Aya tidak langsung pulang menuju rumahnya. Hari ini ia harus bergantian dengan Haira untuk membantu ayah dan ibunya bekerja di toko. Mereka sepakat untuk bergantian menjaga toko setiap seminggu sekali, dan hari ini giliran Aya.
Orang tua Aya bukan orang yang kaya raya. Mereka hanya memiliki sebuah toko kue untuk menopang kehidupan kehidupan mereka berlima. Aya adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Adiknya yang bungsu saat ini masih duduk di bangku SMP. Jarak usia mereka tidak terlalu jauh.
Rumah mereka pun bisa dibilang sederhana. Peninggalan satu-satunya dari orang tua sang ayah. Tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman untuk ditinggali oleh lima orang.
Dari segi pendidikan, Aya lebih beruntung dibanding kedua adiknya. Ia bisa bersekolah di sekolah yang cukup elit, karena saat ia masuk ke SMA, ayah dan ibunya mendapat pesangon dari tempat mereka bekerja sebelumnya. Namun saat Haira yang masuk SMA, ia lebih memilih untuk bersekolah di tempat lain yang tidak terlalu elit. Ini karena Haira mengejar satu jurusan favorit di sekolah itu, Bakery. Ia ingin meneruskan usaha ayahnya dan membuka toko roti sendiri.
Langit mulai gerimis saat Aya tiba di toko kue milik ayahnya. Ia bergerak menuju ruang ganti dan memakai celemek khas toko bakery. Sebenarnya beberapa hari ini dia sedikit lelah. Tapi jadwal jaga toko harus tetap ia lakoni.
"Ay, ibu dan bapak mau ke rumah Bibi Dewi, roti dan kue yang baru sudah ada di dalam oven. Kamu tahu cara mematikan oven, kan?"
Aya menjawab ucapan ibunya dengan anggukan karena mulutnya terlanjur penuh dengan sepotong roti. Ia terlalu sibuk berurusan dengan Daffin dan Arka sampai melupakan makan siangnya.
Ah iya, Arka.
Pikiran Aya kembali mengingat kejadian tadi siang saat ia bertemu dengan Arka. Laki-laki yang mengaku sebagai kakak Daffin. Menurut Aya, Daffin sama sekali tidak mirip dengan Arka. Tapi mungkin saja itu terjadi, karena dirinya juga tidak mirip dengan Haira yang terlihat lebih putih dan cantik.
Pikiran Aya tentang Arka mulai terdistrek ketika suara alarm oven berbunyi, tanda roti yang dipanggang ibunya sudah matang. Bersamaan dengan Aya yang mengangkat roti dari dapur, ia terkejut mendapati Arka sudah berdiri di depan mesin kasir tempat pemesanan pelanggan.
"Hai.."
Arka melambaikan tangannya dan tersenyum lebar, cukup lebar sampai lesung pipitnya ikut keluar menyapa.
"Arka? Ngapain kamu disini? Wait, dari mana kamu tahu aku disini?"
Arka yang semula berdiri, langsung duduk di salah satu kursi yang terdekat dengannya.
"Kamu ngikutin aku dari sekolah?" Aya menatapnya penuh curiga.
"Daffin yang ngasih tahu"
Mendengar jawaban Arka, membuat Aya mengernyitkan dahinya. Darimana Daffin bisa tahu alamat toko kuenya, sementara dia baru mengenal Aya dua hari.
"Kamu nggak usah kaget dan heran begitu. Ada banyak hal yang kamu nggak tahu di dunia ini"
Arka menyeruput kopi yang diambilnya dari lemari showcase yang ada di sudut ruangan. Ia tertawa melihat Aya yang terus menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.
"Aku disuruh Daffin buat jagain kamu disini" Arka yang merasa basa basinya sudah cukup, ekspresinya berubah menjadi lebih serius.
Kali ini Aya terdiam dan menghentikan kegiatannya mengelap gelas dan piring. Daffin menyuruh Arka untuk menjaganya? Buat apa? Wait, kenapa? Aya bertanya dalam diamnya.
"Sini, gue jelasin"
Aya melangkah mendekat ke meja Arka dan duduk di depannya. Ia masih tak mengeluarkan sepatah kata pun sejak nama Daffin disebut.
"Jadi Daffin cerita soal kalian di ruang aula olahraga kemarin. Dia takut mereka nemuin kamu dan ngelakuin hal-hal aneh. Makanya dia nyuruh aku buat jagain kamu" jelas Arka sambil kembali mengunyah kue brownies yang dibawa Aya.
"Kenapa mereka nyari aku? Mereka nggak lihat kita ada di sana kemarin"
Arka menelan browniesnya sebelum kembali bicara. Lalu ia menceritakan hal yang belum Aya ketahui soal kemarin di aula olahraga. Bahwa sebenarnya mereka tidak hanya berempat, namun berlima. Tiga orang yang berdiri memukuli satu orang yang penuh luka itu, dan ada satu orang lagi yang berada di luar. Dan orang itulah yang melihat Daffin dan Aya saat keluar dari aula, karena mereka berpapasan di depan gedung. Daffin yang awalnya mengira orang itu hanya murid biasa, mulai curiga saat melihatnya mengikuti Aya ketika pulang dari sekolah sore tadi. Makanya Daffin menelepon Arka untuk menggantikannya membuntuti orang itu.
"Jadi orang itu masih di sekitar sini?
Arka menggeleng.
"Aku sudah menyuruhnya pergi tadi"
Aya kembali memicingkan matanya, menatap Arka penuh curiga.
"Yakin cuma disuruh pergi?"
Bukan tanpa alasan Aya bertanya demikian, sebab Arka dan Daffin memang nampak seperti anak yang lebih suka bicara dengan otot daripada mulut. Ia menduga Arka menghajar orang yang mengikutinya, karena Aya melihat ada sedikit goresan luka di wajah Arka. Sedangkan Arka yang paham maksud pertanyaan Aya pun cuma membalasnya dengan gidikan bahunya sambil tersenyum.
***
Daffin yang semula ingin mengikuti Aya, mengurungkan niatnya karena Haira menelepon dan ingin bertemu. Setelah menelepon Arka untuk menggantikannya, ia pun menuju gang kecil tempat biasa mereka bertemu.
Setelah 10 menit menunggu di gang, Daffin mendengar suara tertawa dari arah belakang gedung. Ia berjalan perlahan dengan rasa penasarannya yang mulai muncul. Dan setelah suara tertawa itu berhenti, terdengar suara lain yang berteriak seraya meminta tolong.
Daffin melihat Dipa sedang meringkuk di bawah dengan tubuh yang penuh luka. Ia menangis sambil memohon agar tidak dipukuli lagi oleh dua orang yang berdiri dengan membawa tongkat di tangan mereka.
"DIPAA!!!"
Semua menengok ke arah Daffin berdiri. Dan ternyata bukan Daffin yang memanggil Dipa, melainkan Haira. Ia berdiri di samping Daffin tanpa diketahui olehnya.
"Aa..Ai.."
Haira langsung menghampiri Dipa dan membantunya berdiri. Lalu ia memapahnya menjauh dari dua orang yang entah siapa itu. Ketika mereka berusaha menghalangi Haira, Daffin melangkah menghadang. Membiarkan Haira dan Dipa berada di belakangnya.
"KALIAN SIAPA? MINGGIR!!!
Kedua orang yang memukuli Dipa dipastikan adalah preman. Terlihat sekali dari tampilan mereka yang urakan. Telinga yang ditindik, tato disana sini, rambut yang acak-acakan, dan baju yang tampak lusuh.
"Gak usah pakai kenalan, mending kalian berdua pergi dari sini atau gue panggil polisi" hardik Daffin tenang.
Tapi sepertinya kedua preman itu tidak mau dengan mudah melepaskan Dipa. Akhirnya baku hantam pun tak bisa dielak. Berbekal kemampuan bela dirinya, Daffin berhasil menumbangkan kedua preman itu, meski ia sendiri juga terluka. Dan preman-preman itu berakhir tak sadarkan diri di belakang gedung.
Haira, Daffin, dan Dipa segera meninggalkan tempat itu menuju rumah Dipa. Beruntung orang tua Dipa masih berada di luar kota, sehingga mereka dengan aman bisa mengobati luka-lukanya.
"Kenapa mereka mukulin kamu sih, Dip?"
Suara Haira bergetar. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. Haira dan Dipa memang sudah lama dekat, sejak SMP mereka menjalin hubungan STM alias Suka Tapi Malu. Mereka saling menyukai satu sama lain, tapi tidak ada kata komiten pacaran. Mereka terlalu malu untuk saling mengatakan kalimat-kalimat 'penembakan'.
"Ai.."
"..mereka Ketapel"
Mendengar ucapan Daffin, Haira terlihat sedikit terkejut. Bagaimana bisa Dipa sampai terlibat dengan Ketapel. Apa Dipa dijadikan Merpati? Tapi kenapa? Pikiran itu membuat Haira tidak fokus sampai obat antiseptik yang ia oleskan di tangan Dipa meluber.
"Ai..Ai.."
Haira tersadar dan segera membersihkan tangan Dipa kemudian memperbannya. Dengan mantab dia kembali bertanya pada Dipa tentang apa yang terjadi. Tentang apakah Dipa adalah Merpati. Apakah Dipa memakai obat. Dan semua yang menjadi keraguan Haira pada malam itu.
***
Arka membantu Aya membereskan tokonya setelah jam menunjukkan pukul 9 malam. Aya yang awalnya merasa tidak nyaman dengan keberadaan Arka sepanjang jam kerjanya, akhirnya membiarkan Arka tetap di toko sampai tutup.
"Kamu nggak ada kerjaan lain? Nggak ngerjain tugas-tugas gitu?"
Arka mengabaikan pertanyaan Aya, ia hanya mengangkat bahunya dan kembali menata kursi di atas meja. Aya berdecak dan menggelengkan kepalanya, ia baru saja sadar kalau Arka adalah satu dari sekian banyak siswa yang tidak mau ribet dengan urusan sekolah.
Mereka berdua berjalan menuju rumah Aya tak lama setelah selesai menutup toko. Sepanjang perjalanan mereka diam saja. Hanya ada suara langkah kaki dari sepatu mereka yang bergesekan dengan aspal. Aya merasakan suasana ini akan membuatnya semakin canggung. Dia memutar otak untuk mencari topik pembicaraan yang pas.
"Abis lulus mau kemana, Ar"
Topik yang standar, tapi Aya tidak bisa memikirkan topik selain itu.
"Hmm..belum tahu sih, Ay.."
Entah karena udara malam itu yang sedikit lebih dingin daripada biasanya, atau hanya perasaan Aya saja. Tiba-tiba saja Aya merasa lucu ketika Arka menyebut namanya seperti itu. Tentu saja nama panggilannya sering membuat orang salah paham, mengira itu adalah singkatan dari "sayang". Hal konyol itu membuatnya tersenyum sendiri.
"Kamu bayangin aku manggil kamu sayang, kan?" celoteh Arka sambil menahan tawanya.
Aya mengira Arka bisa mendengar isi kepalanya. Dia juga merasa dejavu saat Arka menggodanya seperti itu. Dan bayangan Daffin yang menggodanya pagi tadi akhirnya menjawab dejavu Aya. Dia heran, kenapa dia dan adiknya selalu berpikir sesuka hati mereka.
"Dasar cowok, sama aja"
Mendengar keluhan Aya, Arka tertawa lebar. Ia sangat menyukai ekspresi Aya saat dia menggodanya. Dan perlahan tapi pasti, Arka menatap wajah Aya yang masih kesal dengannya.
Ia mulai menyukai gadis berambut panjang itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
monocaaa
huh.. rasanya jadi Aya gimana..
2023-02-09
1
☘💚Efa Vania💚☘
jadii.. kamu demennya sm siapa ayaa???😂
2023-02-07
1