16. Surat dari Akbi

Hari makin siang, ketika suasana taman sudah sepi, Akbi melihat kanan-kiri.

“Eh Ki, udah sepi nih.”

Kekira bingung. “Kenapa emangnya?”

“Kesempatan dong.”

“Kesempatan apaan?” Kekira makin heran, dan waspada. “Kamu mau macem-macem sama aku?”

“Heh! Inget kata guru ngaji kita dulu, jangan su’udzan sama orang.” Akbi mencubit hidung Kekira gemas.

“Ya trus kamu mau ngapain?”

Akbi berdiri dan menarik tangan Kekira. Mereka berhadapan.

“Kamu beneran nggak inget tempat kita ini?”

Mata Kekira menyipit dan memandang pohon di belakang mereka.

“Ini kan... tempat kita ngubur botol surat?”

“Exactly! Akhirnya kamu inget, walau agak lemot.”

“Ihh ngeledek lagi.”

“Yuk kita cari.”

“Emang masih ada? Ini taman kan udah direnovasi.”

“Cari aja dulu. Siapa tau masih ada.”

Mereka menggali menggunakan sekop kecil yang dibawa Akbi.

Ngegalinya juga takut-takut, kalo ketauan orang bisa kena damprat udah ngerusak keindahan taman.

“Eh ada tuh!” pekik Kekira girang, dan mengambil botol kaca kecil.

“Benerin lagi tanahnya, Bi.”

“Udah. Itu beneran botol kita?”

“Iya bener. Nih liat, ada nama kita berdua kan.”

Di botol tertulis nama Kekira dan Akbi pakai spidol yang agak pudar.

“Mana buka dong!”

Kekira terdiam dan merengut.

“Nggak mau ah! Pasti kamu curang!”

“Curang apa?”

“Pasti kamu udah baca surat dari aku!”

“Kapan aku bacanya?”

“Ya siapa tau pas aku pergi diem-diem kamu gali sendiri, dan ketawa-tawa baca surat aku.”

Akbi mengacungkan dua jari.

“Suer enggak. Kita kan udah janji, bakal baca barengan.”

“Beneran ya? Tapi janji dulu!”

“Janji apa lagi sih, manjaaa…?”

“Jangan ngetawain kalo tulisan aku jelek.”

Akbi menahan tawa. “Iya iya janji.”

“Awas kalo ketawa!”

Kekira membuka tutup botol dan mengeluarkan dua gulungan kertas.

Kertas warna pink punya Kekira, yang biru punya Akbi.

“Eh tunggu.” Kekira mengerutkan dahi.

“Ngomong-ngomong, kamu masih inget isi surat ini?”

Akbi gemas. “Baca aja. Jangan banyak komen.”

Kekira merengut dan membuka surat biru dari Akbi.

Akbi melakukan hal serupa dan membaca surat pink.

Selesai membaca, mereka saling pandang.

***

“Kalian sudah pulang?” Bunda menyambut sukacita.

“Iya Bunda, tadi Tante telepon mobilnya mau dipake. Makanya tadi kita buru-buru pulang.”

“Oh iya iya.. makasih ya, Nak.”

“Sama-sama, Bun. Oh iya, kalo Ayah ada?”

“Ayah lagi keluar. Nanti Bunda sampaikan.”

“Ya udah aku pamit, Bun. Ki, aku pulang dulu.”

Kekira mengangguk.

Akbi mencium tangan Bunda, dan bergegas pergi.

“Kalian jalan-jalan ke mana aja?” tanya Bunda sambil merangkul putrinya masuk rumah.

“Liat rumah kita yang dulu, Bunda.”

“Oh ya, pohon mangga depan rumah masih ada?”

“Udah ditebang. Sekarang di halaman itu jadi taman. Trus lapangan bola deket rumah juga sekarang dibangun jadi kos-kosan. Pokoknya beda banget sama dulu.”

“Iya lah kan udah 10 tahun kita ninggalin Bandung. Pasti udah banyak berubah.”

“Aku ke kamar dulu ya, Bunda.”

“Oh ya tadi Nak Riga nelepon ke rumah. Katanya nelepon ke HP nggak aktif.”

“Baterai HP-nya abis. Dia ngomong apa, Bun?”

“Cuma nanya kondisi kamu aja. Dia pikir semalem kamu pulang sendirian. Jadi dia cemas.”

“Trus, Bunda jawab apa?” selidik Kekira.

“Bunda bilang aku pergi sama Akbi?”

Bunda menggeleng. “Bunda bilang, kamu lagi tidur. Kalo bilang pergi sama Akbi malah ribut nanti.”

“Kok tumben Bunda mau bohong? Kata Bunda, bohong itu dosa, hayoooo…?”

“Bohong demi anak Bunda, insya Allah nggak dosa. Soalnya Bunda nggak mau rusak acara jalan-jalan kalian.”

Kekira memeluk Bunda. “Makasih ya Bundaku yang paling cantik… ya udah aku mau mandi dulu.”

“Eh bentar, Nak. Bunda mau cerita lagi.”

“Ada apa lagi, Bunda?”

“Tau nggak, anaknya Pak Dewa rumah nomor 18?”

“Oh si Lola kan? Dia sekampus sama aku.”

“Dia meninggal dunia, Nak.”

“Innalillahi wa’inailahi roji’un!” Kekira kaget. “Meninggal kenapa? Sakit? Atau kecelakaan?”

“Jadi korban penculikan. Seminggu dia hilang dan ditemukan sekarat di pinggir sungai. Sempat dibawa ke rumah sakit, tapi tidak tertolong. Di tubuhnya penuh luka.”

“Astagfirullah.. ngeri banget, Bunda. Trus belum ketemu pelakunya?”

“Nanti kita tanya Ayah. Ayah lagi ngelayat ke sana. Mungkin ada informasi. Bunda jadi makin ngeri ngebiarin kamu keluar rumah.”

“Bunda selalu doain aku itu udah cukup kok. Ya udah aku ke kamar ya.”

***

Bukannya mandi, Kekira malah melamun.

Memandang kertas biru dari Akbi kecil dan membacanya lagi.

#Kalau kita bertemu lagi, Akbi akan selalu bersama Kekira

Akan menjaga Kekira

Karena Akbi suka sama Kekira#

Surat itu membuatnya gelisah sejak tadi.

“Apaan sih? Kok aku jadi baper gini?” rutuknya sambil melepas jaket dan jilbabnya.

Hendak mandi.

Tapi matanya lagi-lagi memandang surat.

“Kok aku jadi ge-er gini? Ini kan tulisan Akbi waktu kecil. Paling juga nggak serius. Ngapain juga aku pikirin?”

Ia masuk kamar mandi.

Selesai mandi, ia teringat HP-nya mati sejak tadi.

Segera saja ia hubungkan dengan charger.

Dia coba menghubungi Riga.

“Eh kok nggak aktif? Aku kirim whatsapp aja. Eh tapi kirim apaan? Kan Mas Riga taunya aku tidur di rumah. Enggak usah deh, ntar juga dia nelepon.”

Ia menyimpan HP dan duduk sambil menyeka rambut dengan handuk.

Hatinya lebih tenteram sejak ada Akbi.

Sejak bertunangan dengan Riga, hari-harinya penuh mimpi buruk, dengan sikap kasar Riga yang tidak ada habisnya.

Namun hari ini semua mimpi buruknya terobati.

Semua karena Akbi.

Sahabat masa kecilnya hadir memberi warna baru.

“Oh ya, ngomong-ngomong, apa ya isi surat yang kutulis 10 tahun lalu? Duhh pasti konyol banget deh. Bisa-bisa Akbi ngetawain tulisan aku. Tapi isinya apa sih? Kok aku lupa?”

Memikirkannya membuat Kekira gelisah.

Ia merebahkan tubuh di kasur, dan memejamkan mata.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!