Daffin memikirkan cara terbaik untuk memberitahu Aya tentang kebenaran itu. Memang satu kebenaran telah terbuka, tetapi belum bisa dipastikan bahwa mereka yang telah mencelakai ayahnya. Jika Daffin memberitahunya sekarang, itu hanya akan membuatnya lebih tenggelam dalam rasa sakitnya.
Ia memilih merahasiakannya dulu dari Aya, namun tetap memberitahukannya pada Arka. Daffin tahu bahwa kakaknya sangat mengkhawatirkan Aya, karena dia menyukainya. Dengan begitu Daffin berharap kakaknya bisa membantunya melindungi Aya dan keluarganya.
Mereka terus melakukan pengiriman obat sesuai perintah Benny. Apalagi sekarang jam masuk sekolah semakin berkurang karena mendekati masa liburan. Beruntung Daffin dan Arka hanya diminta untuk mengantar barang pesanan, bukan menjual. Sekalipun mereka tertangkap polisi, mungkin hukumannya juga tidak seberat pengedar atau penjual.
Haira dan keluarganya juga sudah merelakan kepergian sang ayah. Tetapi tidak demikian dengan Aya. Dia sudah curiga saat Daffin tidak membalas pesannya selama beberapa hari, kemungkinan orang yang ia tanyakan adalah satu orang yang sama dengan yang mengejar mereka.
Aya menelepon Daffin dan mengajaknya bertemu sore hari. Karena toko kue mereka masih tutup, Aya bisa memakainya untuk bertemu dengan Daffin. Tapi Daffin malah menyarankan untuk bertemu di Rumah Kampung. Rumah itu masih aman dari sentuhan para Ketapel, dan Aya pun menyetujuinya.
Mereka bertemu saat Daffin telah selesai melakukan pengiriman. Entah karena memang beruntung atau hanya kebetulan, selama Daffin melakukan pengiriman dia selalu lolos dari razia yang bisa muncul setiap saat tanpa aba-aba.
"Gimana kabar kamu?" tanya Aya.
Melihat gadis itu menurunkan nada bicara dan diksi kata panggilannya dari elo menjadi kamu, Daffin mengernyit heran. Ia merasa seperti Aya tengah memperlakukannya dengan super baik entah karena alasan apa.
"Apa lo sakit? Kenapa jadi baik gini?" kelakar Daffin.
Aya memicing mendengar jawaban laki-laki itu. Melihatnya berubah menjengkelkan seperti dulu membuat Aya tersenyum.
"Kenapa senyum? Ada yang lucu?" tanyanya curiga.
"Kalau udah jengkelin gini, kayaknya kamu udah baik-baik aja" jawab Aya sinis.
Mereka berdua tertawa meskipun tahu bahwa suasananya telah berubah canggung. Semenit kemudian mereka saling terdiam. Keduanya terlihat kebingungan untuk memulai percakapan.
"Fin, orang itu.. sama kan?" Akhirnya Aya membuka percakapan mereka.
"Hu uhm" jawabnya pendek.
Daffin merasa tidak mungkin menyembunyikan masalah itu lebih lama. Membicarakannya sekarang mungkin keputusan terbaik pikirnya.
"Terus kenapa nggak bales chatku kemarin?" protesnya.
Daffin hanya diam dan menghela napasnya pendek. Aya pun tidak ingin memaksanya lagi. Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Terus gimana rencanamu selanjutnya..?"
"..apa kamu akan terus kerja di sana?" tanyanya lagi.
"Harus. Ada yang harus aku cari disana. Lalu soal ayahmu.." jawab Daffin santai.
Mata Aya mendadak dipenuhi bulir-bulir bening yang tertahan. Ia merasa Daffin begitu memperhatikannya. Bahkan ia rela mengorbankan dirinya demi menbantunya. Tanpa sadar ia menubruk memeluk Daffin. Membuat pemuda itu menahan napas karena terkejut dengan aksi Aya. Lebih dari satu menit sebelum akhirnya Aya menyadari perbuatannya yang bisa membuat salah paham. Ia pun melepas pelukannya dengan canggung.
"Sorry, aku cuma mau.. terima kasih aja" ucapnya terbata.
"Oh iya.."
Daffin pun sama canggungnya. Jantungnya mendadak berdegup melebihi ritme biasanya. Ia sudah melepas napasnya tapi masih saja terasa sesak menurutnya. Suhu ruangan di Rumah Kampung pun mendadak panas entah kenapa. Wajahnya pun memerah meski Aya tidak melihatnya.
"Tapi apa maksudmu dengan mencari sesuatu disana? Apa yang kamu cari?" Aya mulai curiga lagi.
"Ada lah.." jawab Daffin pendek.
Jawaban Daffin membuatnya diomeli lagi oleh gadis itu. Dia menyuruhnya untuk berhati-hati, jangan melakukan ini itu, jangan sampai kembali memakai obat, jangan sakit lagi dan masih banyak omelan lainnya. Namun hal kecil itu membuat Daffin tertawa dan hanya mengiyakan semua ucapannya.
Aya memandangnya dengan senyuman lembut. Ia belum pernah melihat Daffin tersenyum, apalagi tertawa serenyah itu. Tetapi ia bersyukur jika omelannya sedikit bisa membantunya. Pun sama dengan Daffin, melihat Aya sudah mulai tersenyum dan tertawa karena dirinya, membuatnya sedikit merasa lebih baik.
"Fin, tentang ayahku.. kita tinggal nyari.."
"Oke, oke, aku tahu.." potong Daffin sambil mengelus kepala Aya dengan lembut.
Lagi-lagi suasana menjadi canggung. Hanya setelahnya Daffin berhasil mencairkan suasana dengan membahas soal rencananya mencari bukti kuat yang Aya maksud.
Daffin berpikir bahwa mereka harus menangkap basah para preman itu. Sebab keluarga Aya tidak melakukan otopsi. Jadi bukti satu-satunya hanyalah pengakuan mereka. Karenanya mereka berniat mengawasi pergerakan para preman itu.
Menurut Daffin, jika mereka yang melakukannya, dan ayahnya didiagnosis terkena serangan jantung, berarti kemungkinannya hanya satu, mereka menggunakan obat.
Namun Aya kembali berpikir. Apabila semua ini benar, apa yang bisa dia lakukan? Apakah mereka bisa membawa preman-preman itu ke polisi? Ataukah dia harus membiarkannya. Mereka hanyalah anak SMA yang bahkan tidak mempunyai kekuatan apapun untuk melawan preman, terlebih gembong narkoba. Pikiran Aya menjadi ragu, semua terasa rumit setelah ia memikirkannya kembali.
***
Sudah sebulan sejak kepergian ayah Haira. Berbeda dengan kakaknya yang fokus mencari penyebab ayahnya meninggal, Haira lebih suka menyibukkan diri dengan aktifitas hiburannya. Karena sekolah sudah libur, Haira lebih sering pergi ke perpustakaan atau menonton film bersama Dipa.
Hari itu Haira sedang berjalan menuju toko kue untuk berganti shift dengan ibunya. Mereka sudah mulai membukanya selama dua hari sejak kepergian ayahnya. Saat ini ibunya lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Dan tentu biaya sekolah ketiga anaknya menjadi pemikiran utama. Sebab itulah mereka segera membukanya kembali.
Haira menata kue dan mengoven seperti biasa. Kemampuan ibunya membuat kue dan roti memang lebih banyak menurun ke Haira daripada anak sulungnya. Sedangkan Aya memiliki turunan kemampuan ayahnya. Dia seorang yang pandai bicara di depan umum. Bahkan saat SMP Aya pernah mengajukan diri sebagai calon ketua Osis meskipun pada akhirnya kalah.
Namun baru beberapa saat dia berada di toko, ada beberapa orang yang datang. Mereka nampak seperti anak muda sepantaran Aya dan Haira. Sebagian dari mereka adalah anak-anak perempuan yang berpakaian seperti anak jalanan.
"Permisi, kami mau pesan kakk" teriak salah seorang anak perempuan.
"Maaf kak, pesannya harus di kasir" sahut Haira.
Gadis yang berpakaian tomboy itu menghampiri Haira dengan tatapan tajam.
"Apa kau mengabaikan pesananku?" kata gadis itu dengan judes.
"Tidak, Kak. Tetapi memang ordernya harus di kasir" jawab Haira masih sopan.
Gadis itu mendekati Haira yang berada di balik mesin kasir. Dengan tatapan yang dingin, dia membisikkan sesuatu di depan wajah Haira.
"Heh, bilangin sama kakak lo, jangan berani deketin Daffin lagi"
Haira yang tidak memahami maksud gadis itu, hanya terdiam. Sementara anak-anak itu bersiap meninggalkan toko kue Haira sambil menendang kursi. Namun Aya dan Daffin telah berdiri di belakang mereka.
"Daffiin..."
Gadis itu berlari dan memeluk Daffin di depan Aya. Daffin menampakkan ekspresi seperti mengenal gadis itu. Namun raut wajahnya tampak tidak menyukainya saat dipeluk oleh gadis itu.
"Lo siapa?" tanya Aya.
Gadis itu melepaskan pelukannya dan berganti melihat ke tempat Aya berdiri. Dia menarik Daffin agar dia tidak berdiri dekat di samping Aya.
"Lo Aya? Cewe yang ngedeketin Daffin?" sentaknya sinis.
"Lo siapa gue tanya?" Aya membalasnya dengan nada tinggi.
"Gue pacar Daffin!" teriak gadis yang bernama Nona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
monocaaa
omegad..
2023-02-12
0