Meskipun telah berusia 24 tahun, Moon Gi Tae belum juga pernah mendekati seorang wanita untuk berurusan dengan hati. Karena semasa hidupnya, dia hanya mengabdikan diri untuk berbakti kepada kedua orang tuanya dan selalu menuruti perkataan mereka. Terlebih lagi sebagai pembawa kutukan yang selalu menjadi incaran, dia harus selalu menjaga keberadaannya agar tetap tertutup.
Meskipun beberapa korban kutukan sihir jahat adalah gadis-gadis yang cantik dan menarik, tapi menurutnya mereka hanyalah orang-orang yang menginginkan dirinya hanya untuk dapat terlepas dari jeratan sihir hitam.
Namun menjadi tidak terlihat sebenarnya bukanlah kehendak dirinya sendiri, karena itu adalah anjuran dari orangtuanya untuk keselamatannya. Disamping pembawa kutukan, Gi Tae tetaplah manusia, pemuda yang juga ingin merasakan kebebasan dan menikmati kehidupan layaknya pemuda seusianya.
Dia ingin merasakan bagaimana indahnya mencintai dan dicintai, dia ingin menjadi sosok pemberani yang dapat memperjuangkan apa yang dia inginkan. Dia tidak ingin terus lari dan bersembunyi dan dihantui oleh bayangan.
Hingga sampailah pada saat dimana dia telah melihat beberapa gadis cantik dan mengetahui mereka adalah putri kerajaan, hatinya mulai goyah dan rasa ingin tahunya lebih besar. Namun kembali lagi, dia hanya target incaran yang mungkin saja juga diinginkan oleh para putri kerajaan untuk suatu hal yang tidak dia ketahui, hingga membuat dia kembali mewaspadai dirinya.
--
Moon Gi Tae POV.
Angin malam Daegun telah sampai pada musim gugur, hingga dingin terasa menembus pakaian dan membelai kulit kami yang saat ini sedang duduk mendekapi kaki masing-masing menghadap api unggun kecil di bukit pinggiran hutan kecil wilayah Hira.
Sayup lolongan anjing terdengar mengisi riuhnya angin malam dari kedalaman hutan. Dari atas bukit cahaya lentera terlihat berkerlipan menghiasi rumah-rumah warga yang berada di sebrang lahan penuh ilalang dihadapan kami.
Di sebrang rumah-rumah warga nampak bulan sabit yang dengan indah mulai menaiki singgasananya dari ufuk timur menemani semaraknya kelip bintang di atas kayangan. Meski udara terasa sangat dingin, namun permadani bintang begitu hangat menyelimuti kebisuan kami. Beberapa bintang membentuk rasi yang dapat menyusun bentuk-bentuk binatang dan rupa manusia, bahkan dari bawah sini aku dapat melihat wajah putri Sazhawa tersenyum menatapku hingga aku turut melepaskan senyuman tipis dibibirku.
"Pletak!"
Aku terbangun dari imajinasiku setelah merasakan lemparan batu kecil yang mendarat di kepalaku bagian kanan. Spontan aku mengusap bagian kepala yang terkena hantaman batu kecil dan melihat si pelaku dengan mengerutkan alisku.
Tidak terasa begitu sakit, tapi ini sungguh menyebalkan.
akupun menghela napas panjang dan bertanya kepadanya "Apa masalahmu putri Chaeyun?" meski aku sudah berusaha menutupi kekesalanku, tapi sepertinya masih tersisa beberapa jejaknya diwajahku.
"Kau idiot. Mengapa kamu senyum-senyum sendiri sambil melihat langit. apa kamu yakin tidak memiliki kelainan?!?" dengan sombong dan keheranan dia bertanya kepadaku.
"Tidak semua hal harus kamu ketahui, dan untuk informasi. Aku bukanlah idiot." jawabku dengan melirik tajam matanya.
Oh apakah aku melupakan bahwa dia anggota kerajaan? Tidak, itu tidak mungkin terlupakan olehku, tetapi sikapnya sama sekali tidak mencerminkan bahwa dia putri raja, jangankan putri raja, untuk menjadi penduduk istana saja aku sempat tidak mempercayainya. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku cepat naik darah. Jika sebelumnya aku sempat melihat bagaimana Mizhawa mencoba melakukan pembunuhan terhadapku, setidaknya dia tidak menyebalkan seperti Chaeyun. Mizhawa melakukan semuanya dengan cepat dan tanpa peringatan, sedangkan Chaeyun, dia mengharuskan dirinya untuk bermain-main dan membuat seisi dunia kesal terlebih dahulu dengannya sebelum dia mencari lawan bertarung.
Itu yang kutahu, karena sedari awal perjumpaan kami, dia hanya akan membuat semuanya berantakan, termasuk pikiranku.
"Ohoho... jadi sekarang kamu berani berbicara kasar dengan putri dari Sun Gu? Apakah kamu lupa dari mana asalmu?" Chaeyun mengangkat kedua alisnya dan menatap sombong ke arahku.
Aku berani bersumpah, gadis ini adalah akhir dari kebaikan hatiku.
Aku menghentikan diriku untuk memutar mata padanya. Tentu kekesalan tidak boleh menjadi akhir dari kutukanku bukan?.
Dayeon hanya berulang kali menggelengkan kepalanya diikuti dengan decak yang telah akrab ku dengar semenjak perjumpaan kami.
"Kalian terlihat sangat cocok, mungkin kalian akan bersama kelak" Dayeon membuat pernyataan yang mengherankanku sambil menatap api unggun dihadapannya dan mencungkil beberapa kayu yang belum terbakar lalu memasukkannya kedalam kerumunan api menggunakan ranting kecil yang dipegangnya.
"Idiot ini? bersamaku? kelak? hahahah!" dengan terkekeh konyol, Chaeyun kembali mengejek dan membuat kebisingan hingga memaksaku untuk menatapnya, begitu pula dengan Dayeon "jangan konyol Dayeon, tidak ada alasan untukku bertemu dengannya di masa depan, apalagi bersama dengan orang sebodoh dia yang tidak ada gunanya!" dia menatapku dengan jijik.
Bahkan aku menyesali karena sempat kagum dengan kekuatan sihir dan parasnya. Kini aku memiliki beribu alasan untuk membuatnya menghilang dari muka bumi, tentunya jika dia bukan putri raja.
Tatapan tajamku belum juga hilang dari pandanganku ke Chaeyun, begitu pula dia, tatapan congkak dan seringai sinisnya semakin meningkat.
"Huh... aku lelah, mungkin sebaiknya kita istirahat." Dayeon memecahkan kontes menatap yang sedang intens kami lakukan supaya tidak bertambah panjang urusan.
Aku, Dayeon, dan juga Chaeyun memutuskan untuk membuat peristirahatan sederhana dengan beralaskan dedaunan di pinggir hutan. Sebelumnya, saat Dayeon menyarankan agar kami beristirahat di istana Hira, Chaeyun menolaknya. Dia berkata bahwa dia tidak ingin diceramahi oleh putri Mozhawa dan Sazhawa karena telah membuat keonaran di pusat kota.
Sedangkan untuk kembali ke Sun Gu yang berada di Barat Daya Daegun ataupun Kang Gu yang berada di SelaTan Daegun, itu tidak mungkin terjadi hanya dalam satu malam, meskipun mereka bisa terbang atau sejenisnya, tapi mereka membutuhkan energi untuk melakukan semua itu, sedangkan dua kerajaan tersebut terletak sangat jauh dari Hira dan membutuhkan setidaknya 10 sampai 15 hari perjalanan waktu normal.
Yang masih membuatku bertanya-tanya ialah keberadaan mereka, apa yang mereka lakukan di Hira dan mengapa para putri tidak di jaga oleh para pengawal, apakah terdapat rahasia yang mereka bawa atau mereka hanya sekedar melihat-lihat perkembangan diantara kerajaan secara diam-diam.
--
Malam semakin larut, dingin semakin menusuk. Aku tidak dapat memejamkan mata dengan nyaman hingga membuat tubuhku tidak sengaja bergerak ke kanan dan ke kiri terus menerus untuk menciptakan kehangatan.
"Tidak bisa tidur?" suara lembut putri Dayeon yang sedang berbaring beberapa langkah dari punggungku menghentikan apapun yang tengah kulakukan dan membuatku memutar badan untuk mengarahkan perhatianku padanya.
"Mhm... aku tidak menyangka, Hira terasa begitu dingin saat ini." gumamku dengan jujur.
"Setiap malam di musim gugur terasa dingin, baik di Jang Gu, Yang Gu, Hira, Cho Gu, Kang Gu, Sun Gu, maupun di Zhao. Yang membuat semua tidak terasa itu karena orang-orang yang ada disekitar kita." dengan menghela napas pendek dan halus, dia melanjutkannya "kamu tidak merasakan dingin yang begitu menusuk layaknya mereka yang berada di luar karena kamu memiliki selimut diri yang melindungimu dari dinginnya dunia." dengan senyum tipis dan mata berbinar dia mengakhirinya.
Tatapan putri Dayeon terlihat mengalur, indah dengan refleksi cahaya bintang dan bulan. Membuat siapapun yang menatapnya merasakan kedamaian hati yang unik yang tidak bisa ditemukan selain padanya.
Aku merasakan kenyamanan setelah mendengar suaranya, jiwanya begitu dewasa dan tatapannya menghangatkan. Mungkin malam ini tidak begitu buruk, aku bisa berbicara dengan santai dan tanpa beban dengan salah satu putri dari ketujuh kerajaan yang terkenal akan kecantikan dan kekuatan sihir mereka. Aku tidak menyangka, dinginnya es dalam sihirnya menciptakan kehangatan abadi di setiap tatapannya.
Mendengarnya berbicara tentang rumah, aku tiba-tiba teringat dengan keluargaku, ayah dan ibuku. Aku yakin mereka khawatir denganku karena tidak kunjung pulang seharian. Biasanya diwaktu seperti ini kami sudah makan dan berkumpul untuk sekedar mengobrol tentang peristiwa yang terjadi hari ini. Aku merindukan mereka.
Namun bila dirasa lagi, hingga detik ini aku belum merasakan ancaman yang begitu menghawatirkan dengan artian aku masih aman-aman saja berada didekat mereka para putri, tapi tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya bukan.
"Kamu benar, tuan putri-" belum sempat kulanjutkan kalimatku, Dayeon sudah memotongnya.
"Panggil aku seperti biasa, Dayeon. Karena saat ini kita adalah teman." senyum bibir tipisnya masih melekat indah diwajahnya.
"Baiklah, Dayeon?..." aku mengangkat alis kiriku untuk memastikan panggilanku nyaman ditelinganya.
Dan dia mengangguk untuk meyakinkanku.
Sejauh ini aku bisa mendengar napas berat dan halus putri Chaeyun yang membelakangi Dayeon sehingga dapat kupastikan dia tengah tertidur pulas meski dingin dapat menembus tulangmu. Jangan ingatkan bahwa dia memiliki sihir api di tubuhnya.
"Hmmm... kalau boleh tahu, apakah kalian para putri selalu diizinkan untuk pergi tanpa pengawal?" aku masih berbaring kesamping kiri, menatap dengan penuh kekaguman kepada Dayeon. Dengan menarik napas panjang, aku memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sedari tadi mengganggu pikiranku.
Aku menemukan ekspresi Dayeon sesaat berubah setelah mendengar pertanyaanku, terlihat seperti tidak begitu nyaman. Matanya teralih ke kiri dan kanan, menghindari tatapan mataku.
"Ma-maafkan aku karena telah menanyakan hal yang tidak seharusnya... errmm, kamu tidak perlu menjawabnya, Dayeon." pangkasku khawatir dengannya.
"Uh.. bukan seperti itu" dengan menghela napas pendek dia melanjutkan "kami memang terbiasa pergi tanpa pengawalan, lebih tepatnya kami senang mengembara... namun tidak semua putri seperti kami" jelasnya dengan lembut dan penuh kesabaran.
Aku bersumpah kepada dewa, jika Dayeon adalah rakyat biasa, aku pasti sudah menikahinya. Kemana saja aku selama ini, hingga tidak pernah menjumpai orang sepertinya.
"Seperti itu rupanya" sambungku dengan senyum tipis sembari menganggukan kepala, paham dengan perkataanya.
"Iya, jadi total diantara kami adalah sembilan dengan kerajaan yang berbeda-beda" lanjutnya dengan merasa tertarik dengan percakapan kami.
"Hmm... itu jumlah yang cukup banyak" hiburku dengan terkekeh lirih.
"Yah... memang" dia memperbaiki tubuhnya dan berbaring terlentang menatap langit malam yang dingin "namun salah satu diantara kami sudah naik tahta, karena kewajiban. Dan kini, dialah yang memimpin perkumpulan kami para putri."
"Srek Bruk!"
Saat kami sedang berbicara dengan nyamannya, tiba-tiba seseorang tidak diundang datang mendarat menggunakan kedua kaki yang menghentak tanah dibawahnya dengan sedikit kasar dari sebrang api unggun yang telah memadam. Membuatku dan Dayeon sontak terbangkit dari perbaringan kami.
"Berbicara tentangku??" ucap orang tersebut yang ternyata seorang gadis dengan pakaian putih berlapis hijau dan tersenyum manis kearah kami.
----
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments