...We...
...|Tiga|...
...Selamat membaca...
...[•]...
Atan sampai di rumah yang berada di kawasan perumahan cluster menengah bawah tempatnya tinggal, sekitar pukul sepuluh malam. Pikirnya penuh dengan masalah yang ia hadapi hari ini.
Atan memasukkan kunci kedalam lubang kunci, menarik turun handle pintu, dan masuk rumah dengan langkah pelan. Ruang tamu yang sudah gelap, menandakan ibu dan adiknya mungkin sudah berada di alam mimpi. Atan meraih dasi yang sejak tadi sudah longgar, ia tarik kasar hingga terlepas dari leher. Sepatu, Atan lepas ia letakkan di atas rak yang ada di sudut ruang tamu beserta kaus kaki, kemudian Ia berjalan masuk ke kamar, melempar tas kerja dan jas yang seharian ini ia pakai, ke atas tempat tidur. Tujuan utamanya saat ini adalah mandi.
Otak dan tubuhnya sudah gerah memikirkan bagaimana masalah yang biasa ringan bisa menjadi hal yang begitu runyam. Padahal sebelumnya dia juga menggunakan metode ini, dan baik-baik saja. Atan tidak pernah gagal dalam setiap rencananya. Ini pertama kali, dan apesnya, dia harus berhadapan dengan dua orang yang memiliki lingkup hidup yang di sorot oleh jutaan pasang mata yang memenuhi hampir sebagian isi bumi pertiwi.
Setelah mengunci pintu kamar, Atan melepas kemeja hitam dan melemparnya kedalam keranjang baju kotor, disusul celana panjang, underwear, dan kaos dalam hingga sekarang tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Atan memang tidak memiliki perut kotak-kotak seperti kebanyakan pria yang wanita mau. Perutnya rata namun padat dan kencang, kedua lengannya juga tidak menyembul membentuk gundukan yang jika ditekuk, muncul seperti bukit di lagu ninja Hatori. Intinya, tubuh Atan itu tidak atletis. Akan tetapi tinggi, berisi dan ... gagah.
“Hah ... ” de-sah Atan ketika pancuran air shower yang hangat menyentuh permukaan kulitnya yang berwarna Tan. Wajahnya mendongak, membiarkan butiran-butiran bening itu menyapa wajahnya yang tampan dan manis dalam waktu bersamaan.
Mengingat masalahnya, Atan jadi ingat juga dengan tagihan yang harus ia bayar akhir bulan ini. Listrik, air, gas, pajak tahunan mobil Fortuner nya. Belum lagi uang belanja bulanan untuk ibu, dan biaya kuliah adik perempuannya yang sedang menjalani skripsi.
Atan menyugar rambutnya yang sudah sepenuhnya basah, pikirannya berkecamuk. Dirinya bukan berasal dari kaum berada dan memiliki banyak warisan. Hidup ibu dan adiknya menjadi tanggung jawabnya, dan semua beban itu berpindah ke pundaknya setelah sang ayah pergi untuk selamanya dari dunia karena sebuah insiden di tempat kerja sang ayah.
Enam tahun yang lalu, tepat setelah dirinya lulus kuliah dan melamar pekerjaan, Atan membawa ibu dan adiknya untuk hidup di kota, karena dirinya diterima bekerja di perusahaan yang memproduksi produk kecantikan. Lalu, sekitar tiga tahun lalu, dia mendapat promosi dan mendapatkan jabatan cukup tinggi karena kinerjanya yang begitu mumpuni.
Tidak mudah, butuh perjuangan, tapi Atan selalu menikmati prosesnya dengan ikhlas dan bersyukur hingga dia sampai berada dititik dimana dia mulai bisa memperbaiki perekonomian keluarganya yang sempat jatuh dalam pekatnya jerat hutang.
Ia memutar uang gaji hasilnya bekerja untuk membayar cicilan bank saat memutuskan membeli hunian di kota. Sisanya, ia berikan kepada sang ibu untuk mengisi perut dengan makan seadanya, karena dirinya juga harus membayar biaya kuliah sang adik.
Pahit, sulit, tapi semua sudah menemukan jalan keluar karena dia tidak pernah putus berdo'a dan berusaha. Tapi semua itu juga tidak lepas dari restu dan keikhlasan do'a dari sang ibu.
Atan menghela nafas. Dia mematikan shower, meraih shampo, dan juga sabun mandi, kemudian membilasnya.
Beres dengan urusan kamar mandi, Atan bersiap untuk mengistirahatkan jiwa dan raganya. Akan tetapi suara pintu diketuk dan panggilan sang ibu dari luar, menginterupsinya untuk bangkit dan bergegas membuka pintu.
Pintu kayu berderit terbuka, lantas senyuman di wajah berkerut sang ibu, membuat hatinya menghangat dan pilu secara bersamaan.
“Kamu sudah makan, nak?” tanya Lastri, ibunya.
“Sudah, Bu. Ibu, Sudah?”
Lastri menggelengkan kepala. “Ibu nunggu kamu dulu.”
Astaga, Atan sampai lupa jika ibunya, tidak akan pernah makan sebelum melihat anak-anaknya makan terlebih dahulu.
Atan mendekat, dia meraih tubuh kecil sang ibu yang semakin rapuh karena usia, lalu menyarangkan dagunya di bahu ringkih Lastri.
“Maaf, Atan pulangnya malem karena Atan ada kerjaan yang harus Atan selesaikan dulu.” katanya, kemudian menjauhkan diri dan menatap penuh kasih sayang kepada ibunya yang terlihat lesu, mungkin mengantuk dan kelelahan menunggunya pulang sampai selesai bebersih diri tadi. “Atan sudah makan kok.” bohongnya, karena setelah bertemu dengan si pembuat masalah tadi, nafsu makan Atan menghilang begitu saja. “Yuk, Atan temani ibu makan.” ajaknya, menggiring langkah Lastri menuju meja makan minimalis di sisi dapur.
“Ibu mau Atan bikinin teh anget?” tawarnya. Atan sangat tau jika ibunya itu suka sekali minum teh hangat dengan gula satu sendok dalam gelas berukuran sedang.
“Ibu bisa bikin sendiri. Kamu duduk aja. Kamu pasti capek.”
Tak dapat dipungkiri jika yang dikatakan ibunya itu benar seratus persen. Capeknya Atan itu dobel-dobel. Fisik, iya. Psikis, apalagi. Pekerjaannya dituntut sempurna. Jika Atan tidak bisa mengimbangi hal itu, tentu perusahaan akan mempertimbangkan dan pasti akan meninjau kembali jabatan dan kinerjanya sebagai seorang kepala tim.
“Ndak, Bu. Atan nggak capek. Sudah, ibu duduk saja dan ambil makan. Biar Atan yang bikin teh angetnya.” kekeuhnya tak mau dibantah. Dia memaksa ibunya untuk duduk dimeja makan dengan tudung saji yang masih tertutup. Bahkan, Atan yang membukakan itu agar ibunya tidak kelelahan. “Nah, ibu makan. Atan habis ini duduk temani ibu.”
Sebenarnya, sejak tadi siang Atan sama sekali belum mengisi perutnya. Nafsu makannya mulai menghilang saat Nolan berkata tidak mau tau tentang problem yang sedang terjadi padanya. Setelah itu, dilanjutkan dengan pertemuannya dengan Tyra yang bisa dikatakan ... tidak berjalan mufakat, membuat perut Atan semakin mual dan malas melihat makanan. Hot Capucinno yang dipesan dan dia bayar dengan harga satu kantung beras seberat sepuluh kiloan saja, dia abaikan di restoran berbintang tadi.
Sosok Tyra benar-benar menyebalkan Dimata Atan.
Setelah menyeduh teh celup dengan air panas, Atan menambahkan satu sendok teh gula pasir, mengaduk, lalu membawanya ke tempat ibunya yang kini sedang menyiapkan nasi kedalam mulutnya. Hatinya terenyuh. Bagaimana dia akan membicarakan hal ini jika ibunya saja, menahan lapar saat tidak melihatnya pulang. Apalagi saat mendapat masalah besar seperti ini? Atan yakin, ibunya itu akan mengabaikan rasa laparnya, dan berakhir drop jika terlalu banyak pikiran.
Atan meletakkan secangkir sedang teh hangat didepan sang ibu. Dia memperhatikan lekat bagaimana wajah tua Lastri yang terlihat begitu tulus dan selalu penuh kasih sayang.
“Linda minta uang buat tambahan riset bahan skripsinya.” kata Atan mulai berbicara.
“Kamu ada? Kalau tidak ada, pakai gelang ibu saja dulu.”
Atan menggeleng. Semua perhiasan yang dimiliki ibunya, adalah peninggalan dari sang ayah. Tidak mungkin Atan membiarkan ibunya menjadikan benda peninggalan itu sebagai jaminan untuk membiayai kuliah Linda saat dirinya masih bisa berdiri gagah mencari uang.
“Nggak perlu, Bu. Atan ada kok, uang.” jawabnya setengah hati. Ia sedikit sangsi jika uang yang ada di saldo rekeningnya nanti masih tersisa setelah ia gunakan untuk membayar penalti atas nama Tyrana Agnalia.
Setelah mengatakan itu, ia kembali mengingat pertemuannya dengan Tyra yang mengalami jalan buntu, lantaran dirinya menolak permintaan aneh si artis papan atas itu.
Gampang. Jadi temanku saat aku menghadiri acara atau pesta penting dengan teman-teman ku sebanyak lima kali. Setelah itu, aku anggap impas.
Atan tau seperti apa sirkle pertemanan untuk artis sekelas Tyra ini. Pasti tidak jauh dari party free yang bisa dengan bebas menenggak minuman beralkohol dan juga bergaya layaknya bi-naal. Atan di didik baik oleh ibu dan ayahnya untuk menjauhi hal-hal seperti itu, sebab itulah dia sekarang menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab.
Nahasnya di ujung pertemuan, Atan yang hanya bermodal tebakan itu menolak permintaan Tyra dan berujung perempuan itu murka dan meninggalkannya di restoran dengan bill pembayaran minuman yang mereka pesan, dan juga tidak ada solusi yang mereka dapatkan selain penuntutan di meja hijau seperti sedia kala.
Atan menatap lagi wajah sang ibu. “Kalau misalnya Atan pindah kerja, apa ibu setuju?”
Kemungkinan terburuk yang ada dalam benaknya saat ini adalah, di pecat dari pekerjaan dengan dalih teledor dan ceroboh.
Mendengar Atan berkata seperti itu, sisi seorang ibu menangkap gelagat yang tidak biasa dari seorang anak. Lastri langsung bisa menebak jika putranya sedang ada masalah dengan pekerjaannya.
“Kamu ada masalah?” tanya sang ibu mencoba menelisik benar atau tidaknya dugaan yang muncul didalam kepalanya.
Atan tersenyum. “Masalah bagi Atan sudah biasa, bu. Jadi nggak akan ada masalah.”
“Jujur sama ibu,” tegas Lastri mencoba menjadi sahabat untuk putranya. “Kalau kamu selalu menyembunyikan masalah kamu untuk diri kamu sendiri, ibu ini kamu anggap apa?”
Atan mencoba mengumpulkan sebuah keberanian untuk mengatakan semuanya. Tapi,
“Benar tidak ada, bu. Atan cuma bicara ‘Seandainya’, bukan berarti Atan memang akan berhenti bekerja dari tempat Atan yang sekarang.” kata Atan mencoba meyakinkan sang ibu agar tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Ia tidak akan mau melibatkan kesehatan ibunya dalam hal ini. Sebisa mungkin, Atan akan berusaha mencari solusi dari masalahnya.
Dan yang terpenting, dirinya tidak dijadikan budak oleh seorang wanita bernama Tyrana Agnalia.[]
...—To Be Continue—...
Jangan lupa di apresiasi cerita ini ya, biar authornya semangat ☺️
See you next episode,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
ani sumarni
jgn salah sangka dulu tan ma tyra kamu kan blm tau siapa tyra....
2023-10-23
1
nobita
bagiku permintaan Tyra mudak kok Atan.. cuman nemani pas ada acara aja... gampang kan?? udah dehh gak usah banyak mikir.. daripada masalahnya ke meja hijau malah runyam kan?..?
2023-10-13
1
osa
menarik
2023-01-07
1