Hari itu, tiba-tiba saja Myesa meminta Rey untuk menikah dengannya.
Flashback On
"Ayo kita menikah" Kalimat itu tiba-tiba saja terucap dari mulut Myesa.
"Nikah?" Rey, bertanya untuk memastikan walau sebenarnya sudah dengan jelas mendengar kalimat itu.
"Iya, menikah!" Ulang Myesa.
Rey tersenyum miring mendengar kalimat itu. Dia sama sekali belum memiliki rencana untuk menikah.
"Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?" Myesa langsung memasang wajah cemberut nya.
"Bukan begitu sayang." Rey yang menyadari mimik wajah Myesa berubah langsung mendekat dan memeluk gadis kesayangannya itu.
"Lalu?"
"Aku hanya belum siap, aku bahkan belum kepikiran untuk menikah." Rey mencoba untuk meredakan ambekan Myesa.
"Berarti kau tidak serius denganku?" Myesa tentu saja tidak menyerah begitu saja.
"Tentu saja aku serius, tapi-" Ucap Rey terputus.
"Tapi apa? Kau banyak alasan. Kalau tidak mau, bilang saja!" Myesa semakin merajuk.
Air mata buayanya mulai beraksi. Membuat Rey sedikit panik, dia tidak mau kalau kekasihnya itu sampai marah.
"Iya iya, kita menikah. Tapi tidak sekarang!" Akhirnya, Rey menyerah. Ia tidak ingin berdebat.
"Terus kapan?" Myesa meminta kepastian.
"Satu atau dua tahun lagi." Ujar Rey asal.
Mendengar kalimat itu, Myesa kembali memalingkan wajahnya. "Aku mau secepatnya!"
"Sayang please! Aku baru saja jadi CEO di perusahaan. Banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat ini." Rey memohon pengertian dari kekasihnya itu, walau tampak sia-sia.
"Kau terlalu banyak alasan. Kau sama saja dengan laki-laki lainya, tidak pernah serius." Pungkas Myesa dengan penuh penekanan.
"Aku serius, Mye" Rey mulai sedikit emosi karena disama-samakan dengan lelaki lain. Itu hal yang paling tidak ia suka.
"Buktikan! Buktikan kalau kau memang serius Rey! Bulan depan kita menikah!" Tantang Myesa.
"Oke!" Sarkas Rey, ia mulai terpancing.
*
Namun tidak semudah itu. Keluarga Rey langsung menentang keputusan Rey tersebut.
Myesa kembali berulah.
Bukankah dia akan melakukan segala cara agar apa yang dia inginkan terwujud.
Myesa mengancam akan bunuh diri jika Rey tidak menikahinya. Rey sampai memohon-mohon kepada keluarganya. Dan pada akhirnya, dengan sangat terpaksa. Keluarga Rey memberikan restu.
Flashback Off
"Yasudah, kami ambil yang ini saja." Rey menyerah, dia kembali mengalah untuk kesekian kalinya.
Wajah Myesa langsung sumringah kegirangan menerima kotak cincin pernikahannya.
*
Hanna, benar-benar bekerja keras untuk mendapatkan posisi karyawan tetap. Melakukan apapun yang diperintahkan oleh seniornya.
"Hanna kopi!" Teriak salah seorang senior
"Baik!" Hanna langsung bergegas dengan cepat. Menuju Caffe di seberang perusahaan.
Hanna sudah sangat hafal dengan pesanan apa-apa saja yang dibutuhkan senior-seniornya itu.
Karena ini bukanlah kali pertama.
Kalimat "Hanna kopi!" Sudah seperti kode tersendiri.
Dengan tangan yang dipenuhi kopi dan beberapa makanan membuat Hanna kesulitan sendiri. "Permisi! Permisi!" Sambil menyusuri keramaian.
Hanna semakin mempercepat langkahnya ketika pintu lift hampir saja tertutup.
"Tunggu!" Hanna langsung masuk kedalam lift dan hampir saja menumpahkan semua kopinya. Untung saja seseorang didalam lift langsung memegangnya.
"Kau!" Hanna terbelalak dengan mata yang membulat sepenuhnya.
Pria itu tersenyum. "Biar ku bantu!" Pria itu membantu Hanna memegang beberapa kopi yang memenuhi tangan Hanna.
"Ternyata kau bekerja disini juga?" Dengan logat cerianya. Ya, begitulah Hanna. Gadis itu terlihat selalu ceria disetiap waktu.
Dan pria yang kini menjadi lawan bicara Hanna itu, adalah pria yang mobilnya di tabrak oleh Hanna tempo hari.
"Iya." Pria itu memberi jawaban diiringi dengan tawa kecilnya, lalu menunduk melihat ke arah bawaan Hanna yang super banyak.
"Kenapa tidak kau katakan kalau ternyata kau juga magang disini!" Sambil menepuk pundak pria tersebut.
Pria itu kembali tertawa canggung, dan kali ini ia tidak lagi memberikan jawaban.
"Hanna.." Sambil menyodorkan tangannya, Hanna berinisiatif untuk memperkenalkan dirinya pada pria yang cukup baik itu, menurutnya! Bagaimana tidak, pria itu bahkan tidak pernah sekalipun menghubungi Hanna untuk minta ganti rugi.
"Raffael! Panggil saja Rafa!" Pria itu membalas jabatan tangan Hanna.
"Baiklah." Hanna tersenyum. Lalu kembali menoleh ke arah Rafa. "Oh ya, terimakasih. Kau bahkan tidak meminta ganti rugi atas kecelakaan waktu itu."
"Aku bahkan sudah lupa dengan kejadian itu."
Mendengar kalimat itu, senyum lega jelas terpancar di wajah cantik Hanna.
"Tapi-" Raffael melanjutkan kalimatnya. "Bagaimana kalau sekarang aku berubah pikiran!"
Seketika ekpresi Hanna langsung berubah tegang.
"Ta-tapi." Ucap Hanna mulai terbata. Raut wajah Hanna pucat pasi. Dia tahu, biaya ganti rugi itu pasti mahal.
Kalimat yang tempo hari keluar dari mulutnya, yang mengatakan dia akan ganti rugi. Itu hanya kalimat yang spontan keluar dari mulutnya karena panik.
"Temani aku makan siang." Imbuh Rafa yang menyadari ketegangan Hanna.
"Hah... Ha ha ha! Tentu, makan siang? Baik, kapan?" Sambil tertawa canggung, ia tidak menyangka ganti rugi yang dimaksud Raffael hanya makan siang.
"Setiap hari!" Lanjut Raffael.
"What? You kidding me?" Hanna kembali dibuat terkejut.
"Of course not, I'm serious!"
Hanna terdiam untuk beberapa saat.
Ting!
Pintu lift terbuka.
"Aku sudah sudah sampai di departement ku. Terimakasih untuk bantuannya." Hanna tersenyum canggung, lalu meraih kopi yang berada ditangan Raffael lalu langsung bergegas keluar dari lift tanpa memberi kepastian pada Raffael tentang ajakan makan siangnya itu.
Setelah membagikan pesanan seniornya. Hanna terduduk termenung dibalik meja kerjanya.
"Apa aku terima saja ajakan pria itu ya! Tidak.. tidak.. tidak..! Bagaimana kalau ternyata dia bukan pria baik-baik. Bagaimana kalau ternyata dia punya maksud lain. Tapi! Mulai dari hari kecelakaan itu, dia selalu menolong ku. Tidak mungkin kalau dia orang jahat. Lagi pula, dia lumayan tampan. Dari tampangnya saja, jelas dia orang baik. Yang ada juga, dia yang rugi makan siang bersamaku."
Hanna terkekeh seorang diri. Membayangkan, kalau dia makan siang bersama Rafa dan orang-orang akan berkata. "Mereka sama sekali tidak cocok!"
Grtt... Grtt...
Dering ponselnya, mengagetkan Hanna dari lamunannya, ia mengernyitkan keningnya ketika melihat nomor tidak dikenal tertera di layar benda pipih itu.
"Hallo!" Hanna menerima panggilan itu dengan ragu-ragu.
"Bagaimana? Setuju?"
"Maksudnya?" Tanya Hanna bingung. "Maaf ini siapa ya?" Lanjut Hanna.
"Raffael!"
Hanna terbelalak. "Dari mana kau dapat nomorku?"
"Kau sendiri yang memberikannya, dihari kecelakaan itu." Diiringi kekehan pelannya.
Hanna menepuk jidatnya.
"Aku masih menunggu jawabanmu!" Lanjut Raffael.
"Oke, aku setuju." Jawab Hanna, tanpa berfikir lagi.
"Good!"
"Tapi!"
"Iya..."
"Selamanya itu berapa lama ya?" Hanna meminta kepastian yang benar-benar pasti.
"I don't know, kita lihat saja nanti. Sampai kapan kita akan bertahan." Ocehan itu sedikit membingungkan Hanna.
Hanna tertawa geli, kalimat itu seperti seakan-akan mereka sedang menjalin hubungan saja.
"Save nomorku ya. Nanti akan aku hubungi kalau sudah waktunya makan siang."
"Oke!"
Rafa mengakhiri panggilan itu.
Hanna menatap ponselnya bingung, baru kali ini dia bertemu dengan orang yang aneh seperti Rafa.
"Bagaimana Rey? Semuanya sudah beres?" Tanya Mama Lalita, mamanya Rey.
Rey yang baru saja pulang, menghampiri Mama Lalita yang sedang duduk diruang tamu.
"Hampir Ma, sudah 80%." Jawab Rey sambil ikut duduk bersama Mamanya di ruang tamu.
"Kau yakin, kau tidak akan menyesal?" Tanya Mama Lalita, seakan masih meragukan keputusan anaknya itu.
"Rey yakin Ma, terimakasih karena Mama sudah membujuk Papa. Terimakasih juga karena Mama akhirnya mau terima Myesa." Lanjut Rey, wajahnya tampak tak semangat sedikit pun.
"Tidak Rey! Mama belum merestui hubungan kalian. Ingat, pernikahan ini terjadi karena kau begitu ingin menikahi gadis itu. Sampai buat perangai segala macam. Bukan karena Mama dan Papa terima dia, Belum!" Mama Lalita menekankan.
Mama Lalita bangkit dari duduknya, Meninggalkan Rey seorang diri disana.
Rey menarik napas dalam. Hubungannya dengan orang tuanya terasa renggang karena hanya ingin mengikuti keinginan Myesa.
"Ini semua demi kau, Myesa!" Gumam Rey. Setelahnya ia bangkit dari duduknya, lalu memilih untuk masuk kedalam kamar. Pernikahan yang akan dilakukannya bukan membuat dia bahagia, melainkan gundah dan tertekan.
"Rey sudah pulang?" Tanya Papa Surya pada istrinya yang baru saja masuk kedalam kamar dengan ekspresi sedihnya.
"Sudah." Jawab Mama Lalita seadanya.
"Ehemm...." Papa Surya berdehem lalu kembali melanjutkan aktivitasnya membaca koran.
"Sampai kapan kau akan seperti ini? Dia anak kita satu-satunya, Pa." Mama Lalita mengecewakan sikap suaminya yang memilih untuk mendiami Rey. Walaupun Papa Surya membiarkan Rey menikah dengan gadis itu, tapi dia memutuskan untuk memberikan sedikit jera kepada Rey.
"Aku hanya ingin membuat dia sadar, kalau pilihannya itu salah." Pungkas Papa Surya, membenarkan apa yang sedang ia lakukan terhadap putranya.
"Percuma, Pa!" Mama Lalita menunduk, menahan tangisnya. "Disaat dia sadar, semuanya sudah terlambat." Lanjutnya dengan lirih.
Papa Surya hanya terdiam mendengar kalimat itu. Tapi mereka tak punya kuasa untuk terlalu menentang keinginan anak mereka satu-satunya itu.
TO BE CONTINUED>>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Mulyanthie Agustin Rachmawatie
koq ada ya gadis pemaksa bgtu ? 🤔🤔🤔
2023-12-27
1
Deasy Dahlan
Lnjutt
2023-12-22
1
𝕿нє тα𝖇
kenapa ya ,sebagian alur mudah ketebak?
2023-12-21
1