Bab 3 Tunggu, siapa yang seharusnya mewawancarai siapa?

"Tapi jika anda bekerja sangat keras, apa yang anda lakukan untuk bersantai?"

"Bersantai?" Dia tersenyum, menampakkan gigi putih sempurna. Aku berhenti bernapas. Dia benar-benar tampan. Seharusnya tidak ada yang setampan ini.

"Hmmmm, untuk 'bersantai', seperti yang Anda katakan,saya berlayar, saya terbang, saya menikmati berbagai pengejaran fisik."

Dia bergeser di kursinya.

"Saya orang yang sangat kaya,Nona Anastasya , dan saya memiliki hobi yang elegant dan menarik, meskipun itu harus merenggut uang yang banyak, bagiku tidak masalah"

Aku melirik cepat ke pertanyaannya Rahma, ingin keluar dari topik ini. Rasa nya sedikit mual karena dia terlalu sombong meskipun dia memiliki ketampanan yang sempurna. Tapi semua itu hanya titipan Allah, dan tidak ada yang bisa kita banggakan di dunia ini.

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. ” (QS Luqman : 18). Rasulullah saw juga pernah bersabda yang artinya, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Muslim).

"Anda berinvestasi di bidang manufaktur. Mengapa, anda terfokus pada bidang ini ?" Aku bertanya. Kenapa dia membuatku sangat tidak nyaman?

"Saya suka membangun sesuatu. Saya ingin tahu bagaimana sesuatu bekerja: apa yang membuat sesuatu bergerak, bagaimana membangun dan mendekonstruksi. Dan saya menyukai kapal. Apa yang harus saya katakan lagi?"

"Kedengarannya seperti hati anda yang berbicara daripada logika dan fakta."

Mulutnya menganga, dan dia menatapku dengan pandangan menilai.

"Mungkin. Meskipun ada orang yang mengatakan aku tidak punya hati."

"Mengapa mereka mengatakan itu?"

"Karena mereka tidak mengenalku dengan baik." Bibirnya melengkung membentuk senyum masam.

"Apakah teman-teman anda akan mengatakan bahwa anda mudah untuk dikenal?"

Dan aku menyesali pertanyaan itu begitu aku mengatakannya. Itu tidak ada dalam daftar pertanyaan nya Rahma.

"Saya orang yang sangat tertutup, Nona Anastasya. Saya berusaha keras untuk melindungi privasi saya. Saya jarang memberikan wawancara," dia terdiam.

"Mengapa anda setuju untuk melakukan wawancara ini?"

"Karena saya dermawan Universitas, dan untuk semua maksud dan tujuan, saya tidak bisa melepaskan Nona Susilawati. Dia mendesak dan mendesak orang-orang pekerja saya, dan saya mengagumi keuletan semacam itu."

Aku tahu betapa uletnya Rahma. Itu sebabnya aku duduk di sini menggeliat tidak nyaman di bawah tatapan tajamnya, saat aku seharusnya belajar untuk ujian.

"Anda juga berinvestasi dalam teknologi pertanian. Mengapa Anda tertarik dengan bidang ini?"

"Kita tidak bisa makan uang, Nona Anastasya, dan ada terlalu banyak orang di planet ini yang tidak cukup makan."

"Kedengarannya sangat *filantropis. Apakah ini sesuatu yang sangat Anda sukai? Memberi makan orang miskin di dunia?"

*Filantropis adalah sebuah perilaku orang yang mencintai sesamanya dengan memiliki nilai kemanusiaan sehingga mereka bisa menyumbangkan uang, waktu, juga tenaganya untuk membantu sesama.

Dia mengangkat bahu, sangat tidak berkomitmen.

"Ini bisnis yang cerdik," bisiknya, meskipun menurutku dia tidak jujur.

"Tidak masuk akal memberi makan orang miskin di dunia. Tanpa melihat keuntungan finansial dari ini, hanya kebajikan dari cita-cita."

Aku melirik pertanyaan berikutnya, bingung dengan sikapnya.

"Apakah Anda memiliki filosofi Jika demikian, apa itu?"

"Saya tidak memiliki filosofi seperti itu. Mungkin prinsip panduan * Carnegie's. Saya sangat mandiri, dan terdorong. Saya suka mengontrol diri saya sendiri dan orang-orang di sekitar saya."

*Seorang pria yang memperoleh kemampuan untuk menguasai sepenuhnya pikirannya sendiri dapat menguasai apa pun yang menjadi haknya.

"Jadi anda ingin memiliki sesuatu?" Dia terlalu senang mengendalikan orang.

"Aku ingin pantas memilikinya, tapi ya, intinya, aku punya."

"Anda terdengar seperti konsumen akhir."

"Saya."

Dia tersenyum, tapi senyum itu tidak menyentuh matanya. Sekali lagi ini bertentangan dengan seseorang yang ingin memberi makan dunia, jadi aku tidak dapat berhenti berpikir bahwa kita sedang membicarakan sesuatu yang lain, tetapi aku benar-benar bingung apa itu. Aku menelan ludah.

Suhu di dalam ruangan naik atau mungkin hanya aku yang merasakannya. Aku hanya ingin wawancara ini selesai. Tentunya Rahma memiliki cukup bahan sekarang. Aku melirik ke pertanyaan berikutnya.

"Anda diadopsi. Menurut anda seberapa jauh itu membentuk diri anda?"

Ah, ini pribadi. Aku menatapnya, berharap dia tidak tersinggung. Alisnya berkerut.

"Aku tidak punya cara untuk mengetahuinya."

Ketertarikan ku terusik.

"Berapa umur anda ketika anda diadopsi?"

"Itu masalah catatan publik, Nona Anastasya." Nadanya tegas. Aku tersipu, lagi. Omong kosong, dengan rasa penasaran ini.

Ya tentu saja, jika aku tahu aku melakukan wawancara ini, aku akan melakukan penelitian terlebih dahulu.

Aku melanjutkan dengan cepat.

"Anda harus mengorbankan kehidupan keluarga untuk pekerjaan anda."

"Itu bukan pertanyaan." Dia singkat.

"Maaf." Aku menggeliat, dan dia membuatku merasa seperti anak yang haus akan informasi. Aku coba lagi.

"Apakah Anda harus mengorbankan kehidupan keluarga untuk pekerjaan Anda?"

"Saya punya keluarga. Saya punya saudara laki-laki dan perempuan dan dua orang tua yang penuh kasih. Saya tidak tertarik untuk memperluas keluarga saya lebih dari itu."

"Apakah anda g * y, Tuan Cafrio?"

Dia menarik napas tajam, dan aku merasa ngeri, malu. Omong kosong. Mengapa aku tidak menggunakan semacam filter sebelum aku membacanya langsung? Bagaimana aku bisa mengatakan kepadanya kalau aku hanya membaca pertanyaan?

Rahma ini menjebak ku, dia tidak bisa membendung rasa ingin tahunya!

"Tidak Gisele, aku tidak." Dia mengangkat alisnya, sinar dingin di matanya. Dia tidak terlihat senang.

"Maaf. Ini um... tertulis di sini." Ini pertama kalinya dia menyebut namaku. Detak jantungku bertambah cepat, dan pipiku memanas lagi. Dengan gugup, aku merapikan kerudung hitam ku menariknya ke belakang dan meniup bagian atas kerudungku.

Dia memiringkan kepalanya ke satu sisi.

"Ini bukan pertanyaanmu sendiri?"

Darah mengalir dari kepalaku. Oh tidak. Bahasa yang tadinya formal tiba-tiba berubah jadi informal

"Err... tidak. Rahma, maksud saya Nona Susilawati, dia yang menyusun pertanyaannya saya hanya mengikuti daftar pertanyaan nya."

"Apakah kamu rekan kerja di himpunan mahasiswa (HIMA) juga?" Aku tidak ada hubungannya dengan HIMA. Ini kegiatan ekstrakurikuler nya, bukan milik ku. Wajah ku tiba-tiba terasa terbakar.

"Tidak. Dia teman sekamar saya."

Dia menggosok dagunya dengan tenang, mata birunya menilai ku.

"Apakah kamu secara sukarela melakukan wawancara ini?" dia bertanya, suaranya sangat tenang.

Tunggu, siapa yang seharusnya mewawancarai siapa? Matanya membara padaku, dan aku terpaksa menjawab dengan jujur.

"Saya di bujuk olehnya. Dia sekarang sedang tidak sehat." Suaraku lemah dan menyesal.

"Itu menjelaskan banyak hal."

Ada ketukan di pintu, dan seorang wanita pirang masuk ke ruang kerja nya.

" Tuan Cafrio,maafkan saya menyela, tapi rapat Anda berikutnya dua menit lagi."

"Kita belum selesai di sini, Debora. Tolong batalkan pertemuanku berikutnya."

Debora ragu-ragu. Dia tampak tersesat. Dia memutar kepalanya perlahan untuk menghadapinya dan mengangkat alisnya. Dia memerah, merah muda cerah. Oh bagus. Bukan hanya aku yang di buat tersipu karena menghadapinya.

"Baiklah, Tuan Cafrio," gumamnya, lalu keluar. Dia mengerutkan kening, dan mengalihkan perhatiannya kembali padaku.

Terpopuler

Comments

Anik Hariyani

Anik Hariyani

ak coba pahami cerita dulu

2023-02-16

1

Bambang Setyo

Bambang Setyo

Mesti berpikir keras baca ceritanya... Semoga bab selanjutnya lebih baik penulisannya..

2023-02-16

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!