Bab 6 Pertemuan Tak di Sengaja

Omong kosong! Aku mengalihkan perhatiannya dengan sanjungan, selalu merupakan taktik yang bagus.

"Kamu mungkin akan mendapatkan lebih banyak darinya."

"Aku ragu, Gisele Ayolah, dia praktis menawari mu pekerjaan. Mengingat bahwa aku menyisipkan ini padamu pada menit terakhir, kamu melakukannya dengan sangat baik." Dia menatapku dengan spekulatif. Aku buru-buru mundur ke dapur.

"Jadi, apa yang sebenarnya kamu pikirkan tentang dia?" Astagfirullah dia ingin tahu. Kenapa dia tidak membiarkan ini berlalu begitu saja? Pikirkan sesuatu Gisele, cepat.!

"Dia sangat bersemangat, mengendalikan orang di sekitarnya, dia sombong, benar-benar menakutkan, tapi sangat karismatik. Aku bisa memahami daya tariknya," aku menambahkan dengan jujur, saat aku mengintip dari pintu ke arahnya berharap ini akan membungkamnya untuk selamanya.

"Kamu, terpesona oleh seorang pria? Itu sesuatu hal yang menarik" dia mendengus.

Aku mulai mengumpulkan bahan pembuat sandwich sehingga dia tidak bisa melihat wajah ku.

"Kenapa kamu ingin tahu apakah dia g * y? Kebetulan, itu adalah pertanyaan yang paling memalukan. Aku malu, dan dia kesal ditanya juga." Aku cemberut mengingatnya.

"Setiap kali dia ada di media sosial atau di halaman pencarian google, dia tidak pernah berkencan. Biasanya orang yang terlalu tampan tapi tidak berkencan kan sering di bilang g*y"

"Itu memalukan. Semuanya memalukan. Aku senang aku tidak akan pernah melihatnya lagi."

"Oh, Gisele, tidak mungkin seburuk itu. Kurasa dia terdengar cukup tertarik padamu."

Menurutku sekarang Rahma menjadi konyol.

"Mau sandwich?"

"Silahkan."

Kami tidak membicarakan Ricardo The Cafrio lagi malam itu, membuatku lega. Setelah kami makan, aku bisa duduk di meja makan bersama Rahma dan, sementara dia mengerjakan artikelnya, aku mengerjakan esai ku. Wanita itu berada di tempat yang salah pada waktu yang salah di abad yang salah, komentarku pada esai yang aku kerjakan.

Saat aku selesai, sudah tengah malam, dan Rahma sudah lama tidur. Aku berjalan ke kamarku, kelelahan, tapi senang karena aku telah menyelesaikan banyak hal untuk hari Senin.

Aku meringkuk di tempat tidur pinky ku, membungkus tubuhku dengan selimut, memejamkan mata, dan aku langsung tertidur. Malam itu aku memimpikan tempat-tempat gelap, lantai dingin yang putih suram, dan mata biru.

Selama sisa minggu itu, aku menyibukkan diri dengan studiku dan pekerjaanku di Unisoviet. Rahma juga sibuk, menyusun edisi terakhir majalah siswanya sebelum dia harus menyerahkannya kepada editor baru sambil juga mengerjakan ujian akhirnya.

Pada hari Rabu, dia jauh lebih baik. Aku menelepon ibu ku di Swiss untuk memeriksanya, tetapi juga agar dia bisa mendoakan ku untuk ujian akhir. Dia mulai bercerita tentang usaha terbarunya dalam pembuatan lilin, ibu ku memulai usaha bisnis baru. Pada dasarnya dia bosan dan menginginkan sesuatu untuk mengisi waktunya, tetapi dia memiliki hal yang selalu harus di perhatian yaitu ikan mas. Ini akan menjadi sesuatu yang baru minggu depan.

Dia membuatku khawatir. Aku harap dia tidak menggadaikan rumah untuk membiayai skema terbaru ini. Dan aku berharap Rudy suaminya yang relatif baru tetapi jauh lebih tua, mengawasinya sekarang karena aku sudah tidak ada lagi di sampingnya. Dia memang tampak jauh lebih membumi daripada Suami Nomor Tiga.

"Bagaimana kabarmu, Gisele?"

Untuk sesaat, aku ragu, dan aku mendapat perhatian penuh dari Ibu.

"Aku baik-baik saja."

"Gisele, apakah kamu mempunyai seseorang yang kamu suka?" Wow... bagaimana dia melakukan itu?, Kegembiraan dalam suaranya terdengar jelas.

"Tidak, Bu. Ibu akan menjadi orang pertama yang tahu jika aku menemukan jodohku."

"Gisele, kamu benar-benar harus keluar lebih banyak, sayang. Kamu membuatku khawatir." Aku memang jarang keluar rumah atau have fun bareng teman.

Mungkin orang bilang aku kutu buku.

"Bu, aku baik-baik saja. Bagaimana kabar pak Rudy?" tanya ku

"Seperti biasa, dia baik-baik saja." jawab ibu ku.

Sore harinya, aku menelepon Rama ayah tiriku, Suami Ibu Nomor Dua, pria yang ku anggap sebagai ayahku, dan pria yang namanya kusandang. Ini percakapan singkat. Nyatanya, ini bukan percakapan seperti serangkaian gerutuan sepihak sebagai tanggapan atas bujukan lembut ku. Rama bukan pembicara. Tapi dia masih hidup, dia masih menonton sepak bola di TV, dan pergi bowling dan memancing atau membuat furnitur saat dia bersantai. Rama adalah seorang tukang kayu yang terampil dan itulah sebabnya aku tahu perbedaan antara elang dan gergaji tangan. Semua tampak baik-baik saja dengannya.

Jumat malam, Rahma dan aku sedang memperdebatkan apa yang harus dilakukan dengan malam kami, kami ingin waktu istirahat dari studi kami, dari pekerjaan kami, dan dari HIMA, ketika itu ada suara bel pintu berbunyi.

Dan yang berdiri di depan pintu kami adalah teman baik ku Rahadian, dia sedang memegangi orange juce di tangannya.

"Rahadian ! Senang bertemu denganmu!" "Masuk."

Rahadian adalah orang pertama yang aku temui ketika aku tiba di kampus, tampak tersesat dan kesepian seperti ku pada saat itu.

Kami mengenali semangat yang sama dalam diri kami masing-masing hari itu, dan kami berteman sejak saat itu.

Kami tidak hanya berbagi selera humor, tapi banyak membicarakan hal menarik lainnya, dan ayah tiriku sudah kenal Rahadian sejak lama. Akibatnya, ayah kami juga menjadi teman dekat.

Rahadian sedang belajar teknik dan merupakan orang pertama di keluarganya yang berhasil masuk perguruan tinggi. Dia sangat cerdas, tetapi hasratnya yang sebenarnya adalah fotografi. Rahadian memiliki mata yang bagus dan lumayan tampan, meskipun tidak setampan Ricardo, eh kok Ricardo lagi sih yang selalu aku sebut.? Biar lah berlalu.

"Aku punya berita." Dia menyeringai, matanya yang gelap berbinar.

"Jangan bilang, kamu sudah berhasil menaklukkan game yang baru?" godaku.

"Galeri Raymon akan memamerkan foto-foto ku bulan depan."

Galeri Raymon merupakan galery yang cukup terkenal di kalangan fotografer.

"Luar biasa, selamat!" Senang untuknya. Rahma berseri-seri padanya juga.

"Bagus sekali, Rahadian! Aku harus memuat ini di majalah. Tidak seperti perubahan editorial di menit-menit terakhir pada Jumat malam." Dia menyeringai.

"Mari kita rayakan. Aku ingin kamu datang ke pembukaan." Rahadian menatapku tajam. Aku memalingkan mukaku.

"Kalian berdua, tentu saja," tambahnya, melirik Rahma dengan gugup.

Rahadian dan aku berteman baik, tapi aku tahu jauh di lubuk hatinya, dia ingin mempunyai rasa padaku. Dia imut dan lucu, tapi dia bukan tipeku. Dia lebih seperti saudara laki-laki yang tidak pernah aku miliki. Rahma sering menggodaku bahwa aku kehilangan gen dan butuh seorang pacar, tapi sebenarnya, aku belum pernah bertemu orang yang... yah, yang membuatku tertarik, meskipun sebagian diriku merindukan itu lutut gemetar, hati di mulutku, kupu kupu di perutku, malam tanpa tidur.

Terkadang aku bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan diri ku?. Mungkin aku telah menghabiskan waktu terlalu lama bersama para pahlawan romantis sastra, dan akibatnya cita-cita dan harapan ku terlalu tinggi. Tapi kenyataannya, tidak ada yang pernah membuatku merasa seperti itu.

Sampai baru-baru ini, suara kecil yang tidak diinginkan dari alam bawah sadar ku berbisik.

TIDAK! Aku segera membuang pikiran itu. Aku tidak akan pergi ke sana, tidak setelah wawancara yang memalukan itu. Apakah Anda g * y, Tuan Cafrio? Aku meringis mengingatnya. Aku tahu aku telah memimpikannya hampir setiap malam sejak saat itu, tapi itu hanya untuk menghilangkan pengalaman buruk dari sistemku, bukan?

Aku melihat Rahadian meminum juce Orange nya. Dia tinggi, dan dengan jeans dan t-shirt dia terlihat otot bahunya yang atletis, kulit kecokelatan, rambut gelap dan mata gelap terbakar. Ya, Rahadian cukup seksi, tapi aku pikir dia akhirnya mengerti pesannya: kami hanya berteman. Dia bersendawa, dan Rahadian mendongak dan tersenyum.

Sabtu di toko adalah mimpi buruk. Kami dikepung oleh segerombol orang yang ingin merapikan rumah mereka. Tuan dan Nyonya Unisoviet, Rizky dan Melly dan dua pekerja paruh waktu lainnya, dan juga aku semua terburu-buru. Tapi ada jeda sekitar jam makan siang, dan Mrs. Melly memintaku memeriksa beberapa pesanan sementara aku duduk di belakang meja kasir sambil diam-diam memakan roti sandwich ku.

Aku asyik dengan tugas, memeriksa nomor katalog terhadap barang yang kami butuhkan dan barang yang telah kami pesan, mata beralih dari buku pesanan ke layar komputer dan kembali saat aku memeriksa kecocokan entri. Lalu, untuk beberapa alasan, aku mendongak... dan mendapati diriku terkunci dalam tatapan biru berani dari Ricardo yang berdiri di konter, menatapku dengan saksama.

Hampir saja jantung ku copot karena kaget.

"Hai Nona Gisele, Kejutan yang menyenangkan." Tatapannya tak tergoyahkan dan intens.

Terpopuler

Comments

Anik Hariyani

Anik Hariyani

gisela dan ricardo mungkin berjodoh

2023-02-16

2

Bambang Setyo

Bambang Setyo

Ketemu lagi sama ricardo...

2023-02-16

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!