Zevan telah menghabiskan dua jam waktunya berjalan kaki, menuju pinggiran kota. Sempat terlintas dibenaknya untuk singgah dan menetap sementara di panti asuhan, namun hal itu sangatlah tidak mungkin baginya, karena telah menginjak usia remaja.
Pemerintah kota telah menetapkan sebuah peraturan yang sangat mustahil bagi Zevan, untuk kembali tinggal dan hidup di panti asuhan. Hal itu semakin membuat rasa keputusasaanya, kian memuncak.
Kakinya terus melangkah dan melangkah, hingga tiba disebuah jembatan, yang membawahi sebuah sungai besar. "Sepertinya, aku memang tidak layak lagi untuk hidup, setelah tak ada satupun orang yang ku anggap, sebagai keluargaku sendiri," pikirnya, seraya menatap kosong, kearah aliran sungai yang jernih dan deras itu.
Pikirannya sudah buntu, seiring dengan semangat hidup yang terus terkikis habis. Zevan seketika teringat pada masa-masa kecilnya, sewaktu masih berada di rumah keluarga besar konglomerat tersebut. "Papa Rudi, dulu kau sangat sering tersenyum kepadaku. Namun, mengapa seiring dengan pertumbuhanku, senyuman itu semakin memudar, dan tak pernah lagi kau tunjukkan," batin Zevan, sambil menggenggam erat besi pembatas jembatan.
"Mama Celine, aku sudah tahu bila kau sangat-sangat membenci diriku sejak dulu. Tapi, hingga detik ini pun aku tetap menganggapmu sebagai ibuku sendiri," pikir Zevan, yang mulai menapakkan kakinya, pada sebuah pembatas jembatan yang berada tepat didepan lututnya.
"Kak Alexa, dan Joshua. Kalian selalu mendapatkan perhatian yang lebih dari papa Rudi dan mama Celine. Aku tak pernah sedetikpun merasa iri dengan hal itu," pikir Zevan, yang telah menginjakkan dua kakinya, tepat diatas besi pembatas jembatan.
Pandangannya menatap kosong, dengan semangat hidup yang telah terkikis habis. Zevan mulai mengangkat sebelah kakinya, dan menapak pada sebuah besi pembatas jembatan yang berada satu tingkat diatas sebelah kakinya yang lain.
Zevan benar-benar ingin mengakhiri nyawanya. Namun, belum sempat niat itu tertuntaskan, seseorang tiba-tiba menggenggam sebelah pundak Zevan, yang membuat anak itu menunda aksi nekatnya.
"Cuuu," ucap seorang nenek yang terlihat lesu, dengan badan yang membungkuk. Seluruh kulit ditubuh dan wajahnya pun mengeriput, dengan rambut yang memutih pudar.
Pakaiannya terlihat sederhana, seperti penduduk desa pada umunya. Zevan seketika menoleh kebelakang dan tertegun saat mendapati seorang nenek-nenek, yang seakan ingin meminta pertolongan padanya.
"Ada apa nek? Apa ada yang bisa ku bantu?" tanya Zevan, seraya menurunkan kembali sebelah kakinya. Ia akhirnya menurunkan kedua kakinya, hingga kembali menapak diatas trotoar jembatan.
"Tolong nenek. Nenek sudah tua, dan tak sanggup lagi berjalan," jawab sang nenek.
Melihat kondisi lemah tak berdaya yang terlihat jelas dari nenek tersebut, membuat Zevan merasa iba. Anak itu dengan segera menggenggam erat kedua tangan sang nenek.
"Nenek mau kemana? Mari ku antarkan," ucap Zevan, dengan penuh tenggang rasa. Kecemasan akan hidupnya, justru beralih pada kondisi nenek itu.
"Nenek ingin pulang, cu. Rumah nenek ada diujung sana," kata sang nenek, seraya menunjuk pada ujung jalan yang terhubung dengan hutan desa.
Tanpa basa-basi, jiwa sosialnya yang meninggi, membuat Zevan sontak berdiri membelakangi sang nenek, lalu membungkukkan badan seakan siap menggendong tubuh nenek tua renta itu. "Ayo nek! Aku antar sampai rumahmu," ucap Zevan.
Melihat kebaikan yang ditunjukkan anak itu padanya, membuat sang nenek jadi tersenyum. Pupil matanya yang hitam pekat, sempat bersinar merah, lalu kembali menghitam lagi.
Setelah merangkul pundak Zevan dari belakang, sang nenek mengangkat sebelah kakinya, dan bertopang pada sebelah lengan anak itu. Zevan pun dengan sigap mengangkat sebelah kaki sang nenek, lalu menggendongnya dari belakang.
"Jangan khawatir nek! Aku akan mengantarmu pulang, agar kau bisa segera beristirahat," ucap Zevan seraya melangkahkan kakinya, menuju arah rumah yang ditunjukkan oleh sang nenek.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Zevan benar-benar melupakan masalah yang tengah dialaminya, demi memikirkan kesulitan yang dialami sang nenek. Ia sedari tadi terdiam membisu, sambil memfokuskan dirinya dalam menggendong nenek itu pulang menuju rumah.
Setelah hampir tiba diujung jalan, sang nenek seketika menjulurkan tangannya dan menunjuk ka arah setapak jalan, yang berada dipertigaan jalan besar tersebut. "Cu, rumah nenek ada didalam hutan. Sebentar lagi juga sampai," ucap sang nenek.
"Baiklah, nek." Zevan semakin mempercepat langkah kakinya, karena beban tubuh nenek tersebut, tak terlalu menyulitkan dirinya.
Jalan setapak itu sedikit menanjak, namun tetap tak menyurutkan semangat Zevan. "Nek, apa ada anggota keluargamu yang tinggal disana?" tanya Zevan.
"Tidak ada cu. Nenek hanya tinggal seorang diri," jawab sang nenek, yang membuat Zevan sempat tercengang. "Tapi kau tak usah khawatirkan nenek. Setelah mengantarku pulang, aku akan memberikan imbalan yang sangat besar untukmu," ucap sang nenek.
Mendengar perkataan nenek tersebut, membuat jiwa tanpa pamrih Zevan memberontak. "Tidak Nek! Aku tidak akan meminta apa-apa! Aku sungguh-sungguh berniat menolongmu dengan ikhlas!" tampik Zevan, dengan ratusan butiran keringat yang mulai mengucur deras diwajahnya.
Sang nenek kembali tersenyum, setelah mendapati niat baik yang ditunjukkan oleh anak itu. Kini, pupil matanya terus memerah cerah, meski Zevan belum menyadari hal aneh dari nenek tersebut.
Pandangan Zevan seketika tertuju pada sebuah gubuk, yang terletak diujung setapak jalan yang tengah dilaluinya. "Nek, apa itu rumahmu?" tanya Zevan.
"Betul cu," jawab sang nenek, yang belum jua merubah warna pupil matanya menjadi hitam. "Turunkan nenek didepan pintu saja," pinta sang nenek.
"Baik, nek." Zevan mempercepat langkahnya hingga tiba tepat didepan pintu gubuk, yang terbuat dari anyaman bambu. Ia lalu menurunkan sang nenek, secara perlahan dan tenang.
Namun, hal aneh pun terjadi. Zevan mendapati pandangannya seketika memudar, dengan tingkat kesadaran yang mulai menurun. Tangannya sontak meraih sesuatu, yang dapat membuatnya berpegang, meski pikirannya terasa melayang-layang.
Zevan sempat melihat sang nenek, yang tiba-tiba berdiri dihadapannya. Namun, pandangan matanya samar-samar.
"Nek?! Apa yang sedang terjadi?! Mengapa aku tiba-tiba menjadi seperti ini?!" ucap Zevan, dengan mata yang mengerling dan membelalak lebar. Ia sontak beringsut mundur, karena tak sanggup menahan rasa pening yang semakin menjalar di otaknya.
Tubuhnya pun tersungkur kebelakang. Zevan seketika mengerang kesakitan. Detak jantungnya semakin berdegup kencang tak karuan.
Sang nenek tiba-tiba melayang, dan terbang tepat diatas Zevan. "Wahai anak muda. Kau, adalah yang terpilih! Aku sangat memahami siapa dirimu. Terimalah, anugerah dariku!" ucap sang nenek sambil merentangkan kedua tangannya.
"Aaaaaaaaaaa!!!" Rasa sakit ditubuh Zevan kian menjadi-jadi. Urat diwajahnya semakin menebal, pupil matanya pun menjadi merah pekat.
Cahaya putih yang bersinar terang, seketika datang lalu menyinari setiap sudut ruangan dalam gubuk tersebut. Zevan mendapati pandangannya memutih dan semakin memutih, hingga membuatnya sontak, kehilangan kesadaran secara total.
Setelah berhasil mentransfer seluruh energinya, sang nenek lalu menghilang, meninggalkan Zevan yang tengah tak sadarkan diri dalam gubuk tersebut.
...****TBC****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Hades Riyadi
Lanjutkan Thor 😀💪👍👍👍
2023-05-12
1
Hades Riyadi
Like and Favorit 😀💪👍👍👍
2023-05-12
0
nur kholifah
josss mantafffffff.........
2023-03-18
0