Meski matahari mulai menyinari, jam berubah siang, dan hari berganti, tapi tidak menyurutkan seorang gadis bangun di pagi hari. Rasa lelah setelah perjuangannya melarikan diri dari kejaran orang-orang yang ingin ia hindari, membuat Viona kelelahan dan lelap tertidur.
Namun, perlahan telinganya mendengar samar-samar suara bel yang terus berbunyi mengganggu tidur nyenyak nya.
Nggghh ....
Viona menggeliat dan mulutnya pun menguap. Tangannya mengucek mata dan mencoba melihat sekitar.
"Hmmm, sudah pagi ini." Viona pun bangun, kakinya ia turunkan ke lantai dan berjalan ke luar kamar.
Ting ... tong ....
"Tunggu sebentar!"
Lalu Viona membuka pintunya. Orang itu memperhatikan gadis remaja yang ada di hadapannya.
"Mau cari siapa?" tanya Viona masih mengumpulkan nyawanya. Matanya masih belum terbuka sempurna, dan keadaannya pun masih acak-acakan.
"Permisi, non. Saya Marni, yang di tugaskan tuan Bramantyo untuk menemani nona."
Barulah mata Viona terbuka sempurna saat mendengar nama pria yang menolongnya. Dia menatap wanita paruh baya, mungkin usianya sudah 50 tahunan.
"Oh, bibi orang yang akan tinggal di sini?"
"Betul, nona. Tuan Bram sudah memberitahukan ini bukan?"
"Ah, iya, kemarin om Bram bilang akan ada orang yang datang menemaniku di sini, mungkin bibi. Ayo masuk!" Viona senang jika ada orang lain berada di sana. Setidaknya ia tidak merasa kesepian saat berada di apartemen.
Bi Marni masuk sambil membawa plastik di kedua tangannya. Isinya pun berbagai macam makanan, dan keperluan lainnya. Viona sempat heran melihat barang bawaan begitu banyak.
"Permisi, Non. Ini barang-barang nya." Pak supir yang kemarin mengantarkan dia pun ikut membawa beberapa jinjingan. Viona hanya mengangguk memperhatikan semuanya.
Setelah barang bawaannya masuk semua, Viona menutup kembali pintunya. Pak supir pun juga sudah kembali pergi. Viona memperhatikan seluruh plastik yang ada di sana.
"Bi, bawaannya banyak sekali, untuk apa?"
"Ini semua keperluan kita selama satu Minggu. Mulai dari makanan, alat mandi, dan tentunya berbagai macam keperluan rumah." Bi Marni tersenyum ramah sambil tangannya membereskan satu persatu barang-barang belanjaannya.
"Tapi ini banyak banget. Bagaimana ngabisinnya?" Bagi Viona ini sungguh sangat banyak. Apalagi mereka hanya berdua, kemungkinan tidak akan habis dalam seminggu.
"Kalau tidak habis bisa di bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan, Non." Balas bi Marni.
"Oh, gitu. Aku ikut kata bibi saja. Maaf, aku belum bisa bantu, mau mandi dulu hehe." Viona cengengesan menggaruk tengkuknya, ia tidak enak hati harus membiarkan Marni membereskan semuanya sendiri. Tapi, ia juga mau mandi dulu agar badannya terasa segar lagi.
"Tidak apa-apa, Non. Ini sudah menjadi tugas bibi."
Meski tidak enak hati, Viona kembali ke kamarnya dan membersihkan diri. Namun, sebenarnya Viona terus mengucapkan kata minta maaf pada Marni. Hal itu membuat Marni menilai jika Viona merupakan anak yang sopan dan juga mudah akrab dengan siapa saja.
"Anak itu cantik, sopan pula, tidak salah kalau tuan menginginkan dia," gumam Marni sambil memasukkan barang masakan ke dalam lemari pendingin.
*****
Kediaman Ronald.
"Elsa, bangun! Bantu Ibu masak, Elsa!" Natalie mencoba membangunkan anaknya. Sejak tidak ada Viona, ia kerepotan menyiapkan sarapan pagi. Apalagi dirinya yang tidak bisa masak sulit untuk beradaptasi dengan dapur.
"Apaan sih, Bu. Ibu saja yang masak, Elsa tidak mau!" Elsa menarik selimutnya menolak tegas permintaan Natalie.
"Hei, hanya kamu yang bisa bantu ibu menyiapkan makanan pagi ini, buruan bangun!" Natalie kembali menyibak selimut Elsa.
Elsa menggeram menahan amarah, tetapi ia tidak bisa menahan rasa kesalnya karena ibunya membangunkan dia pagi-pagi begini.
Elsa bangun dan mendudukkan bokongnya. "Ibu ini apa-apa, sih? Aku tidak mau mengikuti perintah Ibu! Ibu saja yang masak dan jangan bawa-bawa aku! Menyisakan saja," sentak Elsa mendongak kesal.
"Elsa! Kau membentak ibu?" Natalie tidak menyangka putrinya berani berkata kasar. Untuk pertama kalinya ia mendengar bentakan dari Elsa.
"Tahu, ah. Minggir!" dan Elsa pun bangun mendorong pelan tubuh Natalie agar menyingkir dari hadapannya dan tidak menghalangi jalan dia.
*****
Kediaman Bramantyo
Tak ... tak ... tak ....
Suara langkah sepatu terdengar nyaring di telinga penghuni rumah megah, rumah salah satu pengusaha properti di kota Nevada, Amerika serikat.
Tubuh tinggi, penampilan rapi, wajah tampan rupawan dan berahang kokoh, melangkah mendekati meja makan. Pria itu menarik kursi seraya berkata, "selamat pagi, Pah, Mah."
"Pagi juga, sayang." Balas mamanya dengan senyuman indah menghiasi bibirnya.
Pria itu duduk dan membuka piring, lalu mengambil makanan yang terhidang di depannya.
"Pah, kenapa tiba-tiba bi Marni cuti satu Minggu? Lalu siapa yang akan masak makanan untuk kita?"
"Sudah lama Marni tidak istirahat, makanya Papa izinkan dia istirahat dulu. Untuk masak, 'kan bisa mama yang masak. Apa susahnya, sih." Balas Bram terdengar dingin.
"Apa? Ko gitu? Mana bisa begitu, Pah. Mama tidak mau! Nanti kuku-kuku Mama yang cantik ini rusak dan tubuh mama ini bau asap kompor, Mama tidak mau!" wanita yang duduk di samping Bram ini menolak tegas permintaan suaminya. Padahal, sebenarnya ia bisa masak, hanya saja tidak mau karena merasa itu bukan bagian darinya.
"Papa tidak mau menerima penolakan, selama seminggu, Mama yang akan masak tiap hari. Kalau tidak, uang bulanan Mama akan papa potong 50%." Dan Bram pun mengeluarkan ancamannya. Ancaman yang paling di takutkan oleh istrinya.
"Ja-jangan! Baiklah, Mama akan masak selama satu Minggu. Tapi jangan potong uang jajan Mama." Mana mau uang bulanan Miranda di potong begitu saja, uang itu segalanya untuk dia. Kalau di potong mana cukup menghidupi dirinya selama satu bulan.
Ya, Bram tidak sepenuhnya memberikan pegangan kepada Miranda, istrinya. Dia hanya memberikan kartu dengan jumlah uang yang sudah ia berikan dan harus cukup selama satu bulan.
Sedangkan putranya Bram, diam memperhatikan perdebatan di pagi hari.
"Oh iya, Raymond. Papa ingin bicara sama kamu. Papa tunggu kamu di ruangan kerja!" Lalu, Bram mengambil tissue dan mengelap bibirnya. Dia pun berdiri meninggalkan meja makan.
Raymond dan Mamanya saking pandang. Mereka mengangkat kedua bahunya tidak tahu apa yang akan di bicarakan Bram. Namun, Raymond mendatanginya setelah selesai makan.
*****
"Ada apa, Pah?" tanya Ray sambil mendudukkan bokongnya.
Bram masih dalam posisi duduk menghadap jendela menatap taman belakang.
"Ray, kamu sudah cukup umur untuk memiliki anak. Papa ingin kamu memiliki anak."
"Ray sedang berusaha, Pah. Tapi ..."
"Istrimu sibuk bekerja dan tidak mau hamil, bukan?" ucap Bram menoleh menatap putranya.
Ray menghela nafas. "Ray tidak bisa memaksa Elena."
"Tapi Papa sudah ingin memiliki cucu. Maka dari itu, jika Elena tidak mau hamil maka kamu harus menikah dengan wanita pilihan Papa."
"Apa?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Liswati Angelina
waduh, tetap aja masuk sarang biawak....
2023-02-06
1