itu yang gadis itu keluhkan hari ini, karena dengan ikutnya ia memilih baju pengantin, namun baju pilihannya tidak dilirik sama sekali oleh Jane, jelas membuat ia merasa sebagian waktunya hanya terbuang sia-sia dan tidak berguna.
Feli menoleh ke arah paperbag yang menjadi titik utama kekesalannya. Gadis itu mendengkus kesal. "Aku harus menaruhnya di kamar Kak Jane."
Feli beranjak dari duduknya dan meraih paperbag berisi gaun pengantin milik Jane tersebut, hendak bersiap untuk pergi, namun langkahnya terhenti tatkala ia mendengar suara ponsel berdering.
Gadis itu memendarkan pandangan, hingga netranya terfokuskan ke arah nakas yang berada di samping tempat tidurnya.
"Apa seharian ini, aku meninggalkan ponselku?" Gadis itu terheran-heran akan sikap cerobohnya sendiri.
Tanpa membuang banyak waktu, Feli pun meraih benda pipih yang masih berdering karena mendapatkan notifikasi panggilan suara tersebut dan melihat siapa gerangan yang memanggilnya.
Mata gadis itu membola manakala kenyataan berhasil memukul keras dirinya. "Ya Tuhan. Jay! Aku lupa mengabarinya hari ini."
Ya, jika saja saat ini gadis itu tidak melihat nama yang tertera sebagai sipemanggil di ponselnya, mungkin ia tidak akan mengingat kenyataan, bahwa bagaimana pun, ia merupakan karyawan di perusahaan Jay. Ia tidak bisa bolos begitu saja, tanpa memberi keterangan.
"Ah, mati saja kau Felisha!" kerutuknya kesal.
Feli membuang napas kasar sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan dari Jay tersebut.
"Hall-" "Hey! Felisha! Kau ke mana saja?"
Dahi Feli mengernyit, keheranan tatkala sapaannya terpotong oleh pekikan seorang wanita. "Anna?"
Anna, di sebrang sambungan sana, mendengkus geram. "Ya. Ini aku. Aku menelponmu menggunakan nomor Jay, karena kau tidak menjawab panggilanku sejak tadi pagi."
Feli terkekeh canggung. "Ah, maafkan aku. Seharian ini ponselku teringgal."
"Tertinggal? Memangnya kau dari mana?"
Feli melirik paperbag yang masih ia genggam dengan tangannya yang lain sekilas. "Aku membantu Jane, mempersiapkan pernikahannya."
"Feli! Bawa gaunku ke kamarku!" pekik Jane dari arah luar, tiba-tiba menginterupsi perbincangan yang tengah Feli lakukan bersama Anna.
Feli memutar bola matanya jengah seraya mendengkus lelah. "Anna, aku akan menghubungimu lagi nanti. Sekarang, aku harus pergi."
Gadis itu tidak memberi waktu untuk Anna mengoceh, karena ia tahu, Anna di sebrang sana pun pasti mendengar pekikan Jane tadi.
Feli menaruh ponselnya kembali ke atas nakas dan tak membuang banyak waktu untuk pergi ke kamar sang kakak.
Gadis cantik itu memendarkan pandangan tatkala ia membuka pintu kamar Jane. Namun, ia tidak melihat Jane di mana pun. "Kak. Aku ingin menyimpan gaunmu."
"Simpan saja di mana pun, asal jangan di kamar," sahut Jane dari arah kamar mandi.
"Baiklah." Feli pun pergi menuju ruang walk in closet milik Jane tanpa banyak basa-basi.
"Aku berhutang penjelasan pada Jay," gumam Feli kesal seraya menaruh paperbag yang ia genggam ke atas meja yang berada di ruang walk in closet tersebut.
Feli melirik cemas ke arah pintu kamar Jane dari dalam ruang walk in closet tatkala ia mendengar Jane seperti sedang mual dan batuk-batuk.
"Apa dia baik-baik saja?"
Feli menoleh ke arah paperbag yang sudah ia simpan dengan aman di atas meja sekilas, sebelum memutuskan untuk segera ke luar dari sana dengan pandangan tertunduk, menatap lantai yang ia pijak.
Langkah Feli terhenti, bersamaan dengan kepalanya yang mendongak seketika menengadahkan pandangan saat mendengar suara pintu ruangan tersebut, tertutup.
Di sana lah Hayden. Sepertinya sudah menjadi hobi bagi pria tampan itu muncul dengan cara tiba-tiba di hadapan Feli.
Feli tidak sengaja beradu tatap dengan netra Hayden yang menatap tajam dirinya, sebelum ia mengalihkan pandangan dengan cepat.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini? Calon, Kakak Ipar?" sarkas Feli, bertanya tanpa berani beradu tatap lebih lama dengan Hayden.
Hayden menyeringai ngeri, penuh arti. "Aku mencarimu."
Feli terkekeh sinis sekilas, meremehkan. "Mencariku? Calon istrimu sepertinya sedang membutuhkanmu di luar sana."
Gadis itu memberanikan diri untuk menatap Hayden dengan tatapan tajam, penuh ketidak sukaan. "Aku harus pergi dari sini sekarang. Ada hal yang perlu aku urus. Sampai jumpa besok, di acara pernikahanmu," terangnya, siap untuk mengambil langkah.
Akan tetapi ... tiba-tiba Hayden berjalan cepat ke arahnya dan berdiri tepat di hadapannya, sebelum merengkuh tubuhnya yang seketika menegang ke dalam pelukan.
Feli memaku, bersamaan dengan matanya yang membola. Aksi Hayden terbilang begitu tiba-tiba, menyebabkan Feli seketika berhenti bergerak.
Gadis itu kini dalam kondisi batin yang lemah, berada dalam pelukan Hayden. Kepalanya bersender di permukaan dada bidang Hayden, hingga ia bisa mendengar debaran jantung pribadi tampan yang menggila itu dengan sangat jelas.
Feli memejamkan mata tanpa ia sadari, merasakan sensasi nyaman yang diberikan oleh pelukan hangat Hayden.
Degup jantung gadis malang itu ikut menggila secara tiba-tiba tatkala ia merasa Hayden menelusupkan wajah di ceruk lehernya. Embusan napas hangat pria itu menyapu kulit lembutnya membuatnya meremang.
Hayden mempererat pelukannya pada tubuh mungil Feli dan di detik berikutnya, ia berhenti bergerak manakala ia menemukan posisi ternyamannya.
Hayden masih menelusupkan wajahnya di ceruk leher Feli secara diam-diam. Ia tidak berbicara ataupun membuat suara apa pun.
Feli benar-benar tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi tersebut. Ia sungguh masih merasa bingung dengan apa yang terjadi dalam hidupnya, terutama tentang hubungannya dan Hayden.
Gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah dan menyingkirkan semua hal membingungkan dalam benaknya, tatkala tiba-tiba ia merasa cairan hangat menyentuh kulit ceruk lehernya.
Feli tidak begitu yakin dengan apa yang tengah terjadi saat ini, namun saat ia merasa cairan itu terus menerus mengalir, membasahi area lehernya, hatinya tiba-tiba terasa begitu perih, bak teriris belati.
Hayden ... Hayden Brent Wilson. Pria itu menangis.
Feli membuka matanya dengan pergerakan yang begitu cepat. Napasnya tercekat untuk beberapa saat. Ia menelan ludahnya dengan susah payah, berusaha melawan kegugupan pun kecemasan yang seketika mengungkung relungnya.
"Ha-Hayden. Kenapa kau menangis?"
Hayden mempererat pelukannya. "Karena aku sangat bahagia."
"B-bahagia?"
Hayden mengangguk samar. "Hmm. Kakakmu Jane ...-" Ia menjeda perkataannya seraya membuang napas kasar. "dia sedang hamil."
Di saat, Hayden merampungkan perkataan, Feli bisa merasakan kakinya seketika gemetar dan hatinya bagaikan diremas, hingga remuk tak tersisa.
Pandangan gadis itu tertuju ke atas sana, ke arah langit-langit ruangan yang sedang ia tempati bersama Hayden, dengan tatapan kosong.
Feli terkejut dan tidak bisa berkata-kata pada saat bersamaan. Ia memaku dengan posisi yang masih sama, di dalam pelukan erat Hayden.
Kini, gadis itu benar-benar hancur. Ia merasa seolah ia benar-benar sudah terbunuh perlahan dari dalam dan rasanya, benar-benar menyakitkan.
Air mata seketika mengembun dalam pelupuk mata Feli, siap menetes kapan saja tanpa ia minta. Namun, ia mencoba sebisa mungkin untuk menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Hayden.
Merenggangkan bingkaib birai yang gemetar, Felu tersenyum getir, penuh kepedihan. "Selamat. Kau akan segera menjadi seorang ayah."
Gadis malang itu perlahan mendorong dada bidang Hayden, berusaha melepaskan diri dari dalam rengkuhan pria itu. Beruntungnya, Hayden melelaspkannya begitu saja tanpa memberi perlawanan sedikit pun.
Manik mata jelaga indah Hayden yang berkaca gemetar, menatap Feli dengan tatapan sendu. "Apa kau baik-baik saja dengan itu?"
Feli terkekeh getir, sekilas. "Kau tidak perlu bertanya tentang itu. Kita tidak pernah menjalani hubungan serius sebelumnya. Aku pikir kau sudah tahu, bukan?" Ia menatap Hayden dengan tatapan lekat. "Aku tidak pernah menganggap hubungan yang pernah kita jalani dulu, dengan begitu serius. Aku tidak benar-benar mencintaimu."
Hayden menyeka kasar air matanya sebelum menatap Feli dengan tatapan dingin nan lekatnya, mengintimidasi. "Tunjukan padaku!"
Hayden mengambil langkah besar, mengikis sedikit jarak yang masih terbentang antara dirinya dan Feli.
Namun, Feli tentu tidak diam, ia mengimbangi setiap langkah yang Hayden ambil dengan mengambil langkah mundur.
Tatapan dingin nan lekat Hayden tak sedetik pun berpaling dari manik hazel Letta yang sudah gemetar.
Hayden tak menghentikan langkahnya, hingga Feli tidak lagi memiliki cukup ruang untuk bergerak.
Punggung gadis itu membentur tembok di belakangnya dan saat itulah, Hayden menghentikan langkah. Jarak yang terbentang antara keduanya sangat minim, bahkan tak sampai lima senti.
"Buktikan padaku, bahwa kau tidak mencintaiku dan tidak pernah memiliki perasaan apa pun padaku sebelumnya!"
Manik mata Feli semakin gemetar, beradu tatap dengan netra Hayden yang masih setia menatapnya dengan tatapan lekat.
"Aku sudah membuktikannya padamu, dengan membiarkanmu menikah dengan Kakakku."
Tbc....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Ning Ning
sakit ey bacanya
2023-03-25
0