"Sialan, bisa-bisanya dia menamparku di depan umum. Gadis gila, awas saja, kalau bertemu lagi akan ku beri pelajaran." Sepanjang jalan kaki menuju tempat Elena, Raymond ngedumel marah-marah atas kejadian tadi. Pipinya masih ia usap merasakan panas akibat tamparan keras yang Viona layangkan padanya.
Setibanya di restoran, Ray duduk di meja yang sudah di pesan oleh Elena. Matanya celingukan mencari keberadaan istrinya. Aneh, satu kata yang ia pikirkan saat ini, karena Elena malah mengajak bertemu di restoran.
Namun, karena tidak memiliki pikiran negatif apapun tentang istrinya, Raymond mengikuti kemauan Elena. Hingga tak berselang lama, sosok wanita tinggi semampai berjalan anggun mendekati Raymond.
Pria itu tersenyum melihat orang yang ia tunggu akhirnya datang juga. Ray berdiri menyambut kedatangan Elena dan langsung memeluk istrinya.
"Sayang, aku merindukanmu."
"Aku juga sama, Ray." Lalu, keduanya melepaskan pelukannya dan duduk lagi.
"Kenapa belum memesan makanan?" tanya Elena yang duduk di hadapan Raymond.
"Menunggu kamu tiba, mana mungkin aku memesan makanan saat kau tidak ada." Lalu, Ray mengangkat tangannya, dan datang seorang pelayan membawakan menu makanan. Kemudian, mereka memesannya. Setelah beberapa saat, makanan pun datang.
"Kenapa kamu mengajakku ketemuan di sini? Aku 'kan bisa datang ke tempatmu bekerja." Tanya Ray sambil memotong steak daging.
"Kegiatanku sedang sibuk-sibuknya, Ray. Apalagi di tempat pemotretan begitu banyak orang dan mereka tidak mau kegiatan sedang berlangsung di ganggu. Ini pun aku menyempatkan diri meski jadwalnya sangat padat."
Ray mendongak, ia menatap dalam wanita yang saat ini di hadapannya. Wanita yang Ray nikahi enam bulan yang lalu.
"Kenapa tidak berhenti saja, aku mampu menghidupi semua keperluan mu. Dan kita bisa menikmati waktu kita berdua."
"Tidak bisa, ini cita-cita yang aku inginkan sejak dulu. Menjadi model adalah impianku, Ray. Dan maaf jika waktu kita berdua sering kali terabaikan, tapi sungguh bukan maksudku begitu, jadwalku yang terlalu padat."
Ray menghelakan nafas, ia menyimpan sendok dan garpu yang ia pegang ke atas piring. Kedua tangannya di lipat di atas meja, matanya pun menatap serius Elena.
"Elena, bisakah kamu mengikuti keinginanku? Kali ini saja, ini menyangkut masa depan kita dan rumahtangga kita." Kali ini Ray berkata serius.
Elena yang siap mengangkat sendoknya terhenti, dan ia menyimpan pelan ke atas piring dengan mata membalas tatapan Ray.
"Maksudnya bagaimana? Ini juga menyangkut masa depanku, Ray. Menjadi model terkenal mancanegara adalah impianku." Elena kekeh dengan keinginannya dan mengorbankan pernikahan mereka. Untungnya Ray mengizinkan dan memiliki rasa sabar.
"Papa meminta cuci dari kita. Aku harap kamu mau mengabulkannya."
"Cucu? Tidak, aku tidak bisa Ray." Elena menolak tegas dengan wajah penuh keterkejutan.
"Kenapa tidak bisa, Elena? Kita sudah menikah enam bulan, tapi tidak sedikitpun kamu mau memberikan hak mu sebagai istri. Kamu selalu sibuk dengan kegiatanmu dan melupakan tugasmu sebagai istri." Ada rasa kesal mengingat hal itu, tak sedikitpun Elena mengerti keinginan dia.
"Ayolah, Ray. Saat ini aku sedang sibuk banget. Jangan dulu bahas masalah ini, ok. Kamu bilang mencintaiku, jadi beri aku waktu enam bulan lagi untuk mencapai mimpiku, hanya lima bulan." Elena terus membujuk Raymond agar mau menyetujuinya mengejar mimpi sebagai model.
"Itu terlalu lama, Elena. Papa menyuruhku secepatnya memberikan dia cucu, kalau kamu tidak mau, terpaksa papa akan menjodohkan ku dengan wanita pilihannya." Kesal tidak bisa membuat Elena mengerti, Raymond memberitahukan rencana papanya.
"Apa?! Menikah lagi? Tidak, aku tidak setuju itu!" Elena memekik kaget, dia sampai berdiri.
Ray pun ikut berdiri dan menggapai tangan Elena. "Maka dari itu kita harus mempercepat proses pembuatan anak, mau ya, berhenti jadi model?" Ray berharap Elena bersedia dan mau menuruti perkataannya.
Namun, apa yang ia dengar membuatnya tertegun diam mematung.
Elena menepis kasar tangan Raymond, "maaf Ray, tapi aku tidak bisa memiliki anak saat ini. Aku sudah menandatangani kontrak perjanjian, dan lusa aku akan pergi ke London Inggris untuk melakukan pemotretan internasional."
Deg ....
"Kau menyetujui ini semua tanpa memberitahu ku?"
"Maaf, Ray." Dan Elena mengambil tasnya lalu pergi dari sana.
"Elena, kau mau kemana lagi, Elena!" Ray segera membayar makanannya dan mengejar Elena. Namun, pria itu kehilangan jejak karena Elena sudah tidak kelihatan lagi.
*****
Apartemen
"Non, jangan sedih terus." Marni mengusap lembut kepala Viona yang berada di atas pangkuannya.
"Kenapa semua orang selalu menilai dari uang? Hingga harga diri pun di nilai dari uang? Kenapa aku hidup diantara orang-orang yang memiliki pikiran jika uang adalah segalanya dan mampu membeli apa pun yang mereka mau?" Viona memekik pinggang BI Marni menyembunyikan wajahnya yang sudah menangis.
Iya merasa sakit hati atas perkataan pria tadi, seolah mengatakan jika dia wanita murahan yang mudah di beli oleh uang. Perkataannya pun mengingatkan dia pada perlakuan orangtuanya yang menjadikan dirinya penebus utang dan akan di jadikan wanita malam. Kejadian pemerkosaan pun kembali teringat membuat Viona menangis gemetar.
"Non," ucap bi Marni ikut sedih mendengar tangis pilu Viona.
"Aku hanya ingin hidup normal tanpa adanya masalah ini. Apa salahku, bi? Apa aku tidak berhak bahagia sehingga Tuhan selalu mengujiku dengan orang-orang ber uang?"
"Tidak non, non tidak salah. Ini adalah ujian dari Tuhan karena Tuhan tahu jika non Vio mampu menghadapinya." Marni terus mengusap rambut Viona dan berusaha menenangkannya.
"Aku hanya ingin bahagia, bi. Bahagia bersama orang-orang yang mau menerimaku tanpa harus menyinggung harga diri dan uang. Apa akan ada pria yang mau menerima ku dengan hati yang ikhlas? Apa ada di antara mereka yang tidak menilai ku karena uang?" Lagi-lagi Viona menanyakan hal itu. Ia memejamkan mata dengan suara yang terdengar lirih.
"Ada, pasti ada pria yang akan menerima non dengan lapang dada. Waktu itu pasti akan tiba, waktu dimana non mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya." Bi Marni ikut sedih mendengar keluhan Viona. Ia ikut meneteskan air mata, dan tak terasa Viona tertidur merasa nyaman dengan usapan yang bi Marni berikan.
Tong ... tong ....
Bel berbunyi, Marni pelan-pelan memindahkan kepala Viona pada bantal.
*****
Ceklek ....
"Tuan." Yang datang ke sana adalah Bram.
"Bagaimana keadaan Viona?" tanya Bram sambil masuk ke dalam. Dia ingin melihat Viona.
"Non Viona ..." Bi Marni menceritakan setiap apa yang terjadi dan juga menceritakan setiap keluhan gadis itu.
Bram menghelakan nafas panjang dan duduk di dekat Viona. Matanya terus memperhatikan wajah cantik gadis ayang sedang terlelap dengan mata sembab.
"Begitu tuan ceritanya."
"Kasihan sekali dia," ucap Bram mengusap lembut kepala Viona.
"Semoga kelak kamu mendapatkan kebahagiaan yang kaku inginkan. Tapi, maafkan saya jika nanti saya harus melibatkan mu dalam masalah yang Raymond hadapi."
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments