17. Surat dari Kekira

#Kekira nggak mau pisah dari Akbi

Akbi kan lucu. Gendut kayak bola

Kekira sayang kok sama Akbi#

Tulisan kecil-kecil di kertas pink itu sudah dibaca berulang-ulang.

Akbi memandangi kertas itu sambil senyum-senyum.

Terbayang sosok Kekira waktu kecil.

Ia tertawa geli melihat tulisan Kekira yang bengkok-bengkok.

Maklum saja, waktu menulisnya Kekira sambil menangis karena sedih akan pergi.

Ia memandangi gelang persahabatan di tangannya.

Hatinya menghangat mengingat sosok Kekira.

Matanya menerawang.

Ia tersenyum sendiri mengingat kejadian hari ini.

HP-nya berbunyi.

Bunda Kekira?

“Halo, Assalamu’alaikum, Bunda?”

“Wa’alaikumsalam. Akbi, maaf Bunda ganggu.”

“Ada apa, Bunda?”

“Bunda mau minta tolong.”

“Oh ya, tolong apa, Bunda?”

“Bisa temenin Kekira di rumah? Bunda harus ke Bogor karena ada saudara yang meninggal. Tapi Kekira nggak bisa ikut, besok dia ada kuliah.”

“Oh iya Bunda, boleh. Trus kalo Ayah?”

“Ayah lagi pengajian ada tetangga yang meninggal. Bunda harus berangkat sekarang. Kalo bisa, Akbi jagain Kekira sampai Ayah pulang. Gimana, Nak?”

“Baik, Bunda. Aku ke sana sekarang.”

Setelah menutup telepon, Akbi ganti baju, dan mengenakan jaket. Ketika mau mengambil kunci motor, lagi-lagi matanya melirik surat yang tergeletak di meja.

Ia geleng-geleng kepala, geli.

“Emang deh si manja bisa banget bikin gue jadi kangen.”

Di ruang tengah ia berpapasan dengan Tante Vina yang sibuk dengan berkas-berkasnya.

“Tante, aku keluar dulu.”

“Mau ke mana?”

“Urusan anak muda.”

Tante Vina mendelik jahil. “Trixie?”

Akbi mendengus malas. “Bukan, Tante.”

“Trus siapa dong? Kalo ada pacar, bawa lah ke sini. Kenalin sama Tante dan Nenek.”

“Keponya nanti aja. Aku lagi buru-buru. Bilang sama Nenek ya, soalnya tadi aku liat Nenek lagi tidur. Aku pergi dulu, Tante..” Akbi bergegas ke garasi.

Tante Vina senyum-senyum. “Dasar bocah.”

***

Sudah pukul delapan malam ketika Kekira terbangun.

Perutnya lapar.

Tumben Bunda nggak bangunin dia untuk makan malam.

Biasanya Bunda paling cerewet urusan makan.

Di luar gerimis menambah cuaca dingin.

“Bunda…” panggilnya sambil turun tangga.

Sepi sepi aja.

Ia heran dan menuju dapur.

Tenggorokannya terasa dicekik melihat sosok di sana.

Sosok itu pun sama kagetnya, hingga mereka berteriak berbarengan.

“Aaaakkkhhh…!!”

Ia langsung lari lagi ke kamarnya.

***

Saking kagetnya, cangkir kopi terjatuh.

Akbi kaget melihat sosok berambut panjang muncul yang langsung histeris lari ke lantai atas.

Ia mengusap-usap tangannya yang terkena kopi panas.

Tak lama kemudian, muncul Kekira sudah mengenakan kaos panjang dan jilbab.

“AKBI! Kamu ngapain di sini?!”

“Kamu juga ngapain malem-malem nongol rambut dirumbai gitu, kayak kunti aja?”

“Aku mana tau kamu di sini! Kalo di rumah ya aku nggak pake jilbab lah.”

“Jadi siapa yang salah?”

“Ya kamu! Dateng kok nggak bilang-bilang?!”

Kekira gelisah karena Akbi sempat melihatnya tidak mengenakan kerudung.

“Iya maaf.. kamu kan tidur pules banget.”

Akbi menyadari kegelisahan Kekira.

“Sorry tadi nggak sengaja liat rambut kamu.”

Kekira merengut dan duduk di kursi dapur.

“Bunda ke mana?”

“Oh Bunda tadi katanya mau ngelayat, sodara jauh di Bogor meninggal.”

“Lho? Kok aku nggak diajak pergi?”

“Tadi Bunda bilang, kamu udah tidur. Trus Bunda juga mau nginep. Makanya nelepon aku supaya nemenin kamu sampe Ayah pulang dari pengajian.”

Kekira cemberut dan melihatnya mengusap-usap tangan.

“Kamu kenapa?”

“Oh ini, cuma kena kopi panas.”

“Kopi panas?! Ya ampun, kenapa nggak bilang dari tadi sih?” Kekira menarik Akbi dan mencuci lukanya di wastafel.

“Tunggu di sini, aku ambilin obat.”

Akbi duduk di kursi dapur memperhatikan Kekira yang kalang-kabut gara-gara dia luka.

“Lain kali hati-hati dong! Luka kayak gini jangan didiemin nanti bisa infeksi.”

Kekira mengobati luka Akbi sambil terus mengomel.

Akbi terus menatapnya lekat.

“Nah udah nih.” Kekira menutup kotak obat, dan heran.

“Kenapa liatin aku kayak gitu?”

Akbi tidak menjawab.

Kekira makin salting dan beranjak membuka kulkas.

Duuhh kenapa jadi deg-degan gini sih deket-deket Akbi? Kekira mulai gelisah.

“Barusan aku udah panasin sop buntut masakan Bunda. Kamu mau makan?”

Kekira mengangguk pelan.

Sambil memperhatikan Akbi yang sibuk di dapur, Kekira senyum sendiri.

Selesai makan, Kekira mencoba menghubungi Ayah.

Tapi tidak aktif.

Masalahnya dia resah kalau harus lama-lama berduaan dengan Akbi.

“Kamu masuk kamar aja, Ki. Biar aku jaga di sini.”

Kekira tidak enak hati. “Beneran nggak pa-pa?”

Akbi mengangguk. “Nanti kalo ada apa-apa teriak aja.”

“Iya deh.” Kekira berbalik masuk kamarnya.

***

Paginya, Kekira sudah siap kuliah dan bergegas turun.

“Good morning, sweetie…”

“Lho Akbi? Kamu masih di sini?” Kekira heran melihat Akbi di dapur.

“Semalem keasyikan ngobrol sama Ayah. Makanya aku nginep di sini.”

“Trus Ayah mana?”

“Udah berangkat ke kantor. Mau sarapan? Nih aku udah masakin nasi goreng.”

Mata Kekira membulat. “Kamu yang masak?”

“Iya lah.”

“Aku baru tau kamu bisa masak.” Kekira duduk dan menatap nasi gorengnya.

“Aku makan ya?”

“Iya.” Akbi mengeluarkan sebotol susu dari kulkas.

Sambil menyantap nasi goreng, Kekira memperhatikan Akbi yang telaten menuangkan susu dalam gelas.

Akbi sadar diliatin. “Kenapa? Aku ganteng banget ya sampe bikin silau?”

Kekira gelagapan. “Ih ge-er banget!”

Akbi tertawa geli dan meletakkan gelas susu di meja.

“Hari ini kamu sama Cinay bisa daftar untuk kemping.”

Mata Kekira membulat. “Oh ya?”

“He-eh. Aku udah minta izin sama Ayah dan katanya oke.”

“Alhamdulillah. Iya hari ini aku langsung daftar.”

“Sip. Aku mau mandi dulu.”

“Oh ya udah, di kamar aku aja.”

“Boleh nih masuk kamar perempuan? Nggak ada barang pribadi khas cewek?”

“Iihh sorry ya, kamarku rapi, nggak ada barang berceceran.”

“Sip deh kalo gitu.”

“Handuknya ada di lemari bawah di kamar mandi ya.”

Akbi bergegas masuk kamar Kekira.

Kekira senyum-senyum sambil makan.

Enak juga masakannya. Akbi bener-bener cowok yang multi talenta. Udah keren, populer, jago masak pula.

Nggak heran banyak yang idolain dia walau garang banget.

Tiba-tiba ia teringat kalau di kamarnya itu ada…

Ia langsung panik dan berlari ke kamarnya.

***

Kamar Kekira rapi dan wangi.

Sejak kecil Kekira memang dilatih menjaga kebersihan dan keindahan kamar.

Malahan waktu kecil Ayah sering memberinya hadiah kalau bisa membereskan tempat tidur sendiri.

Akbi masuk kamar mandi, langkahnya terhenti. Kepalanya berputar melihat sesuatu di atas meja samping tempat tidur.

Ia mengambil benda itu dan tersenyum.

Surat biru darinya waktu kecil dibingkai dengan indahnya.

Ia membaca isinya, dan tertawa geli melihat tulisannya yang masih acak-acakan.

Terdengar suara langkah kaki.

Pasti Kekira!

Ia meletakkan surat di tempat semula dan bergegas masuk kamar mandi.

Perlahan ia membuka pintu sedikit dan mengintip dari sela-sela pintu.

Kekira seperti panik dan menyembunyikan surat dalam laci.

Ia tersenyum jahil. Pura-pura nggak tau aja deh.

Keluar dari kamar mandi, tiba-tiba Kekira memburunya panik.

“Mas Riga ke sini, Bi!”

Akbi kaget. “Apa?”

“Kalo dia tau kamu di sini, aku pasti dimarahin!” Kekira panik sekali.

“Tenang, kamu keluar aja. Dia nggak tau aku di sini, motorku ada di garasi.”

Kekira gemetar takut, ia tahu Riga bisa berbuat semaunya.

Akbi memegang bahu Kekira.

“Percaya sama aku. Semuanya akan baik-baik aja.”

Akhirnya ia mengangguk dan keluar kamar.

***

“Nih aku bawain sampel undangan dari Tante Ulfa. Kamu tinggal pilih mau yang mana.” Riga berbicara sambil sibuk dengan HP-nya.

Kekira melihat-lihat undangan tanpa semangat.

“Oh ya, aku mau keluar kota sampe bulan depan.”

Riga membuka dompet dan mengeluarkan dua kartu.

“Kalo ada keperluan untuk pernikahan kita, langsung kamu beli aja. Ini ada ATM sama credit card.”

Kekira menerimanya sambil senyum dipaksakan.

“Mas, kalo gitu, apa boleh minggu depan aku ikut acara kampus?”

“Acara apaan?”

“Kemping di gunung Salak.”

Riga menatapnya. “Berapa hari?”

“3 hari, Mas. Ini agenda tahunan dari kampus.”

Riga tampak berpikir, lalu menyetujui. “Oke boleh. Tapi kamu jangan macem-macem di sana. Inget, kamu tuh tunangan aku.”

Kekira tersenyum. “Iya, Mas. Makasih ya.”

Yang penting dapet ijin.

“Ayo pergi. Abis anter kamu aku harus segera ke kantor.” Riga ngeloyor keluar.

Kekira melirik ke dalam.

Semoga Akbi paham situasi ini.

***

Setelah mereka pergi, Akbi keluar kamar Kekira.

Hatinya dilema antara tidak rela atau cemburu.

Melihat sikap Kekira yang penuh senyum palsu bersama Riga, membuatnya tidak bisa menjauhkan Kekira dari pikirannya, dan ingin terus menjaga gadis itu.

Ia geleng-geleng kepala.

“Ini bukan saatnya gue mikirin hal begitu. Ada hal yang lebih penting. Gue harus bantu temukan pelaku penculikan yang udah culik saudara perempuan temen-temen gue.”

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!