15. Jalan-jalan ke Bandung

HARI minggu pagi, Kekira sudah siap dengan kaus panjang dan celana panjang hitam cukup nyaman dipakai jalan-jalan.

“Kalian mau pergi ke mana, Sayang?” tanya Bunda.

Kekira angkat bahu. “Mungkin ke pantai, Bunda. Akbi kan seneng pantai.”

“Emang kalian naik apa?”

“Katanya Akbi mau bawa mobil.”

Bunda memperhatikan putrinya yang sumringah.

“Seneng banget anaknya Bunda.”

Kekira tersenyum sambil mengecek bawaannya.

“Obat jangan lupa dibawa. Kalo capek langsung istirahat. Bilang sama Akbi, jangan terlalu ngebut, kalo ngantuk istirahat dulu jangan paksa nyetir.”

“Iya, Bunda.”

Bel rumah berbunyi nyaring.

“Tuh Akbi udah dateng.” Bunda keluar kamar.

Kekira mengenakan jaket dan bercermin. Setelah memastikan jilbabnya rapi, ia menuruni tangga.

Di ruang tamu, Akbi sedang mengobrol dengan Ayah.

“Eh anak Ayah udah siap nih.” Ayah terlihat sumringah.

“Ayah sama Akbi pada ngobrol apa sih? Seru banget kayaknya.” Kekira duduk.

“Enggak usah kepo urusan laki-laki,” sahut Akbi usil.

“Ihhh licik.”

Ayah tertawa. “Ayah cuma nggak nyangka Akbi yang dulu suka main ke rumah kita sekarang jadi ganteng begini.”

“Ayah bisa aja..”

“Ihh jangan dipuji, Yah. Ntar ge-er dia.”

Akbi tersenyum hangat. “Anak Ayah yang dulu mungil dan imut-imut, sekarang udah bongsor begini.”

“Ihh Akbi.. awas ya!”

Ayah tertawa lagi. “Iya ya, Akbi cerita waktu pertama kalian ketemu, Akbi gendong kamu yang pingsan kepanasan, katanya anak Ayah ini berat juga.”

“Iya, kamu tuh berat, tau.. diet sedikit kenapa.”

Kekira merengut. “Seneng ya pada ledekin aku.”

“Oh ya Akbi, Ayah ucapkan terima kasih semalam sudah mengantar Kekira pulang. Ayah dan Bunda cemas sekali, karena HP Kekira ada pada Bunda. Untung kamu nemuin anak Ayah. Sekali lagi terima kasih ya, Nak.”

“Sama-sama, Yah.”

Muncul Bunda membawa keranjang isi makanan.

“Nak Akbi, kalian mau pergi ke mana?”

“Mau ke Bandung, Bunda.”

“Bandung?”

Ayah dan Bunda heran bersamaan.

Kekira pun heran.

Kenapa Akbi tiba-tiba mau ke Bandung?

“Sore juga kami udah pulang.”

Bunda memandang Kekira yang terlihat gembira, lalu tersenyum.

“Bagaimana, Yah?”

Ayah berpikir sebentar lalu mengangguk.

“Baiklah, kalian boleh pergi. Tapi hati-hati menyetir, dan ingatkan Kekira untuk meminum obatnya.”

“Siap, Yah!”

“Oh ya ini sudah Bunda buatkan bekal. Jadi kalian tidak usah jajan di jalan. Di Bandung juga pilih-pilih makanan, jangan sembarang beli. Kekira jangan sampai makan…”

“Seafood kan, Bunda? Aku hafal dari kecil si manja ini alergi sama lobster dan kepiting.” Akbi tersenyum jahil.

Ayah dan Bunda tertawa.

Kekira cemberut sambil menerima keranjangnya.

Setelah mencium tangan Ayah-Bunda, Kekira dan Akbi berangkat.

Ayah Bunda memandangi kepergian mereka.

Mereka percaya Akbi akan menjaga Kekira dengan baik.

“Syukurlah anak kita bisa ceria lagi, Bunda.”

“Iya, Yah. Bunda bisa ngerasain anak kita pasti sakit diperlakukan begitu oleh keluarga Pak Reza. Dan Bunda lega anak kita ditemukan Akbi.”

“Habis gelap terbit terang. Gitu pepatahnya.”

***

“Eh beneran kita mau ke Bandung?” Kekira tidak percaya.

Akbi melirik sekilas. “Iya. Masa’ aku bohong?”

“Asyiiikkk..” Kekira girang. “Kita mau ke mana aja?”

“Ada dehhh..”

Mobil meluncur cepat memasuki jalan tol.

“Aku baru tau kamu bisa nyetir mobil.”

“Nyetir helikopter juga bisa.”

“Ahh boong banget deh..”

“Eh nggak percaya? Aku bisa lho. Tapi nggak jaminan nyampe tujuan. Paling banter mampir ke rumah sakit.”

“Tuh kaannn… pilot gadungan…”

Kekira tertawa geli.

Akbi melihat tawa itu secerah sinar matahari membuatnya tersenyum.

***

Setelah dua setengah jam perjalanan, mobil berhenti di suatu tempat.

Kekira melihat sekeliling.

Akbi mematikan mesin mobil.

“Kenapa? Kok bingung?”

“Ini kan…?”

“Tempat kenangan masa kecil kita. Kamu lupa?”

Kekira masih tidak percaya.

“Tempatnya, jadi begini?”

“Ya iya lah. Udah 10 tahun, Neng. Walikotanya aja udah ganti. Yuk turun.”

Akbi membuka bagasi dan mengambil karpet kecil.

Sambil menenteng keranjang, Kekira terpesona melihat keindahan taman yang ditata sedemikian asri.

“Di situ kayaknya adem. Yuk.”

Akbi menuju sebuah pohon besar, dan menggelar karpetnya.

Kekira duduk dan memperhatikan suasana taman yang cukup ramai.

“Eh Bunda bekelin apaan? Buka dong, laper nih.”

“Emang kamu belum sarapan?”

Kekira mengeluarkan beberapa kotak makanan dari keranjang.

“Ya belum. Kalo nggak berangkat pagi bisa siang kita nyampe Bandung.”

Akbi membuka kotak dan mencomot sepotong roti.

“Bunda bawain banyak banget nih, tau kali ya walau kamu udah kurusan makannya tetep banyak.”

Akbi tertawa sampai terbatuk-batuk.

Kekira melihat makanan dalam kotak, air mukanya berubah sedih.

Akbi melihat isi kotak.

“Buatan Bunda nih?”

Kekira menggeleng. “Ini makanan tadi malem yang dikasih sama Pak Reza.”

Teringat kejadian semalam.

“Peduli amat sih.” Akbi mengambil cupcake dan mencicipinya. “Enak kok. Nih cobain.”

Suasana mendingin. Kekira jadi murung lagi.

Akbi menggenggam tangannya. “Kalau mau cerita, aku siap dengerin.”

Kekira tidak menanggapi.

“Hmmm… aku ke kantor polisi dulu deh.”

Kepala Kekira berputar cepat.

“Ngapain?”

“Mo pinjem mesin tik. Siapa tau kamu kepengen cerita kalo sambil diketikin.”

“Iiihhh Akbi ngeledek kan..”

“Ya lagian diem terus. Kalo nggak mau diketikin, aku kelitikin aja ya…”

“Ehh.. iihh Akbiiii… geli, tauuuu… udah udah, ampunnn.. iya aku cerita!”

Akhirnya Kekira menceritakan kejadian semalam. Akbi mendengarkan sungguh-sungguh.

“Tanggal pernikahanku sudah ditentukan, Bi. 2 bulan dari sekarang.” Kekira terisak.

“Lho? Bukannya kamu bilang akhir tahun ini?”

“Awalnya juga begitu. Aku juga nggak ngerti kenapa buru-buru. Dan Veni, pacarnya Mas Riga, selalu rendahin aku walau dia tau aku tunangan Mas Riga. Katanya, walau kami menikah, hubungan mereka nggak akan putus. Bahkan sekarang mereka lagi liburan ke Puncak, berduaan.”

Akbi paham. “Makanya Ayah Bunda ngijinin kita pergi?”

“Mereka dapat perlakuan yang sama dari keluarga Mas Riga. Tapi kami nggak bisa berbuat apa-apa. Dan lagi, Ayah Bunda nggak percaya cerita Mas Riga waktu kepalaku luka. Karena kamu pasti jaga aku baik-baik.”

“Kamu masih bungkam tentang Riga?”

“What can I do, Bi?” Kekira menggigit bibir.

“Aku nggak bisa bayangin kalo jadi istrinya, apalagi adiknya Riga bersikap buruk sama aku.”

Akbi tercenung. “Apa kita bisa ketemu lagi kalau kamu sudah menikah?”

Kekira terdiam sedih. “Aku nggak tau, Bi. Ngebayangin berumah tangga sama dia aja aku nggak berani.”

“Kalo gitu kamu harus berani bilang sama Ayah...”

“Akbiiii.. itu bukan solusi.”

“Kamu mau kayak gini terus? Aku aja nggak tega liat kamu tertekan begini. Lama-lama bisa depresi, stroke yang ada.”

“Kok ngedoain aku sakit?”

“Justru aku nggak mau kamu sakit, Kekira manisss… kalo nggak mau bayangin berumah tangga sama dia, bayangin nikah sama aku aja. Ntar kita bulan madu touring berdua.”

“Iihhh bercanda lagi deh.”

Akbi tertawa melihat muka cemberut Kekira. Perlahan wajah manis itu mulai tersenyum.

“Ki, udah jangan dipikirin. Pasti ada jalan keluar. Aku akan bantu sebisa mungkin untuk kelarin masalah kamu. Oke?” Akbi membelai kepala Kekira, lembut.

Kekira mulai tersenyum.

“Makasih ya, Bi. Aku udah lega cerita semua sama kamu.”

“Oh iya lupa aku ketikin ya. Padahal seru tuh kalo jadi cerpen.”

“Akbiiiiiii…!” Kekira mencubitinya gemas.

Akbi menghindar geli.

HP Akbi berbunyi. “Eh bentar ya, ada telepon.”

Kekira mengedarkan pandangan ke sekeliling taman, tapi telinganya ikut mendengarkan pembicaraan.

“Iya halo, ada apaan? Sekarang? Gue nggak bisa. Lagi di luar kota. Besok aja deh. Ntar kita bahas lebih lanjut.”

“Temen geng kamu?” tanya Kekira begitu Akbi tutup telepon.

Akbi mengangguk. “Tenang aja. Kami nggak kriminal.”

“Tapi aku ngeri sama yang namanya geng motor, Bi.”

“Eh ni anak, mulai mellow deh. Nih aku tunjukin.”

Akbi membuka galeri HP-nya dan menunjukkan foto.

“Ini foto waktu kami touring ke Sukabumi. Tuh liat, tampang-tampangnya pada nggak kriminal kan?”

Kekira memperhatikan.

“Iya sih. Untunglah kalo nggak kriminal.”

Agak bingung ketika melihat foto sosok paling belakang yang agak buram.

Kayaknya yang pake ikat kepala biru pernah aku lihat.

Tapi di mana ya?

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!