DI ruang kesehatan..
Kekira baru sadar, ia kepanasan dan kelelahan jadi pingsan.
Senior judes tadi yang mengantarnya ke ruang kesehatan.
“Nih minum dulu.”
Kekira meminum air putih dan menarik nafas.
“Lain kali jangan maksain kalo sakit. Kan kamu bisa bilang sama senior kalo nggak kuat ikutan OSPEK.” Senior galak itu melunakkan suaranya.
"Iya, Kak." jawabnya takut-takut.
“Siapa nama kamu?” tanyanya judes.
Kekira tidak menjawab, kepalanya masih pusing.
“Adinda?” Senior galak melihat name tag. “Nama kamu Adinda? Rumah kamu di mana? Sebaiknya kamu pulang aja.”
“Nggak pa-pa, Kak. Aku ikut materi aja.” Kekira bersuara pelan.
“Ya udah saya kasih kamu pita merah. Pertanda kamu lagi kurang sehat dan biar nggak ada senior hukum kamu macem-macem.”
Cowok itu mengeluarkan pita merah dari saku jas almamaternya, dan memakaikan di lengan Kekira.
Kekira tercekat melihat gelang yang dikenakan cowok itu. Seketika ia melirik name tag senior.
Bira.
Nama cowok itu Bira.
“Kamu istirahat dulu di sini. Nanti kalo udah kuat, baru balik ke kelas.” Bira balik badan meninggalkan ruang kesehatan.
***
Ia jadi teringat seseorang di Bandung.
Kala itu umurnya baru 10 tahun.
Ia jadi pendiam karena penyakit yang menyebabkan dirinya mudah lemas dan tidak bisa bermain bebas. Ia hanya bisa duduk sambil bermain boneka.
Ketika itulah ia bertemu dengan seorang anak laki-laki sebayanya, yang berbadan gendut. Anak itu jatuh dari sepeda.
“Sakit?” tanya Kekira kasihan.
Anak laki-laki itu menatapnya heran.
“Mau aku bantu obatin? Rumahku nggak jauh dari sini. Bunda punya bethadine kok.”
“Kamu nggak malu nolongin aku?” tanya anak itu.
“Kenapa mesti malu?”
“Aku kan gendut. Di sini aja nggak ada yang mau nemenin aku.”
“Aku juga nggak punya temen kok.”
“Beneran?”
“Namaku Kekira. Kamu siapa?” tanyanya mengulurkan tangan.
“Akbi.”
Mereka bersalaman.
Di situlah pertama kalinya Kekira bertemu Akbi.
Anak laki-laki berbadan gendut dan berkulit hitam itu tinggal dekat rumahnya.
Sejak itu mereka berteman baik. Akbi membuat Kekira betah di Bandung karena senantiasa menemani bermain.
Mereka jadi sahabat. Satu-satunya sahabat yang dimiliki Kekira. Begitu pun Akbi, yang hanya memiliki Kekira sebagai sahabat.
Namun setahun berselang, Kekira harus pindah ke Yogyakarta. Bukan main sedihnya Akbi melepas kepergian sahabat satu-satunya.
Namun mereka berjanji suatu saat akan bertemu kembali.
Pada hari keberangkatan, Kekira memberikan gelang persahabatan yang dipakaikan sendiri pada Akbi.
Sampai sekarang ia tidak pernah tahu kabarnya.
***
Gelang itu!
Gelang persahabatan yang pernah diberikannya pada Akbi, sama dengan yang dikenakan Bira.
Apa mereka orang yang sama?
Memang sudah 10 tahun mereka berpisah.
Tapi mengingat dulu Akbi berbadan gendut dan pemalu, dia tidak percaya Bira adalah sahabatnya.
Karena cowok itu galak dan judes. Meski ganteng, tapi wajahnya sangar, dan kentara jarang senyum. Tubuhnya tinggi, badannya atletis, kulitnya kecokelatan.
Berbeda jauh dengan imajinasi seorang Akbi di pikiran Kekira.
Akbi yang ia kenal cowok yang baik dan berhati tulus.
Mungkin ada baiknya ia mencari tahu.
***
Dikarenakan sempat pingsan, Kekira diijinkan tidak mengikuti OSPEK yang menguras tenaga atau panas-panasan di luar ruangan.
Cewek berjilbab itu terlihat murung di kelas. Dia bosan menunggu. Namun jika memaksakan mengikuti kegiatan, dia tidak mau sampai merepotkan lagi.
Muncul Cinay.
“Ki, makan yuk?” ajaknya.
Kekira mengangguk dan mengikuti.
“Eh Nay, kamu kenal senior yang kemarin bawa aku ke ruang kesehatan?” tanya Kekira penasaran.
“Oh dia? Kenal kok. Dia temen sekelass kakakku. Kenapa emang?”
“Pengen tau aja.”
Cinay menggoda. “Kamu naksir ya?? Gara-gara digendong kemaren?”
Pipi Kekira memerah. “Apaan sih? Mana aku tau digendong dia. Kan aku pingsan.”
“Eh kalo liat cara dia kemaren, deuuhh udah kayak pangeran gendong putri deh.”
“Eh udah deh jangan godain melulu. Apa lagi yang kamu tau tentang dia?”
Cinay berpikir. “Namanya Bira. Dia orangnya galak banget. Terutama sama cewek. Denger-denger sih dia pernah patah hati, makanya jadi dingin gitu sama cewek. Pernah ada yang nekat nembak dia, ditolak sampe dibentak-bentak.”
Kekira meringis. “Jadi sikapnya itu bukan karena OSPEK? Aslinya emang galak gitu?”
“He-eh. Dia emang galak banget. Oh ya, satu lagi. Dia itu kepala geng motor Tyrex.”
“Geng motor?”
“Iya. Tapi nggak ada yang tau sih tujuan geng ini apa. Kriminal atau apa, yang jelas Bira itu hobinya balapan.”
Kekira geleng-geleng kepala. “Nggak mungkin dia Akbi!”
“Apa, Ki? Kamu bilang apa?” Cinay heran.
“Eh enggak. Cuma asal ngomong. Yuk makan?”
Setelah mendapat tempat di kantin, Cinay sudah melahap makanannya, sementara Kekira melamun.
Masa’ iya Akbi itu Bira?
Kepala geng motor?
Akbi yang gendut kayak bola…?
Ahhh nggak nyambung kayaknya.
Tapi gelang itu…?
“Adinda..”
Ia menoleh dan tercekat.
“Emang kamu udah sehat? Kenapa nggak istirahat aja di rumah?” ternyata Bira yang mendekatinya.
Cinay sampai ketar-ketir takut melihat garangnya cowok itu.
“Udah mendingan, Kak. Lagian kan hari terakhir OSPEK juga.” Kekira menjawab takut-takut.
Kekira melirik gelang yang dipakai Bira.
“Ya baguslah.” Bira ngeloyor pergi.
“Tumben Kak Bira negor kamu, Ki.” Cinay heran. “Biasanya dia judes banget sama cewek.”
Kekira tidak menjawab, sibuk dengan pikirannya.
Kalau memang Bira itu Akbi, ia harus memastikan lagi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments