Bab 11 Jantungku Terbanting Ke Mulut ku

Jalan mawar tidak jauh dari apartemen Rahma. Disana juga terdapat taman di pinggir sungai Gangga yang indah dan banyak di jadikan tempat untuk kencan oleh kebanyakan pasangan di kota ini.

Rahadian, Romy dan aku pergi bersama, dan Rahma dengan manager nya, karena kami semua tidak muat di dalam mobilku. Romy adalah teman dari Rahadian dia di sini untuk membantu pencahayaan.

Kami menyewa studio di jalan mawar dan Rahma telah berhasil mendapatkan penggunaan kamar studio disana secara gratis untuk pagi hari dengan imbalan kredit dalam artikel tersebut.

Ketika dia menjelaskan di resepsi bahwa kami di sini untuk memotret CEO Ricardo the Cafrio, kami langsung ditingkatkan ke VIP Room Studio. Karena tampaknya Ricardo memang cukup terkenal dimanapun.

Seorang eksekutif pemasaran yang terlalu bersemangat menunjukkan kami ke VIP Room. Dia masih sangat muda dan sangat gugup karena suatu alasan.

Aku curiga kecantikan dan sikap memerintah Rahma yang membuatnya gugup, karena dia sedikit tidak tau malu, tapi itu yang membuatnya bisa melakukan segala hal.

Kamar-kamarnya elegan, bersahaja, dan perabotan yang ada di dalam nya sangat mewah.

Ini baru pukul 9. Kami punya waktu setengah jam untuk menyiapkannya. Rahma mengaturnya sedemikian rupa.

"Rahadian, kupikir kita akan memfokuskan ke dinding itu, apakah kamu setuju?" Dia tidak menunggu balasannya.

"Romy, bersihkan kursi-kursinya. Gisele, bisakah kau meminta petugas kebersihan untuk membawakan beberapa minuman Dan beri tahu Ricardo di mana kita berada."

Iya nyonya. Dia sangat mendominasi. Aku memutar mataku, tapi melakukan apa yang diperintahkan.

Setengah jam kemudian, Ricardo masuk masuk ke ruangan yang telah kami siapkan untuknya.

Dia sedikit gila...! Dia mengenakan kemeja putih, terbuka di kerahnya, dan celana flanel abu-abu yang menggantung di pinggulnya.

Rambutnya yang acak-acakan masih basah habis mandi. Mulutku jadi kering melihatnya... dia sangat menawan. Ricardo datang ke dalam VIP Room dengan seorang pria berusia pertengahan tiga puluhan, semua dipotong pendek dan janggut dalam jas dan dasi gelap tajam yang berdiri diam di sudut, seperti bodyguard nya gitu. Mata cokelatnya memperhatikan kami tanpa ekspresi.

"Gisele, kita bertemu lagi." Ricardo tersenyum padaku dia tidak mengulurkan tangannya karena aku pernah bilang kalau aku tidak bersentuhan dengan seorang pria, mata biru berkedip dengan cepat sedikit menggodaku.

Astaghfirullah... dia benar-benar, cukup... wow. Kedipannya membawa arus listrik mengalir ke tubuhku, menerangi ku, membuatku tersipu, dan aku yakin nafasku yang tak menentu pasti terdengar. Aku langsung menundukkan kepalaku.

"Tuan Cafrio, ini Rahma Susilawati" aku sengaja formal karena banyak temanku disini dan mereka ini juga merupakan bisnis. gumamku, melambaikan tangan ke arah Rahma yang maju, menatap matanya.

"Nona Susilawati yang ulet. Bagaimana kabarmu?" Dia memberinya senyum kecil, tampak benar-benar geli.

"Aku percaya kamu merasa lebih baik. Gisele bilang kamu tidak sehat minggu lalu."

"Aku baik-baik saja, terima kasih, Tuan Cafrio."dia menyapa Rahma tanpa mengedipkan mata nya.

Aku mengingatkan diri sendiri bahwa Rahma pernah bersekolah di sekolah swasta terbaik di Jakarta. Keluarganya punya uang, dan dia tumbuh dengan percaya diri dan yakin akan tempatnya di dunia. Dia tidak mengambil omong kosong apapun. Aku kagum padanya.

"Terima kasih telah meluangkan waktu untuk melakukan ini." Dia memberinya senyum sopan dan profesional.

"Sama-sama saya juga senang melakukannya untuk Gisele" jawabnya, mengalihkan tatapan biru nya padaku, dan aku tersipu lagi. Dia benar-benar menggodaku.

Rahma tersenyum meledek, dia tau Ricardo menyukaiku.

"Ini Rahadian fotografer kami," kataku, menyeringai ke arah Rahadian yang balas tersenyum padaku dengan penuh kasih sayang. Matanya dingin saat dia melihat dariku ke Ricardo

"Tuan Cafrio" dia mengangguk.

"Tuan Rahadian" Ekspresi Ricardo juga berubah saat dia menilai Rahadian.

"Di mana kamu ingin aku memposisikan diri?" Ricardo bertanya padanya. Nadanya terdengar samar-samar mengancam. Tapi Rahma tidak akan membiarkan Rahadian untuk membalas Ricardo.

"Tuan Cafrio, jika Anda bisa duduk di sini, harap berhati-hati dengan kabel penerangan. Dan kemudian kita akan berdiri juga." Rahma mengarahkannya ke kursi yang dipasang di dinding.

Romy menyalakan lampu, membutakan Ricardo sejenak, dan menggumamkan permintaan maaf.

Lalu Romy dan aku mundur dan melihat Rahadian mulai mengambil foto. Dia mengambil beberapa foto genggam, meminta Ricardo untuk memutar ke sini, lalu ke sana, menggerakkan lengannya, lalu meletakkannya lagi. Pindah ke tripod, Rahadian mengambil beberapa lagi, sementara Ricardo duduk dan berpose, dengan sabar dan alami, selama sekitar dua puluh menit.

Harapan ku menjadi kenyataan: Aku bisa berdiri dan mengagumi Ricardo dari jarak yang tidak terlalu jauh. Dua kali mata kami terkunci, dan aku harus melepaskan diri dari tatapannya yang mendung.

"Cukup untuk pose duduk." Rahma menyeka.

"Berdiri, Tuan Cafrio?" dia bertanya.

Dia berdiri, dan Romy bergegas masuk untuk memindahkan kursi. Kamera Rahadian mulai berbunyi klik lagi.

"Kurasa kita sudah cukup," Rahadian mengumumkan lima menit kemudian.

"Bagus," kata Rahma.

"Sekali lagi terima kasih, Tuan Cafrio." Dia menjabat tangannya, seperti halnya Rahadian.

"Cukup untuk pose duduk." Rahma menyeka.

"Berdiri, Tuan Cafrio?" dia bertanya.

Dia berdiri, dan Romy bergegas masuk untuk memindahkan kursi. Kamera Rahadian mulai berbunyi klik lagi.

"Kurasa kita sudah cukup," Rahadian mengumumkan lima menit kemudian.

"Bagus," kata Rahma.

"Sekali lagi terima kasih, Tuan Cafrio." Dia menjabat tangannya, seperti halnya Rahadian.

"Aku ingin membaca artikelnya, Nona Susilawati ," ucap Ricardo ke Rahma, lalu Ricardo menoleh padaku yang sedang berdiri di dekat pintu. Dia menghampiriku.

"Apa kamu mau ikut denganku Gisele?" dia bertanya.

"Tentu," kataku, benar-benar terpaku. Aku melirik cemas pada Rahma, yang mengangkat bahu ke arahku.

Aku melihat Rahadian yang cemberut dan menundukkan kepalanya di belakangnya.

"Terimakasih atas kerja keras nya untuk kali ini, sampai bertemu lagi," kata Ricardo dan dia membuka pintu, dia berdiri di samping untuk mengizinkanku keluar terlebih dahulu.

ada apa ini sebenarnya? Aku berjalan dengan gugup.

"Aku akan menelepon mu, Ren," bisiknya pada bodyguard nya, Ren berjalan kembali ke koridor, dan Ricardo mengalihkan pandangan nya yang membara kepadaku. Apakah aku melakukan kesalahan pada nya?

"Aku ingin tahu apakah kamu mau menemani ku untuk minum kopi pagi ini."

Ada angin apa ini? tiba-tiba saja seorang Sultan mengajakku minum kopi? hanya berdua? Sudah lah Gisele..! kamu pergi aja sana, lumayan kan kamu bisa semakin dekat dengan nya? Alam bawah sadar ku membujuk ku.

Ketika aku mendengar ajakannya rasa nya jantungku terbanting ke mulutku.

Aku langsung menganga seketika dan tak menyangka apakah ini mimpi? atau benar-benar kenyataan? Yang pasti ini begitu aneh.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!