“Ini namanya Adinda.”
Pak Reza memperkenalkan Kekira.
Kekira jadi tidak enak hati karena keluarganya Riga memandangnya aneh. Ia yakin setelan baju pink dan kerudungnya tidak bermasalah.
Wajah-wajah di sana tidak bersahabat melihatnya.
Sambil senyum dipaksakan ia menyalami Tante Ulfa adiknya Pak Reza, Om Randy suaminya Tante Ulfa, dan adiknya Riga yang seumuran dengannya.
“Adinda ini calon menantuku. Cantik sekali kan?” semua hanya tersenyum masam mendengar pujian Pak Reza.
“Dan ini Pak Kurniawan, beserta istrinya Bu Mutia.”
Ayah dan Bunda menebarkan senyum.
“Adinda ini masih kuliah. Tapi tidak masalah, tidak perlu menunggu lulus untuk menikah.”
Lagi-lagi pandangan semua tajam ke arahnya.
“Yah lumayan cantik. Asal kerudungnya bukan cuma topeng,” kata Tante Ulfa sinis.
Kekira serasa jalan di atas paku.
Tidak mengerti kenapa sambutan keluarga Pak Reza sedemikian sinis padanya.
Pakai menyinggung soal kerudung, segala.
Apa mereka punya trauma terhadap perempuan?
“Ayo ayo makan.”
Bunda yang mengenakan setelan muslimah berwarna biru menggandengnya ke ruang makan.
Bunda kasihan anaknya diperlakukan tidak bersahabat.
Selama makan, tidak ada suara.
Melihat tatapan sinis keluarga Riga membuatnya tidak selera makan.
Bahkan adiknya Riga menatapnya terus sambil mengedipkan mata nakal.
Setelah makan, Pak Reza mengajak Ayah dan Bunda ke ruang kerja.
Kekira sudah menduga mereka akan membicarakan pernikahan.
Om Randy dan Tante Ulfa entah ke mana.
Sementara Riga sibuk dengan teleponnya.
Kekira menuju kolam renang dan menyendiri.
Tak tahan air matanya bergulir turun.
Kenapa tekanannya sebegini berat?
Belum cukup perlakuan kasar Riga, sekarang ia mendapat perlakuan tidak baik dari keluarga Riga.
Ia tidak tahu sampai kapan dapat bertahan.
Membayangkan harus menikah dan menjadi bagian dari keluarga Riga sungguh mimpi buruk baginya.
Tiba-tiba kedua bahunya dipegang dari belakang, membuatnya kaget dan menoleh.
“Eh kamu!” ia menghindar.
Ngapain adiknya Riga nyamperin dia?
“Hai kakak ipar… sendirian aja? Gue temenin ya?”
Kalau nggak salah, nama adiknya Riga ini Andra.
“Ngg… nunggu Ayah Bunda.”
“Gue temenin ya?” Andra merangkulnya, namun ia menghindar.
“Aku ke dalem aja.”
Andra menyambar tangannya.
“Mau ke mana, kakak ipar?”
Kekira menarik tangannya, namun sulit.
Andra mencengkeram tangannya keras.
“Enggak usah takut. Lagian, Mas Riga itu sayang banget sama gue, jadi apapun miliknya, dia nggak akan keberatan berbagi sama gue.”
Kekira ketakutan, karena Andra mencoba memeluknya.
“Lepasinnn..” jerit Kekira meronta.
“Biarpun baju lo ketutup gini, tetep menarik kok.”
“Lepassss…”
“Ngapain sih lo?” tiba-tiba muncul Riga.
Andra spontan melepaskan pegangannya.
Kekira gemetar menahan nangis.
Riga bersikap santai seakan biasa terjadi.
“Lo nggak liat dia udah takut gitu? Jangan dipaksa lah…”
Andra nyengir. “Sorry, Mas.”
Riga menggamit tangan Kekira. “Yuk pergi!”
“Ke mana?” tanya Kekira heran.
“Jalan-jalan.”
“Tapi Ayah Bunda…?”
“Aku udah bilang, ntar aku anter kamu pulang.”
Daripada Andra macem-macem lagi, Kekira menurut mengikuti Riga.
***
Sudah jam sembilan malam.
Akbi mengemudikan motornya santai.
Dia suntuk banget gara-gara Trixie.
Bisa banget tu cewek modus ngambil hati Nenek sama Tante Vina.
Pake bohong masak segala, padahal delivery makanan.
Daripada bete mending ia refresh otak dengan balapan.
Melewati jalanan agak sepi, matanya menyipit melihat cewek cantik seksi berambut cat pirang.
Ia berhenti agak jauh di belokan, dan memperhatikan.
“Kalo nggak salah, tu cewek kan yang jalan ke mal bareng Kekira dan tunangannya itu?” gumamnya sambil menajamkan penglihatan.
“Eh iya bener, gue inget tu cewek dandanannya nyentrik banget kayak bule nyasar. Tapi ngapain dia di pinggir jalan sendirian? Nggak takut diculik, apa? Kurang update kali ni orang, jadi kagak tau berita penculikan sekarang.”
Cewek itu kelihatan gelisah memegang HP.
Sesekali menghentakkan kaki kesal.
Muncul mobil menghampirinya.
Akbi tercekat. “Itu kan mobilnya Riga?”
Karena gelap, dia tidak bisa melihat jelas.
Si seksi memasuki mobil dan mobil meluncur lagi.
Segera ia mengikuti karena curiga.
Ini malam minggu dan Kekira tidak bisa dihubungi. Mungkin Kekira pergi bersama tunangannya.
Ia jaga jarak sambil tak lepas memperhatikan.
Tiba-tiba mobil berhenti di fly over.
Pintu terbuka dan turun seseorang mengenakan baju dan kerudung merah muda.
Ia tercekat.
Kekira!
Mobil pergi meninggalkannya, sendirian!
Di pinggir jalan!
Kekira duduk di pinggir trotoar, melamun.
***
“Kok lama banget sih, honey?”
Kekira terdiam ketika Veni -yang katanya- pacar Riga yang berambut pirang itu memasuki mobil.
“Sorry. Tadi gue ada acara keluarga.”
“Trus dia ikut sama kita?”
“Ntar gue turunin dia di depan. Tenang aja.”
“Iya dong, honey… kita kan mau berduaan.”
Kekira menelan ludah dan memandang keluar.
Sungguh dia tidak mengerti, kenapa Riga mau menikahinya, kalau cuma menyiksanya?
Mobil berhenti di fly over.
“Kamu turun ya, Sayang? Aku sama Veni mau liburan ke Puncak. Nih aku kasih buat ongkos taksi. Jangan lupa, langsung pulang. Kalo Bunda tanya, bilang aja mobilku mogok. Oke. Calon istriku yang penurut..”
Kekira hanya tersenyum masam, dan mengambil uang dari Riga. Lalu keluar mobil.
Begitu mobil pergi, ia tidak tahan menumpahkan air matanya.
Tanpa peduli keadaan, ia duduk di pinggir trotoar dan menenggelamkan kepala di dua tangannya, dan menangis tersedu-sedu.
Semula ia pikir, pengorbanan yang ia lakukan dengan menurut semua kemauan Riga, akan merubah sikap, dan menggugah hati cowok tersebut.
Tapi kenyataannya, Riga makin semena-mena menyiksanya.
Lebih menyiksa batinnya.
Namun bayangan penderitaan yang akan Ayah alami jauh lebih ditakutinya. Karena Ayah pernah terkena serangan jantung, dan kondisinya harus stabil.
Kekira hanya memiliki orangtuanya. Resikonya terlalu berbahaya untuk Ayah jika Riga berbuat tidak adil.
Walau Riga kerap kasar padanya, dengan cara ‘halus’.
Dan kini, lagi-lagi Riga meninggalkannya sendirian di tempat yang tidak dikenalnya.
Dia tidak peduli lagi.
Yang ia inginkan cuma menangis sepuasnya.
Tiba-tiba bahunya ditepuk pelan, membuatnya tersentak dan mendongak.
Akbi!
“Ngapain kamu nangis di sini?”
Kekira menghapus air matanya.
“Enggak kok, siapa yang nangis?”
Akbi menarik tangan Kekira.
“Mau ke mana?”
“Udah malem, nggak aman kamu sendirian. Lagian nggak baik jadi tontonan nangis di sini.”
Kekira menurut mengikuti Akbi.
***
Mereka tiba di pantai.
Walau sudah malam, ternyata cukup banyak yang menikmati keindahan pantai malam minggu ini.
“Ini tempat favorit aku kalo lagi perlu ketenangan. Mungkin bisa ngehibur hati kamu juga.”
Kekira mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Kita jalan-jalan dulu, gimana?”
Kekira diam saja, hanya menunduk.
Mereka berjalan menyusuri pembatas jalan dengan laut.
Melewati beberapa pasangan yang lagi asyik pacaran.
Sudah lima menit Kekira masih tidak bersuara.
Akbi mengajaknya duduk di salah satu bangku yang menghadap laut.
“Kamu bawa tisu?”
Kekira menggeleng.
Akbi merogoh saku dan menemukan saputangan.
Tanpa bicara, Akbi mengusap wajah Kekira dengan saputangan, membersihkan riasan yang berantakan.
“Bi, aku…”
“Ssssttt…” Akbi mengisyaratkan diam.
“Udah, nanti aja ceritanya.”
Kekira terisak dan menangis di bahu Akbi.
Akbi mengusap-usap bahu Kekira, kasihan.
“Aku udah liat kejadian tadi. Enggak usah cerita apa-apa kalo bikin kamu sedih.”
Cukup lama Kekira menangis.
Setelah tangisnya berhenti, Akbi memberikan air minum.
Setelah Kekira lebih tenang, ia bernafas lega.
“Eh besok kan hari minggu. Gimana kalo kita jalan-jalan?”
Kekira memandangnya dengan mata sembab.
“Ke mana?”
Akbi tersenyum rahasia.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments