Bab 13 Apa Kamu Punya Pacar?

"Hem. Kamu harus menikah denganku jika ingin menyentuhku." Aku jawab aja begitu

"Kalau begitu, apa kamu mau menikah denganku?" Tanya Ricardo.

Dia menatap ku seolah-olah itu serius, tapi kan kami belum mengenal satu sama lain dan meski aku merasakan suka tapi belum tentu itu cinta. Apa yang harus aku jawab? Tapi kemudian Ricardo memecahkan kebingunganku.

"Mungkin aku ingin menikah dengan mu karena kecantikanmu, tapi boleh kah aku mengenal mu terlebih dahulu? Aku akan menahannya agar tidak menyentuhmu, bagaimana?" Ricardo tambah menjelaskan pernyataannya.

"Iya aku sepemikiran dengan mu, aku juga ingin mengenalmu." Akhir nya aku bisa menjawabnya.

Pernikahan bukan mainan, jadi aku ingin memikirkan matang-matang untuk itu.

"Ngomong- ngomong laki-laki yang kutemui kemarin, di toko. Dia bukan pacarmu?" Tanya Ricardo.

"Tidak. Raka hanya seorang teman. Aku sudah memberitahumu kemarin." Oh, ini semakin konyol.

"Mengapa kamu bertanya?" Tambah ku.

"Kamu tampak gugup di sekitar laki-laki." Bagaimana dia bisa berpikiran seperti itu? Tanya Ricardo. Aku hanya gugup di dekatmu, Ricardo.

"Hanya kamu yang membuatku sangat gugup" jawab ku.

Wajahku memerah, tapi secara mental menepuk punggungku untuk kejujuranku, dan menatap tanganku lagi. Aku mendengar napasnya yang tajam.

"Kamu sangat jujur. Tolong jangan melihat ke bawah. Aku suka melihat wajahmu."

Oh. Aku meliriknya, dan dia memberiku senyum menyemangati tapi masam.

"Jika aku melihat wajahmu, aku bisa tahu apa yang sedang kamu pikirkan."

dia menghela nafas lega.

"Kamu adalah sebuah misteri, Gisele" tambah nya.

Aku Misterius?

"Tidak ada yang misterius tentangku." Jawab ku.

"Menurutku kau sangat mandiri," bisiknya.

Benarkah aku? ..... bagaimana aku mengaturnya? Ini membingungkan. Aku, mandiri?

Mustahil.

"Kecuali saat kau tersipu, tentu saja, yang sering terjadi. Aku hanya berharap aku tahu apa yang membuatmu tersipu."

Dia memasukkan sepotong kecil muffin ke dalam mulutnya dan mulai mengunyahnya perlahan, tidak mengalihkan pandangan dariku. Dan seolah diberi aba-aba, aku tersipu.

"Apakah kamu selalu melakukan pengamatan pribadi seperti itu?"

"Aku tidak menyadarinya. Apakah aku telah menyinggung mu?" Dia terdengar terkejut.

"Tidak," jawabku jujur.

"Bagus lah."

"Tapi kau sangat angkuh," balasku pelan.

Dia mengangkat alisnya dan, jika aku tidak salah, dia juga sedikit memerah.

"Aku sudah terbiasa dengan caraku sendiri, Gisele" bisiknya.

"Dalam segala hal." Tambah nya.

Aku menyeruput tehku, dan Ricardo memakan sepotong kecil kue muffin nya lagi.

"Apakah kamu anak satu-satunya?" dia bertanya.

"Ya." Jawab ku

"Ceritakan tentang orang tuamu." Tanya Ricardo. Kenapa dia ingin tahu ini? Ini sangat membosankan.

"Ibuku tinggal di Swiss dengan suami barunya."

"Ayahmu?"

"Ayahku meninggal saat aku masih bayi."

"Maafkan aku," gumamnya dan ekspresi bermasalah melintas di wajahnya.

"Aku tidak ingat dia."

"Dan ibumu menikah lagi?"

aku mendengus.

"Kamu bisa mengatakan itu."

Dia mengerutkan kening padaku.

"Kamu tidak menceritakan semuanya kan?" katanya datar, menggosok dagunya seolah sedang berpikir keras.

"Kamu juga tidak."

"Kamu pernah mewawancarai ku sekali, dan aku dapat mengingat kembali beberapa pertanyaan yang cukup menyelidik." Dia menyeringai padaku.

Astaghfirullah....Dia mengingat pertanyaan 'ga*'. Sekali lagi, aku malu. Di tahun-tahun mendatang, aku tahu, aku akan membutuhkan terapi intensif agar tidak merasa malu setiap kali mengingat momen itu.

Aku mulai mengoceh tentang ibu ku apa pun untuk memblokir ingatan itu.

"Ibuku luar biasa. Dia seorang penjelajah cinta. Dan dia sudah menikah 4 kali sampai saat ini."

Ricardo mengangkat alisnya karena terkejut.

"Aku merindukannya," lanjut ku.

"Dia punya suami barunya sekarang. Aku hanya berharap dia bisa mengawasinya dan mengambil bagian ketika rencana bodohnya tidak berjalan sesuai rencana."

Aku tersenyum dan mengingat ibu ku. Sudah lama tidak bertemu ibuku. Ricardo memperhatikanku dengan saksama, sesekali menyeruput kopinya.

Aku benar-benar tidak harus melihat mulutnya. Ini meresahkan. Bibir itu..... Ada semacam magnet yang bisa membuatnya kelihatan lebih menarik dan membuat ku memfokuskan diri pada nya.

"Apakah kamu akur dengan ayah tirimu?" Tanya Ricardo.

"Tentu saja. Aku tumbuh bersamanya. Dia satu-satunya ayah yang kukenal." Jawab ku.

"Dan seperti apa dia?"

"Dia... pendiam."

"Benarkah?" Ricardo bertanya, terkejut.

Aku mengangkat bahu. Apa yang pria ini harapkan dari kisah hidup ku?

"Pendiam seperti putri tirinya," Ricardo menyimpulkan.

Aku menahan diri untuk tidak memutar mataku padanya.

"Dia suka sepak bola, terutama sepak bola Eropa, club favorit nya adalah Manchester City, bowling, memancing, dan membuat furnitur. Dia tukang kayu. Dia mantan tentara." aku menghela nafas.

"Kau tinggal bersamanya?"

"Ya. Ibuku bertemu dengan Suami Nomor Tiga ketika aku berumur lima belas tahun. Aku tinggal bersama ayah tiri ku."

Dia mengerutkan kening seolah dia tidak mengerti.

"Kau tidak ingin tinggal bersama ibumu?" dia bertanya.

aku tersipu. Ini benar-benar bukan urusannya.

"Suami Nomor Tiga tinggal di Manado Rumahku di Bandung. Dan... kau tahu ibuku baru saja menikah." Aku berhenti. Ibuku tidak pernah berbicara tentang Suami Nomor Tiga.

Kenapa aku membicarakan ini dengan Ricardo? Ini bukan urusannya.

"Ceritakan tentang orang tuamu," tanyaku.

Dia mengangkat bahu.

"Ayah ku seorang pengacara, ibu ku adalah seorang dokter anak. Mereka tinggal di Jakarta Pusat"

Oh... Mereka semua berpendidikan. Dan aku bertanya-tanya tentang pasangan sukses yang mengadopsi tiga anak, dan salah satunya berubah menjadi pria tampan yang menguasai dunia bisnis dan menaklukkannya sendirian.

Apa yang mendorongnya menjadi seperti itu? Orang-orangnya pasti bangga.

"Lalu bagaimana dengan saudaramu?"

"Ehsan ahli dalam bidang konstruksi dan adik perempuanku Saraswati dia ada di Paris, belajar memasak di bawah beberapa koki Prancis terkenal."

Matanya berkabut karena iritasi. Dia tidak ingin berbicara tentang keluarganya atau dirinya sendiri.

"Kudengar Paris itu indah," bisikku. Kenapa dia tidak mau membicarakan keluarganya? Apa karena dia diadopsi?

"Indah sekali. Apakah kamu pernah pergi kesana?" tanyanya, kejengkelannya terlupakan.

"Aku belum pernah pergi kesana" jawab ku.

"Apakah kamu ingin pergi?"

"Ke Paris?" aku mencicit. Seperti tikus yang sedang di pukul. Siapa yang tidak ingin pergi ke Paris

"Tentu saja," aku mengakui.

"Tapi Inggris yang sangat ingin ku kunjungi"

Dia memiringkan kepalanya ke satu sisi, menggerakkan jari telunjuknya di bibir bawahnya...

"Apa alasan mu ingin pergi kesana?"

Aku berkedip cepat. Berkonsentrasi Lah, Gisele.

"Di Inggris banyak tempat-tempat yang sering di tulis oleh penulis novel dan sastra terkenal. Aku ingin melihat tempat-tempat yang menjadi inspirasi mereka untuk dapat menulis buku yang luar biasa."

Semua pembicaraan tentang sastra yang hebat mengingatkan ku bahwa aku harus belajar. Aku melirik jam tanganku.

"Sebaiknya aku pergi. Aku harus belajar."

"Untuk ujianmu?"

"Ya. Mulai hari Selasa."

"Di mana mobil Nona Susilawati?"

"Di tempat parkir hotel."

"Aku akan mengantarmu kembali."

"Terima kasih untuk tehnya, Ricardo"

Dia tersenyum aneh. Aku punya senyum rahasia yang sangat besar.

"Sama-sama, Gisele. Dengan senang hati. Ayo..,!" perintahnya, dan mempersilahkan aku untuk jalan duluan keluar cafe.

Kami berjalan kembali ke hotel, dan aku ingin memecahkan kesunyian di antara kami, tapi bingung apa yang harus ku lakukan.

Dia setidaknya terlihat seperti biasanya. Bagi ku, aku berusaha mati-matian untuk mengukur bagaimana acara minum kopi bersama nya yang berlalu begitu saja.

Aku merasa seperti telah diwawancarai untuk suatu posisi, tapi posisi apa itu? Apa posisi sebagai istri nya kelak?

Sudah lah Gisele kamu jangan terlalu banyak mengkhayal, lagi pula niat nya untuk menikahi mu belum tentu benar.

"Apakah kamu selalu memakai celana jeans?" dia bertanya tiba-tiba.

"Yah kadang-kadang, sering nya aku memakai gamis." Jawab ku

"Gamis? Apa itu?"tanya dia seperti sedang keheranan.

"Semacam baju untuk para muslimah, bagi kami yang beragama Islam, kami para wanita harus menutup aurat kami, seperti kerudung ini" aku menunjukkan kerudung pink yang sedang ku pakai.

" Islam ternyata lumayan rumit, tapi kamu cantik tertutup kerudung seperti itu membuat orang penasaran seperti apa sesungguhnya kamu" Ricardo pun tersenyum pada ku.

Kami kembali ke persimpangan, di seberang jalan dari hotel. Pikiranku terguncang.

Sungguh pertanyaan yang aneh... Dan aku sadar bahwa waktu kita bersama terbatas.

Terasa sangat singkat waktu bersama nya, atau karena dia terlalu sibuk? Atau karena punya janji dengan orang lain. Seketika aku menanyakan hal yang membuat ku malu.

"Apa kamu punya pacar?" aku berseru. Astaghfirullah apa yang baru saja ku katakan? Aku mengatakannya dengan lantang.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!