Zevan terus menunduk seraya termenung, selagi melangkahkan kakinya menuju gedung apartemen, yang hanya berjarak sekitar dua kilometer dari gedung sekolah.
[Tuan, apa yang membuatmu gelisah?]
"Tidak ada. Aku hanya sedikit lapar saja," batin Zevan. Pandangannya seketika tertuju pada seorang anak kecil, yang tengah berjalan bersama kedua orangtuanya, sambil menggenggam erat masing-masing kedua tangan mereka.
"Mamaaa! Aku ingin beli mainan baru!" pinta sang anak kepada sang bunda, seraya berjalan membelakangi Zevan.
"Baik baiiikk. Tapi berjanjilah pada mama dan papa, untuk selalu giat belajar," ucap sang bunda, yang tengah membungkuk sambil menatap penuh senyuman pada buah hatinya tersebut.
Sang ayah seketika meraih ketiak sang anak, lalu menggendongnya dengan penuh kasih sayang, yang membuat Zevan sempat menghentikan langkahnya, setelah menyaksikan hal itu.
[Tuan! Ada apa?!]
Tanpa suatu alasan yang jelas, Zevan sontak menitikkan air matanya. Ia terus menatap pada sosok keluarga bahagia, yang semakin menjauh dari pandangannya itu.
[Sistem! Penenang pik—]
"Aku tidak apa-apa, sistem." Zevan memotong perkataan sistem, sambil mengusap kedua matanya. Ia lalu menunjukkan sebuah senyuman, yang benar-benar terpancar jelas diwajahnya.
"Aku hanya merasa bangga saja, dengan anak kecil itu," batin Zevan, dan mulai melangkahkan kakinya dengan perlahan, melewati sederetan pertokoan yang berjejeran sepanjang jalan.
[Tuan, aku benar-benar mengerti perasaan anda. Jangan khawatir! Setelah adanya kehadiranku, Tuan tidak akan pernah merasakan kesepian lagi]
Mendengar ucapan sistemnya, membuat Zevan seketika teringat akan orangtua kandungnya. "Sistem, apa artinya orangtua menurutmu?" tanya Zevan dalam hatinya, seiring dengan rasa lapar yang semakin menjalar diperutnya.
[Orangtua menurutku adalah dua insan yang saling bersatu padu, dalam merawat dan membesarkan buah hati mereka]
"Begitu kah?" batin Zevan dengan menunduk, dan mempercepat langkah kakinya menuju gerbang apartemen, yang mulai nampak dekat dari pandangannya.
[Tuan, orangtua anda masih hidup]
Zevan sontak terkejut. Langkah kakinya pun terhenti, setelah mendengar perkataan sistemnya. "Apa kau sengaja mengatakan hal itu, agar membuatku terhibur?" tanya Zevan dalam hatinya, seraya berdiri dan mematung tepat di depan pintu masuk lobby apartemen.
[Tidak Tuan! Aku mengatakan yang sebenarnya!]
Anak itu sontak mengepalkan kedua tangannya dengan erat, seakan tak percaya dengan pengakuan sistemnya. Ia lalu kembali melangkahkan kakinya, memasuki pintu lobby apartemen. "Jangan berkata yang tidak-tidak. Yang ku yakini saat ini, orangtuaku telah tiada," tampik Zevan, yang berusaha untuk tidak terpengaruh, oleh ucapan sistemnya.
[Tuan, berdasarkan data-data yang kuperoleh dari anda, dan setelah sebelumnya menerawang riwayat hidup anda sejak lahir, aku memastikan bila kedua orangtua Tuan masih hidup]
"Lalu kenapa mereka tega membuangku di panti asuhan?!! Apakah mereka tidak senang dengan kelahiranku?!!" ucap Zevan dengan nada keras dan lantang, hingga mampu menarik perhatian seluruh pengunjung apartemen.
Rara yang tengah berdiri dibalik meja resepsionis pun turut terkejut, dengan tindakan Zevan. Ia lalu mendapati anak itu sontak berlari menuju pintu lift, seraya menampakkan raut wajah penuh kesedihan.
"Zeevaaan!" himbau Rara dengan bersorak ke arah anak tersebut. "Na, aku tinggal dulu yah!" ucap Rara pada rekan kerja yang berdiri disampingnya.
Rara berusaha menyusul kepergian Zevan, yang telah memasuki pintu lift. "Zevan, tunggu!" Ia lalu berlari menuju lift, dan sontak menekan sebuah tombol, yang membuat pintu lift tersebut kembali membuka.
Rara mendapati Zevan terduduk seraya menunduk, dan memeluk erat kedua lututnya disudut lift. Matanya menatap sayu, seiring dengan raut kesedihan, yang nampak jelas diwajahnya.
"Zevan, apa yang terjadi denganmu?" tanya Rara sambil bertekuk lutut dihadapan Zevan. Ia betul-betul merasakan kesedihan, yang tengah dialami anak tersebut.
Namun, yang didapatinya hanyalah keheningan. Zevan enggan membuka mulutnya dan tetap mematung, seakan menolak untuk mengungkapkan apa sedang dirasakannya kini.
Setelah pintu lift terbuka, Zevan sontak bangkit dan bergegas keluar dari pintu lift, hingga membuat Rara semakin heran dengan sikap anak tersebut.
Rara pun turut keluar dari lift, lalu membuntuti Zevan, yang tengah berjalan menuju kamarnya. "Dengarkan aku!" ucapnya sambil berusaha meraih pundak Zevan.
Zevan akhirnya berhenti tepat di depan pintu kamarnya. "Kak, siapa namamu?" tanya Zevan, seraya sedikit menelengkan wajahnya ke arah Rara.
"Rara. Jangan panggil aku selain nama itu," jawab Rara, yang tengah menggenggam erat sebelah pundak Zevan dari belakang.
Zevan segera membuka pintunya. Ia berusaha melepaskan pundaknya dari genggaman Rara, dan masuk kedalam kamar dengan terburu-buru, lalu menutup kembali pintu kamar rapat-rapat.
"Sistem, bukankah kau pernah bilang telah menghapus ingatannya? Kenapa dia terus menerus mengejarku?" batin Zevan, seraya terduduk menunduk, dan bersandar pada pintu kamarnya.
"Zeevan! Buka pintunya! Aku belum selesai bicara!" tegas Rara dari depan pintu kamar Zevan, sambil mengetuk-ngetukan pintunya.
[Tuan, jika aku boleh berkata, konfigurasi sistemku tak mempan pada Rara]
Zevan tetap termenung, dan mencoba untuk tak menghiraukan seruan Rara. "Jadi maksudmu, Rara masih mengingat jelas kejadian malam itu?" tanya Zevan dalam hatinya.
[Betul, Tuan. Sepertinya Rara benar-benar mencintai Tuan, hingga membuatku sulit untuk menghilangkan ingatan dan perasaan, yang dimilikinya untuk Tuan]
"Zeevaaan! Jangan bersikap seperti anak kecil! Kau sudah dewasa!" omel Rara, yang mulai merasa gusar dengan sikap Zevan.
"Coba lakukan lagi! Atau, buat Rara tenang untuk sementara!" perintah Zevan dalam hatinya.
[Baik, Tuan!]
[Sistem, menenangkan pikiran target: Rara Safitri, diaktifkan!]
Namun, keanehan pun terjadi. Rara seperti tidak merasakan adanya sesuatu, yang mulai merasuki tubuh dan pikirannya.
"Zeevaaan ... jangan membuatku khawatir seperti ini ...." Rara akhirnya merengek, karena tak sanggup lagi menahan sikap kekanak-kanakan Zevan.
[Tuan, aku punya kesimpulan. Bagaimana jika Tuan menikah dengan Rara? Gadis itu benar-benar sangat tulus mencintai Tuan]
"Jangan mengada-ada!" Zevan seketika bangkit dan membuka pintu kamarnya. "Aku masih sekolah!" pikirnya seraya menatap tajam ke arah wajah Rara.
"Rara, kalau kamu mau menikah denganku, tunggu dua tahun lagi. Aku masih fokus sekolah," ucap Zevan dengan penuh kepolosan dan kepercayaan diri.
"Ha?" Rara sontak bersedekap tangan sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. "Yang mau menikah denganmu siapa?" tampiknya, dengan kedua pipi yang mulai memerah.
[Tuan, aku mendeteksi kebohongan!]
[•••••Data Teman•••••]
[Nama: Rara Safitri]
[Umur: 20 Tahun]
[Pekerjaan: Resepsionis]
[Kesehatan: 82%]
[Keuangan: Baik]
[Tinggi badan: 178 cm]
[Berat badan: 55 kg]
[Kemampuan: komunikasi yang baik]
[Tingkat IQ: 101]
[Tingkat Sekolah: SMK]
[Nama Instansi Sekolah: SMK Bumi Pertiwi (Alumni)]
[Informasi: Diketahui hidup sebatang kara. Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan tragis, 10 tahun silam. Memiliki perasaan pada Zevan Ardiansyah]
[Tuan, bagaimana pendapatmu?]
Belum sempat Zevan menjawab pertanyaan sistemnya, seorang pria paruh baya dengan setelan jas mewahnya, datang menghampiri mereka.
"Rara, kenapa kau ada disini? Kembalilah bekerja!" tegur pria tersebut.
Rara pun terkejut setelah melihat kehadirannya. "Maaf, Tuan!" ucapnya seraya membungkukkan badan, lalu bergegas pergi menuju pintu lift.
Pria tersebut kemudian menoleh ke wajah Zevan. "Kamu, anak angkat Rudi bukan?" tanya pria itu, sambil berdiri dan melipat tangannya dibelakang punggung.
Zevan mengernyitkan dahinya, seakan mencoba mengingat siapa orang yang tengah berbicara dengannya itu. "Sistem, aku seperti mengenalnya. Apa kau bisa membantuku?" pinta Zevan dalam hatinya.
[Baik, Tuan!]
[Sistem! Memindai data!]
[Nama: Herman Leonardo]
[Umur: 48 tahun]
[Pekerjaan: Direktur]
[Kesehatan: 78%]
[Keuangan: sangat baik]
[Kemam—]
"Cukup, sistem!" Zevan menghentikan pemindaian sistemnya. "Aku sudah tahu siapa orang ini, rupanya kakak kandung dari ayah angkatku," batinnya, yang masih berdiri didepan pintu kamar.
"Paman Herman, apa kabarmu?" tanya Zevan sambil menundukkan wajahnya dihadapan Herman Leonardo, paman angkatnya.
Herman pun sontak tertawa terbahak-bahak, setelah melihat apa yang dilakukan Zevan terhadapnya. "Ku kira kau sudah mati, Zevan. Rupanya masih hidup, dan berani menginjakkan kakimu di apartemenku ini," hinanya, dengan senyuman yang sangat mengintimidasi.
Mendengar hal itu, membuat hati Zevan merasa sangat tersinggung. "Maaf paman Herman, aku tidak tahu bila apartemen ini adalah milikmu," ucap Zevan, seraya membungkukkan badannya.
Herman naik pitam dengan perkataan Zevan. Ia lalu sontak meraih kerah seragam anak itu, dan menghempaskannya sekuat tenaga ke arah depan, yang membuat tubuh Zevan terdorong.
[Tuan!]
(Bruk!)
Zevan jatuh tersungkur, karena tak sigap menahan keseimbangan tubuhnya. Namun ia dengan segera bangkit, lalu berdiri membelakangi Herman, seraya mengibas-ngibaskan seragam sekolahnya.
Herman seketika berjalan menghampiri Zevan. "Ingatlah wahai anak miskin. Aku akan melaporkanmu pada Rudi, karena sudah menyewa apartemen ini dengan uang yang telah kau curi darinya," ucapnya seraya berdiri membelakangi Zevan. Herman lalu berjalan menuju pintu lift. "Camkan itu, dasar anak benalu!" caci Herman, dengan penuh keangkuhan.
[Tuan, orang itu benar-benar sudah tidak layak lagi untuk hidup!]
Zevan yang masih berdiri dari tempatnya tersungkur, berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Ia lalu berjalan menuju pintu kamarnya, tanpa menyadari bila pupil matanya seketika berubah menjadi merah.
"Sistem, buatlah kematian orang itu, sesuai keinginanmu," batinnya, seraya menampakkan raut wajah menyeringai, imbas dari rasa kekesalannya terhadap perbuatan Herman, yang telah merendahkan harga dirinya.
[Baik, Tuan!]
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah mendapati pintu lift terbuka, Herman dengan segala berjalan memasuki lift. Ia lalu menekan sebuah tombol, yang membuat pintu lift tersebut kembali menutup.
Selagi menunggu didalam lift, Herman mengeluarkan ponselnya, dan mencoba untuk menghubungi seseorang.
"Bagaimana dengan investasinya?!" tanya Herman dengan sedikit menebalkan urat diwajahnya. "Ha?! Bagaimana kau ini! Dasar tak becus! Urus saja mereka semua! Kalau perlu, bunuh semua penghalang itu!" ucapnya, dengan perkataan kasar yang mencirikan sifat buruk dan temperamentalnya.
Tanpa disadari Herman, lift telah berhenti dengan sendirinya, sebelum sampai pada lantai lobby apartemen.
[Sistem! Peredam suara ruangan: diaktifkan!]
[Sistem! Meningkatkan ketahanan dinding ruangan: diaktifkan!]
[Sistem! Meningkatkan suhu ruangan: 1000000000° Celcius, diaktifkan!]
Kobaran api sontak muncul dan membakar habis setiap sudut ruangan dalam lift tersebut. Herman pun turut terbakar dan lebur menjadi abu, seketika.
...****TBC****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Deni Syahputra
seru,syukurlah matek...
2023-12-30
1
Hades Riyadi
Lanjuuutt 😛💪👍👍🙏
2023-05-12
0
Hades Riyadi
Kok sistemnya bisa disuruh apapun oleh host yaaa..... sistem yang aneh bin ajib...🤔🙄😩😛😀💪👍👍👍
2023-05-12
1