Aya merasakan dirinya berada dalam pandangann Arka. Meskipun dia tidak melihatnya langsung, tetapi ia bisa merasakan Arya memandanginya sejak awal kepulangan mereka dari toko.
"Kenapa dia memandangiku seperti itu" batin Aya.
Meskipun Aya tidak tahu pasti, tapi dia merasa Arka sedikit tertarik padanya. Namun hal itu justru membuatnya heran.
Sebab Aya memang selalu merasa dirinya tidak terlalu cantik. Tingginya hanya 154cm, sangat mungil, apalagi jika dibandingkan dengan adiknya Haira yang lebih tinggi. Satu-satunya yang membuat Aya sedikit percaya diri hanyalah kulitnya yang putih, wajahnya yang bulat dan membuatnya tampak imut, dan rambut panjangnya yang membuat semuanya semakin menuju sempurna. Setidaknya bagi Aya. Tapi apakah benar Arka tertarik padanya. Pikiran itu terus mengganggunya sepanjang jalan.
Untungnya tanpa dirasa, mereka sudah sampai di depan rumah Aya. Di saat yang sama Daffin dan Haira datang dari arah yang berlawanan. Mereka berempat menunjukkan ekspresi yang sama, saling terkejut.
"Hai, kamu baru pulang?"tanya Aya yang heran karena adiknya baeu sampai di rumah di jam segitu.
Haira yang tengah kehilangan mood dan semangatnya, berusaha sebaik mungkin untuk tidak menunjukkan ekspresi lelah dan khawatirnya terkait insiden Dipa tadi. Dia membalas pertanyaan Aya dengan senyum lebar dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa bicara sepatah kata pun. Perhatian Aya pun beralih ke Daffin yang terlihat bingung menyiapkan jawaban. Karena ia tahu, Aya pasti akan mulai memberondonginya dengan banyak pertanyaan.
"Fin, kamu kenal sama Haira?"
"Iya.."
"Sejak kapan? Kok bisa?"
Awalnya Daffin terlihat ragu untuk mengeluarkan jawabannya. Tapi setelah kontak mata dengan Arka, kakaknya, akhirnya dia memutuskan untuk menjawabnya dengan jujur.
"Dia adik kelasku di SMP"
Aya mengangguk dengan mulut yang terbuka, tanda paham. Tapi itu hanya berlangsung sebentar, dan ia mulai memasang wajah serius lagi.
"Terus, kenapa kamu bisa bareng Haira tadi? Dari mana jam segini?"
Daffin dan Arka menghela nafas panjang. Keduanya kompak bertolak pinggang sambil mendongak menatap langit. Mereka tidak habis pikir dengan cewek yang satu ini. Kenapa dia tidak bisa puas hanya dengan satu pertanyaan.
"Aku capek, besok saja ceritanya" jawab Daffin yang langsung meninggalkan rumah Aya diikuti Arka di belakangnya.
Mereka meninggalkan Aya yang masih menatap punggung kedua temannya sambil merutuki mereka tanpa henti.
***
Hari terakhir ujian membuat Aya bersemangat. Namun dia malah kembali terlambat bangun seperti biasa. Sedangkan Haira sudah pergi lebih dulu tanpa membangunkan kakaknya. Entah apa yang disembunyikan Haira, tapi Aya merasa adiknya sedikit berubah. Ia jadi jarang mengomel. Biasanya Haira selalu mengomeli Aya bahkan tentang hal-hal kecil. Bagi Aya, Haira lebih seperti seorang kakak daripada adik. Dia sangat bisa berpikir dewasa, tidak seperti Aya.
Pagi itupun ia harus kembali berurusan dengan Pak Teguh. Tapi Aya sudah menyiapkan alasan jika Pak Teguh mengomelinya lagi. Setibanya di depan pintu gerbang, Aya melihat Pak Teguh tidak seperti biasanya. Beliau nampak lelah dan mengantuk. Padahal biasanya Pak Teguh selalu bersemangat dan ceria meskipun sudah tidak muda lagi.
"Pak.."
Pak Teguh menoleh ke belakang saat Aya memanggilnya. Beliau juga langsung membukakan pintu gerbang tanpa mengeluh soal keterlambatan Aya.
"Bapak baik-baik saja?"
"Iya, Nduk. Cepat masuk, jangan sampai guru BP melihatmu" ujar Pak Teguh lesu.
Aya menurutinya tanpa berani bertanya apapun. Ia hanya berasumsi bahwa Pak Teguh mungkin sedang ada masalah keluarga atau lainnya. Ia pun bergegas menuju kelasnya.
Hari ujian terakhir juga dilewati Aya dengan lancar. Hukuman bersih-bersih juga akan berakhir hari ini. Dengan cerianya Aya berlari kecil menuju atap. Lagi-lagi hari ini membersihkan area itu. Tapi ia tidak melihat Daffin.
"Kemana nih anak? Apa dia kabur di hari terakhir?" gerutu Aya.
BRUKK
Tiba-tiba Aya mendengar suara benda terjatuh. Ia menoleh kesana kemari untuk menemukan sumber suara itu. Dan pandangannya tertuju pada satu area yang mencurigakan. Area itu tertutup dengan meja yang ditumpuk Aya kemarin, tapi seingatnya ia tidak menaruh apapun disitu.
Aya berjalan berjingkat dan perlahan mendekatinya. Sebenarnya ia agak takut kalau-kalau disitu ada orang jahat yang sedang bersembunyi. Dan kesalnya Aya ketika dia malah menemukan Daffin yang tertidur pulas di balik meja dan tidak sengaja menyenggol sebuah benda di sebelahnya.
"Huh..bisa-bisanya dia tidur disini..
Aya membungkukkan badannya ke arah tubuh Daffin yang masih pulas, lalu berteriak keras di telinganya.
"Heh, Daffin. Banguuuun!!!"
Daffin masih memejamkan matanya. Bahkan dia tidak bergeming sekalipun. Aya yang semakin frustasi karena gagal membangunkannya, akhirnya menyerah dan memilih berhenti. Di tengah-tengah kekesalannya, Aya yang sudah duduk di kursi samping Daffin, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan.
Aya menatapnya cukup lama, sekitar 10 menit. Dia sedang menikmati wajah Daffin untuk episode ke dua, setelah kemarin dia yang tidak sengaja terjatuh saat tengah bermain kabut. Aya melihat wajahnya yang memiliki garis wajah yang tegas. Alis dan semuanya nampak serasi, seperti sudah ditakdirkan untuk berada di wajah Daffin. Tanpa disadari jemari Aya pun sudah memegang ujung rambut di dahi Daffin.
"Mau berapa lama kamu memandangiku seperti itu?"
Daffin yang dikira Aya tengah tertidur ternyata hanya menutup matanya. Spontan Aya yang kaget langsung refleks memukul kepala Daffin. Ia langsung berdiri dan berbalik mencoba kabur, namun Daffin dengan cepat memegang tangan Aya dan menariknya. Kini lagi-lagi Daffin dan Aya saling berhadapan. Aya yang ditarik sekarang dalam posisi membungkuk 90 derajat. Wajahnya hanya berjarak 10 sentimeter dari wajah Daffin.
"Kenapa? Apa kau mulai menyukaiku?"
"Apa kau gila?" balas Aya sambil menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.
"Apa kau malu?" tanya Daffin sambil tersenyum.
Aya merasakan wajah dan tubuhnya panas dingin. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh pada dirinya saat Daffin mendekatinya. Namun ia berusaha menyangkal apa yang coba ia pikirkan. Karena biar bagaimanapun mereka baru bertemu beberapa hari.
Aya tidak menjawab dan segera melepaskan tangan Daffin dan berjalan ke area tengah atap. Ia kembali menyibukkan diri menata dan mengumpulkan kayu dan besi bekas. Bersikap seolah tidak terjadi apapun. Entah apa yang Daffin rasakan, tetapi adegan tadi membuat jantung Aya berdebar sangat kencang. Ia menjadi lebih gugup, bahkan saat Daffin mendekatinya untuk memberikan air minum, Aya malah berlari meninggalkan atap.
Daffin yang semula menggodanya malah menjadi kebingungan dengan sikap Aya. Namun baginya sikapnya justru menggemaskan, meski Daffin hanya mengatakannya dalam hati.
***
Aya tidak melanjutkan hukuman bersih-bersihnya sampai tuntas. Ia terlalu sibuk melarikan diri dari Daffin. Ia pun juga dengan gesit segera meninggalkan sekolah setelah bel berbunyi. Dan saat Aya mendekati gerbang, ia melihat Pak Teguh tengah berbicara dengan seseorang yang berpakaian seperti preman. Dia juga melihat beberapa lainnya juga sedang bergerombol di depan gerbang sekolah.
Aya berjalan santai melewati mereka. Walaupun beberapa dari mereka ada yang melakukan kontak mata dengannya, ia tak peduli. Namun satu-satunya yang mengganggu pikiran Aya adalah orang yang tadi berbicara dengan Pak Teguh. Mereka nampak serius dan preman itu seperti menekan Pak Teguh.
"Ada apa sebenarnya?" gumam Aya lirih.
Ia terus membayangkan hal apa yang mungkin terjadi. Bahkan Aya sampai tidak fokus dengan apa yang ada di depannya. Aya tersandung dan hampir tersungkur, tetapi ada tangan yang menariknya sehingga dia tidak jadi terjatuh.
"Akhirnya, aku menangkapmu. Apa kamu mau melarikan diri terus dariku, Ay?"
"Daffin.."
"Iya, aku. Mau lari kemana lagi kamu" tanya Daffin sambil terus memegang tangan Aya.
"Apa maksudmu? Kenapa aku harus melarikan diri darimu?" jawab Aya sambil tertawa canggung dan dipaksakan.
"Ikut aku!"
Daffin tersenyum dan memegang tangan Aya tanpa menunggu persetujuannya. Mereka pun berlari meninggalkan area sekolah dan menuju ke tempat yang hanya Daffin yang tahu. Aya pun hanya berlari mengikuti langkah Daffin yang lebih besar dari langkahnya. Meski penasaran dia tidak bertanya kemana Daffin akan membawanya.
Mereka berhenti di sebuah rumah yang nampak tak berpenghuni. Aya yang semula diam dan menurut saja, kini mulai memasang wajah bingung dan sedikit ketakutan. Untuk apa Daffin membawanya kesini. Dan rumah siapa ini. Apakah Daffin mau berbuat sesuatu yang tidak-tidak. Semua berkecamuk di otak Aya. Tapi kakinya seolah tidak sepemikiran dengan kepalanya, dia terus saja mengikuti Daffin dan masuk ke dalam rumah.
"Fin, ini rumah siapa? Kenapa kamu bawa aku kesini?" Aya mulai memberanikan diri membuka mulutnya.
"Nanti kamu akan tahu"
Daffin hanya membalasnya singkat dan terua masuk ke bagian dalam rumah. Rumah itu sangat gelap, tidak ada penerangan sama sekali. Meskipun langit masih sore tetapi di dalam rumah itu sama sekali tidak ada cahaya yang masuk. Dan ketika Aya membelok ke sebuah ruangan, disitu dia melihat beberapa orang tengah duduk di samping seseorang yang nampak menangis. Aya mengenali tiga dari empat orang yang ada di situ, selain seseorang yang menangis tersebut.
"Kalian..ngapain kalian semua disini?"
Aya merasa kebingungan melihat adegan aneh itu. Ia melihat adiknya Haira, Arka, dan Dipa berada di satu tempat yang aneh, dan dalam situasi yang aneh juga.
"Ada apa ini sebenarnyaa?"
Aya berteriak keras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
monocaaa
wah.. ada apa?? 😱
2023-02-09
0