Jilbabmu Menghangatkanku
Nama ku Gisele Anastasya, aku adalah seorang mahasiswi Sastra di salah satu Universitas yang ada di Kota Bandung. Sekarang ini aku sedang melihat diriku yang sedang frustrasi di cermin karena aku terlalu gugup. Aku gak tau harus memakai kerudung yang mana karena ini adalah hari penting untukku, Rahma..... kenapa dia musti sakit segala sih? dan aku yang harus menanggung tugas nya.
Seharusnya aku sedang belajar untuk ujian akhirku, minggu depan, namun di sini aku mencoba memakai kemeja cream dan setelan kantor gitu, pakai celana kain hitam dan kerudung warna hitam serta memakai sepatu pantofel warna hitam.
Bismillahirrahmanirrahim.....
Allaahummalthuf bii fii taisiiri kulli 'asiirin, fa inna taisiira kulli 'asiirin 'alaika yasiir, as 'alukal yusra wal mu'aafaata fid dun-yaa wal aakhirati
Artinya: "Ya Allah, berilah taufik, kebajikan, atau kelembutan kepadaku dalam hal kemudahan pada setiap kesulitan, karena sesungguhnya kemudahan pada setiap yang sulit adalah mudah bagiMu, dan aku mohon kemudahan serta perlindungan di dunia dan di akhirat," (HR Thabrani).
Aku berharap di lancarkan dan di berikan kemudahan dalam wawancara nanti aamiin. Aku memutar mataku dengan putus asa dan menatap gadis pucat berkerudung hitam, bermata coklat yang agak sipit, wajahnya menatapku, dan menyerah begitu saja di dalam cermin. Satu-satunya pilihan ku adalah dengan memakai setelan ini. Mungkin bisa sedikit terlihat rapi karena biasanya aku tidak terlalu memperhatikan penampilanku, asalkan itu tertutup dan longgar maka aku bisa terus menjaga aurat ku.
Rahma adalah teman sekamarku, dan takdir yang membuat nya terkena flu di saat-saat genting seperti ini, tidak bisa menyalahkannya juga sih, karena semua telah menjadi takdir Illahi. Tapi... aku juga yang harus kena getahnya.
Oleh karena itu, dia tidak dapat menghadiri wawancara yang telah dia rencanakan, dengan seorang pengusaha muda, yang katanya tampan, tapi aku tidak akan percaya kabar burung sebelum aku melihatnya dengan mata kepala ku sendiri dan lagi pula aku belum pernah dengar, dan tidak ada di surat kabar mahasiswa.
Jadi aku dengan sukarela aja membantunya.
Aku harus menyelesaikan ujian akhir, satu esai yang harus diselesaikan, dan aku seharusnya bekerja siang ini, tapi tidak hari ini aku harus menyetir seratus enam puluh lima mil ke pusat kota Jakarta untuk bertemu dengan CEO misterius dari Cafrio Enterpreuner. Sebagai pengusaha luar biasa dan dermawan yang banyak berdonasi untuk Universitas kami, waktunya sangat berharga, jauh lebih berharga daripada waktu ku, tapi dia telah mengizinkan Rahma untuk wawancara. Kudeta nyata, katanya padaku. Itu semua kegiatan ekstrakurikuler nya.
Rahma meringkuk di sofa di ruang tamu.
"Gisele, maafkan aku. Butuh waktu sembilan bulan untuk mendapatkan wawancara ini. Perlu enam bulan lagi untuk menjadwal ulang, dan kami berdua akan lulus saat itu. Sebagai editor, aku tidak bisa melewatkannya. Tolong, " Rahma memohon padaku dengan suaranya yang serak dan sakit tenggorokan. Bagaimana dia melakukannya?
Bahkan sakit dia terlihat feminim dan cantik, rambut hitam yang terurai dan mata hitamnya yang besar, meski sekarang berbingkai merah dan berair. Kasian juga melihatnya, yang biasanya ceria, sekarang terkapar lunglai tak berdaya.
"Tentu saja aku akan pergi ma. Kamu harus kembali ke tempat tidur. Apakah kamu mau jeruk nipis sama kecap? Itu bagus untuk obat batuk"
"Tidak nanti aku bisa bikin ramuan sendiri kalau mau, oh iya Ini adalah pertanyaannya dan perekam mini-disc ku. Tekan saja rekam di sini. Buat catatan, aku akan menyalin semuanya."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang dia," bisikku, mencoba dan gagal menekan kepanikan ku yang meningkat.
"Pertanyaan akan membantumu. Pergilah. Ini perjalanan yang panjang. Aku tidak ingin kamu terlambat."
"Oke, aku pergi. Kembalilah ke tempat tidur. Aku membuatkan mu sup untuk dipanaskan nanti." Aku menatapnya dengan kasih. Hanya untukmu, Ma, aku akan melakukan ini. Karena dia sahabatku.
"Semoga beruntung. Dan terima kasih gisele, seperti biasa, kau penyelamatku."
sambil merapikan isi tas ku, aku tersenyum padanya, lalu keluar dari pintu ke mobil.
Aku tidak percaya telah membiarkan Rahma membujukku melakukan ini. Tapi kemudian Rahma bisa membujuk siapa pun menjadi apa saja.
Dia akan menjadi jurnalis yang luar biasa. Dia pandai bicara, kuat, persuasif, argumentatif, cantik, dan dia adalah sahabatku tersayang.
Jalanan bersih saat aku berangkat dari Bandung menuju Jakarta pusat. Ini masih pagi, dan aku harus berada di Jakarta pusat sampai pukul dua siang ini. Untungnya, Rahma meminjamkan ku mobil merah honda jazz miliknya. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku akan melakukan perjalanan tepat waktu. Ini adalah perjalanan yang menyenangkan, dan jarak berlalu begitu saja saat aku menginjak gas mobilnya.
Tujuan ku adalah kantor pusat perusahaan global Mr. Cafrio. Ini adalah gedung perkantoran dua puluh lantai yang besar, semuanya terbuat dari kaca dan baja melengkung, fantasi seorang arsitek handal, dengan Cafrio House diam-diam ditulis dengan baja di atas pintu depan kaca. Saat itu pukul dua kurang seperempat ketika aku tiba, sangat lega bahwa aku tidak terlambat saat aku berjalan ke lobi yang sangat besar, dan terus terang mengintimidasi, kaca, baja, dan batu pasir putih.
Di belakang meja batu pasir yang kokoh, seorang wanita muda pirang yang sangat menarik, terawat, tersenyum ramah padaku. Dia mengenakan jas arang paling tajam dan kemeja putih yang tidak pernah ku lihat. Dia terlihat rapi. Dan mungkin dia adalah orang barat. Dia menghampiriku dan aku berkata padanya.
"Saya di sini untuk bertemu Mr.Cafrio. Gisele Anastasya untuk Rahma Susilawati."
"Permisi sebentar, Nona Anastasya." Dia melengkungkan alisnya sedikit saat aku berdiri dengan sadar diri di hadapannya.
"Nona Susilawati dikonfirmasi. Silakan masuk di sini, Nona Anastasya. Anda masuk kedalam lift terakhir di sebelah kanan, tekan lantai dua puluh." Dia tersenyum ramah padaku, dan aku masuk ke dalam lift, sesuai arahannya.
Dia memberi ku kartu keamanan yang dicap PENGUNJUNG dengan sangat kuat di bagian depan. Aku tidak bisa menahan seringai ku. Tentunya sudah jelas bahwa aku hanya berkunjung. Aku sama sekali tidak cocok di sini.
Tidak ada yang berubah, aku menghela nafas dalam hati. Berterima kasih padanya, aku berjalan ke tepi lift melewati dua petugas keamanan yang berpakaian jauh lebih rapi daripada aku dalam setelan hitam berpotongan rapi.
Lift membisikkan ku dengan kecepatan terminal ke lantai dua puluh. Pintu bergeser terbuka, dan aku berada di lobi besar lainnya, lagi-lagi semuanya terbuat dari kaca, baja, dan batu pasir putih. Aku dihadapkan pada meja lain dari batu pasir dan seorang wanita pirang muda berpakaian hitam dan putih tanpa cela yang bangkit untuk menyambut ku.
"Nona Anastasya, bisakah Anda menunggu di sini?" Dia menunjuk ke area duduk kursi berwarna putih.
Di belakang kursi terdapat ruang pertemuan berdinding kaca yang luas dengan meja kayu gelap yang sama luasnya dan setidaknya dua puluh kursi yang serasi di sekelilingnya. Di luar itu, ada jendela dari lantai ke langit-langit dengan pemandangan cakrawala jakarta pusat yang menghadap ke kota. Ini adalah pemandangan yang menakjubkan, dan aku sejenak ditaklukan oleh pemandangan itu. MasyaAllah sungguh indah alam ciptaan mu ya Allah.
Aku duduk, dan melihat daftar pertanyaan dari tasku, dan memeriksanya, dalam hati aku sedikit kesal karena Rahma tidak memberiku biografi singkat. Aku tidak tahu apa-apa tentang pria yang akan aku wawancarai ini. Dia bisa jadi sembilan puluh atau dia bisa tiga puluh tahun. Ketidakpastian menyakitkan, dan saraf ku muncul kembali, membuat ku gelisah. Aku tidak pernah nyaman dengan wawancara satu lawan satu, lebih memilih anonimitas diskusi kelompok di mana aku bisa duduk diam-diam di belakang ruangan. Sejujurnya, aku lebih suka sendiri, membaca sebuah novel, meringkuk di kursi di perpustakaan kampus. Tidak duduk gelisah di bangunan kaca dan bebatuan ini.
Selang beberapa waktu ada seorang wanita pirang yang menghampiriku.
"Mr. Cafrio akan menemui mu sekarang, Miss Anastasya. Silakan masuk," kata wanita itu.
Aku berdiri agak goyah mencoba untuk menekan saraf ku. Merapikan tas ku, aku meninggalkan gelas air ku dan berjalan ke pintu yang terbuka sebagian.
"Kamu tidak perlu mengetuk masuk saja." Dia tersenyum ramah.
Aku mendorong pintu hingga terbuka dan terhuyung-huyung, tersandung kakiku sendiri, dan jatuh ke dalam dalam pelukan Mr. Cafrio. Sembari aku di pangkuannya aku memandang wajahnya yang rupawan bagai lukisan yang sangat sempurna, ketampanan yang baru saja ku lihat, Dia tinggi, mengenakan setelan abu-abu halus, kemeja putih, dan dasi hitam dengan rambut berwarna tembaga gelap yang sulit diatur dan bermata biru sedikit sipit seperti artis Korea gitu, kalau kata Rahma yang suka nonton drakor, mungkin mirip aktor korea Lee Minho.
Kami saling berpandangan.
Lelucon apa ini?
"Astaghfirullahhaladzim, bukan muhrim"
Seketika aku tersadar dan mendorong Mr. Cafrio.
Dia jatuh bersandar ke meja kerjanya.
"Maksud anda apa ya mendorongku?
Mr. Cafrio terkejut dan heran dengan sikapku yang mendorongnya.
"Maaf dalam agamaku laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim atau belum menikah di larang untuk bersentuhan, tadi saya tanpa sengaja jatuh dalam pangkuan anda, aku minta maaf atas ketidak sopan nan saya."
Saya menjelaskannya sebisa yang saya bisa.
"Merepotkan...!" Dia menjawab nya demikian. Mungkin dia berbeda agama denganku, jadi tidak tahu akan hal itu.
Dia sangat muda sekali tidak sesuai dengan bayanganku, untuk posisi seorang CEO, dia sudah sukses di usia muda.
"Ok baiklah langsung ke intinya, Aku Ricardo The Cafrio, kamu mau berdiri saja seperti itu atau akan duduk?"
"Um. Sebenarnya " gumamku.
Sebenarnya aku tidak boleh memandang laki-laki terlalu lama tapi entah mengapa mataku tidak lepas dari memandang wajahnya. Aku berkedip dengan cepat, kelopak mataku cocok dengan detak jantungku.
"Nona Susilawati sedang tidak sehat, jadi dia mengirim ku. Kuharap kau tidak keberatan, Tuan Cafrio."
"Dan Anda?" Suaranya hangat, tapi sulit diketahui dari ekspresinya yang tanpa ekspresi.
"Gisele Anastasya. Aku belajar Sastra dengan Rahma, um... Nona Susilawati di Kota Bandung"
"Begitu," katanya sederhana. Aku rasa aku melihat sekilas senyum di ekspresinya, tapi aku tidak yakin.
"Kalau begitu duduklah?" Dia melambai padaku ke arah sofa berwarna putih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Micel Lee
mampir kk othor.. semangat😃
2023-02-17
1
Anik Hariyani
aku mampir baca thor
2023-02-16
1
Bambang Setyo
Mampir baca..
2023-02-16
2