" Onte, pa rungan mu Papu" [ Onte, Pa kabar Cucuku]. Nenek Siam menanyakan kabarku sambil terisak. Tak henti- hentinya Nenek Siam mengecup Wajahku dan mengusap Rambutku. Kemudian melepas pelukannya dan beralih memandang Ketiga Putraku.
" Baloku detake Onte?" [ ini Buyutku Onte?] Tanya Nenek Siam membungkukkan tubuhnya.
" Ya Papen" Ucapku menganngguk.
UHU UHU UHU UHU
Nenek Siam kembali menangis sesegukkan melihat Ketiga Putraku yang sedari tadi kebingungan mendengar Bahasaku.
" Uuuu, Baloku ale nanta na. Belo umir nenek Balo ae" [ Kasihan Buyutku, panjang Umur Buyut ya.] Ucap Nenek Siam terisak sambil mencium Ketiga Putraku secara bergantian. Ketiga Putraku hanya mematung dan masih terlihat bingung.
Nenek Siam pun mengajak Kami menuju rumah Bibi Yanti. Sekitar Sepuluh menit berjalan. Akhirnya kita sampai. Nenek Siam bilang, Bibi Yanti dan Paman Marwan sudah lama pindah dari rumahnya yang dulu. Rumah Bibi Yanti terpaksa di jual untuk biaya pengobatan Bibi. Rumah yang berdindingkan anyaman bambu terlihat sangat sepi. Kami pun masuk ke dalam pekarangan rumah Bibi yang di penuhi dengan rumput liar dan Tanaman yang layu. Melihat keadaan rumah Bibi dari luar hatiku sangat terenyuh. Aku mencoba menahan air mataku agar tak lagi terjatuh.
" Yanti, O yanti" Panggil Nenek Siam mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Nenek Siam pun membuka pintu secara perlahan lalu masuk ke dalam rumah Bibi. Aku pun mengajak Ketiga Putraku untuk masuk ke dalam. Nampak Seorang Wanita yang kurus kering, dengan mata yang cekung dan tulang pipinya yang tirus berbaring lemah di atas kasur lusuh tanpa seprai. Beliau adalah Bibiku Yanti. Tak sadar, Aku menangis terisak menghampiri Bibiku.
" Bibi?" Ucapku terisak sambil mencium tangannya yang kurus. Sesaat Beliau memandangku lalu meneteskan air mata.
" Anakku, We intan latala e. Anakku Via!" Teriak Bibi menangis histeris. Beliau langsung menarik Kepalaku di atas dadanya. Karena untuk bangun pun Beliau tak sanggup.
" Via Anak, Ka mepang mu Anak? Roa atemu topo mu datang ingo gitaku. Uhu...uhu..uhu" [ Anakku Via, Kamu dari mana saja. Mengapa baru sekarang Kamu datang mengunjungiku] Ucap Bibi terisak.
" Maaf kaji, ampin kaji gama Bibi" [ Maafkan Saya, Ampuni Saya Bibi] Ucapku mencium kepala hingga kaki Bibiku.
" Sini Zafran, Zul, Zaki. Ini Nenek Kalian Nak." Ucapku memanggil Ketiga Anakku dan memperkenalkan Mereka kepada Bibi.
UHU UHU UHU UHU
Bibi menangis sesegukkan melihat Ketiga Cucunya. Tangannya yang kurus menggapai wajah Anakku satu persatu dan mengusap Wajah Mereka dengan lembut.
" Belo umir nenek Papu, bau mo ku lalo Aku Anak e, kamo Ku ketemung ke Nenek" [ Panjang umur Cucu- cucuku, Aku sudah bisa pergi dengan tenang sekarang karena Aku sudah bertemu dengan Kalian] Ucap Bibi kembali terisak.
Kedua Anakku juga ikut menangis meskipun tak mengerti apa yang dikatakan oleh Neneknya. Nenek Siam sedari tadi hanya bisa sesegukkan. Pertemuanku kali ini sungguh sangat menyedihkan sekaligus menyayat hatiku karena melihat keadaan Bibiku yang sakit keras.
Dulu tangan Beliaulah yang mengusap Air Mataku ketika Aku menangisi Kepergian Ibu dan Bapakku. Tubuh itulah yang menahan berat badanku ketika Aku ingin di gendong. Kini Tenaga itu sudah tak berdaya lagi.
Aku adalah Anak Yatim Piatu, semenjak berumur Lima Tahun. Kedua Orang Tuaku meninggal karena penyakit menahun yang di deritanya. Kedua Orang Tuaku tak pernah ke Dokter atau pun pergi ke Rumah Sakit untuk berobat. Karena dulu, Kedua Orang Tuaku tak mampu bisa di katagorikan Kami adalah Fakir Miskin. Aku adalah Anak Mereka satu-satunya. Setelah Kedua Orang Tuaku meninggal Bibi dan Pamankulah yang mengambil alih untuk mengasuhku. Kebetulan Beliau berdua tak mempunyai momongan.
Bibi dan Paman menyayangiku sepenuh hati. Meski hidup dalam kemiskinan Beliau tak pernah mengeluh dengan kesusahan hidupnya. Aku selalu di doktrin untuk selalu berbuat baik kepada siapa saja. Ilmu dan didikan Beliau sampai saat ini Ku praktekkan kepada Ketiga Putraku. Meskipun sekarang ini Aku sudah melanggarnya. Aku tak patuh pada Suamiku dan pernah melawan dengan Mertuaku. Jujur, Aku tak bisa sebaik Beliau Berdua.
Aku mulai membersihkan tempat tidur dan seluruh isi rumah Bibi, rumah yan tak terawat kini menjadi lebih bersih dan hidup kembali. Sementara Ketiga Anakku bermain melihat Hewan Ternak yang berkeliaran. Aku pun menuju dapur untuk memasak. Memasak di rumah Bibi dari dulu sampai saat ini masih menggunakan Tungku Kayu. Akibat sudah lama tak pernah Aku menggunakannya. jadi Aku agak susah untuk untuk menyalakan Apinya. Tak putus asa, dengan corong yang terbuat dari bambu kecil. Aku mencoba meniup Api. Tiba- tiba Aku teringat dengan Almarhum Ibuku. Aku ingat saat Ibuku meniup Api seperti yang Ku lakukan saat ini. Di saat Ibuku berada di dapur Aku selalu ada di sampingnya menemani. Menunggu Ibu menyuapiku dengan Kerak Nasi yang di taburi dengan garam dan kelapa parut di atasnya. Tanpa Ikan Nasi itu terasa nikmat masuk ke dalam perutku. Di tambah lagi dengan suapan dari Ibu dari tangannya sendiri. Setelah kenyang Bapakku menggendongku di atas pundaknya lalu mengajakku pergi ke sawah dan bermain di sana. Tangan kekar Beliau selalu mengelus kepalaku dengan lembut. Perhatian dan kasih sayang Mereka kini hanya tinggal kenangan. Tak terasa bulir bening menetes mengalir di pipiku. Aku rindu denganmu Ibu, Bapak. Semoga Kedua Orang Tuaku ditempatkan oleh Allah di tempat yang paling indah Surganya. Doaku dalam hati.
Setelah Bubur dan Makanan lainnya matang. Aku pun memanggil Ketiga Putraku guna mengisi perut Mereka. Setelah Ku siapkan Makanan Ketiga Putraku Mereka pun menyantapnya dengan lahap. Sementara itu, Aku menyuapi Bibi dengan Bubur dan lauk yang Aku buat. Sambil Ku suapi Bibi tak henti-hentinya meneteskan air mata karena merasa bahagia.
" Me pang Bapa Papuku Anak?" [ Di mana Ayahnya Cucuku Nak?] Tanya Bibi ingin tahu.
" Bi, Suami Via sibuk. Dan Suami Via belum bisa mengunjungi Bibi. Suami Via juga titip salam sama Bibi " Jawabku berbohong.
" Nyaman si atemu Anak?" [ Apakah Kamu bahagia Nak?] Tanya Bibi lagi.
" Via Bahagia Bibi, Suami Via sangat menyangi Via dan Anak-anak" Jawabku membela Mas Surya.
" Syukur mo Anak e" [ Syukurlah Nak] Ucap Bibi terisak lagi.
Menjelang Magrib, Paman Marwan pun pulang dari Sawah. Beliau sehari-harinya menjaga dan merawat Sawah milik Tuan Tanah di Kampung ini. Tuan Tanah itulah yang memberi Beras kepada Paman sebagai upah setiap hasil panen. Selain beras Tuan Tanah juga memberi Paman Satu Karung Padi untuk di jual. Kadang, bila harga Padi naik maka Paman bisa memegang uang sebesar Empat Ratus sampai Lima Ratus Ribu per Tiga Bulannya. Sebenarnya Upah itu tak sebanding dengan kerja keras Paman. Namun, hidup di Kampung terpencil sangatlah sulit untuk mencari uang. Apalagi Paman dan Bibi tak punya Sawah sepetak pun. Beruntung Tuan Tanah mau memperkerjakan Paman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Yunia Afida
jadi ikut sedih, aju juga yatim sejak kecil, terus tinggal sama nenek dan kakek ampek gede
2023-01-15
0
Ma Ma Adit
tuh kan dibuat mewek lgi😭😭semoga bibi yanti dan paman marwan sllu diberi kesehatan bisa melihat cucu tumbuh besar😢
2022-12-18
1
uBanya Gentan Gendhis
jd kangen keluarga di kampung
2022-12-18
0