Meysi melirik pintu ruangan yang masih tertutup rapat, sudah di pastikan jika Toni saat ini juga sedang makan siang.
Meysi menghubungi Zahra, karena ponselnya tertinggal di ruangannya saat dirinya meeting.
Tut ... Tut ... panggilan terhubung.
“Halo, Zahra. Ada apa kamu menghubungi? Maaf, aku sedang meeting, ponselku di tas. Jadi, aku tidak mendengarnya.”
“Iya, Nona. Maaf, jika saya mengganggu.”
“Tidak sama sekali. Ada apa?”
“Nona, A—aku ....” Zahra tampak ragu mengatakannya.
“Iya, katakan saja. Jangan ragu,” ujar Meysi menunggu perkataan Zahra.
Ceklek! Pintu terbuka lebar, melihat Arga yang langsung raungan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Bruuak ! benda pipih yang ia pegang, terjatuh karena terkejut melihat kedatangan Arga.
Ia bahkan tidak mendengar apa yang di ucapkan oleh Zahra di seberang sana.
Dengan cepat ia mengambil ponsel miliknya.
Meysi langsung mengakhiri panggilannya, karena tidak ingin di dengar oleh Zahra jika ada Arga masuk ke ruangannya.
“Ada apa? Kenapa masuk tidak mengetuk pintu terlebih dahulu?” tanya Meysi menyembunyikan kegugupannya.
“Dompetmu tertinggal di kantin. Beruntung aku yang menemukannya, kalau orang lain bagaimana?” sahut Arga meletakkannya di meja.
Terlihat Arga masih berdiri di depan meja, sambil menatapnya. Hingga membuat Meysi mengernyit heran.
“Kenapa menatapku seperti itu? Apa ada yang kamu butuh kan?”
Arga menghela napas berat.
“Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku bersikap dingin padamu,” tuturnya lembut.
Meysi hanya mengangguk menganggapi permintaan maaf Arga padanya.
Arga menghampirinya mengambil tangan Meysi.
“Ada yang ingin aku bicarakan di rumah nanti,” ujar Arga sambil memegang tangannya, hingga membuat Meysi Kembali mengernyit heran dengan sikap manis Arga dengan tiba-tiba.
Perlahan Meysi menarik tangannya, lalu mengangguk.
Meysi mencoba mengalihkan pandangan Arga padanya dan berpura-pura melihat dokumen yang ada di layar komputer.
Arga mengangguk melangkah keluar ruangan. Akan tetapi sebelum keluar, Arga menatap sejenak Meysi lagi lalu membuka pintu dan keluar.
“Ada apa dengan anak itu? Sikapnya aneh sekali!” gerutu Meysi.
***
Sore hari, Meysi masuk ke dalam mobilnya dan hari ini dirinya membawa mobil sendiri tanpa sopir.
“Halo, Zahra. Aku sudah pulang bekerja, aku tidak mendengar apa yang kamu bicarakan tadi. Kamu bicara apa?” tanya Meysi di dalam mobilnya sambil menyetir mobil.
“Nona, apa kita bisa bertemu sekarang?” tanyanya dengan suara sedikit gugup dan juga panik.
“Kamu dimana?”
“Maaf Nona, saya sedang di rumah sakit dan tidak bisa meninggalkan Ibu saya terlalu jauh. Apa Nona mau bertemu di halaman rumah sakit?” tanpa Zahra pelan.
“Rumah sakit?” tampak Meysi menimbang ucapan Zahra.
“Baiklah. Aku akan ke sana,” sahutnya.
Setelah mengakhiri panggilannya, Meysi melajukan mobilnya menembus padatnya jalanan kota di sore hari.
40 menit, Meysi baru tiba di rumah sakit tersebut.
Terlihat Zahra sedang menunggunya duduk di kursi taman.
“Ada apa? Kenapa kamu meminta untuk bertemu?” tanya Meysi tanpa basa basi lagi.
“Nona. Keputusan ini saya ambil dalam keadaan sadar dan saya bersedia menjadi istri Kakak dari Nona. Tapi saya punya syarat,” ujarnya sambil menunduk.
Meysi menatapnya tanpa berkedip dengan mulut yang sedikit terbuka.
“Kamu yakin?”
Zahra mengangguk.
“Kalau begitu, katakan syaratnya.”
“Saya butuh uang untuk biaya rumah sakit Ibu saya,” ujarnya sambil menunduk malu.
Meysi tersenyum, menarik pelan dagu Zahra agar menatapnya.
“Jika perlu uang, katakan saja. Aku tidak ingin memaksamu untuk menikah dengan Kakakku, aku siap membantumu.”
“Tidak Nona. Saya bersedia,” sahutnya lagi.
“Baiklah kalau itu mau mu, berati tidak ada yang memaksa dirimu. Aku akan membayar semua biaya pengobatan Ibumu, hingga benar-benar sembuh. Setelah itu, kamu hubungi aku. Tapi, aku juga memaksa! Jika kamu memang tidak mau. Pesan dari aku, manusia yang baik, tidak akan ingkar dengan ucapannya sendiri!”
Sambil mengusap air matanya, Zahra mengangguk. Meysi menarik Zahra ke dalam pelukannya.
“Sudah cukup. Sekarang kita akan membayar semua biaya rumah sakit, dan mencari rumah sakit yang lengkap dan terbaik untuk pengobatan Ibumu,” menarik pelan lengan Zahra. Namun, Zahra menahan lengan Meysi.
“Ada apa? Jangan menunggu lebih lama untuk kesehatan Ibumu, sekarang yang terpenting adalah kesembuhan Ibumu. Harusnya kamu bersyukur masih bisa merawat Ibumu, ketika dia sudah pergi kamu seperti kelihatan permata hatimu.” Menatap sendu Zahra, teringat akan dirinya yang tidak pernah melihat sang ibunya secara langsung.
Zahra mengangguk kembali, mereka melangkah bersama ke dalam rumah sakit.
Zahra berbicara pada pihak ruang sakit, akan memindahkan ibunya Zahra ke rumah sakit yang lengkap dan akan membayar semua tagihannya.
“Zahra, semuanya sudah beres. Ini uang untuk kalian, aku tahu saat ini kamu belum mendapatkan pekerjaan. Semoga ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian selama sebulan.” Menyerahkan amplop yang cukup tebal di tangan Zahra.
“Nona, ini terlalu banyak. Nona sudah membayar tagihan rumah sakit, saya sudah sangat bersyukur. Nona, saya mohon jangan seperti ini.”
“Sstt ... aku tidak terima penolakan. Ingat!! Uang ini untuk kebutuhan kalian, bukan uang sogokan karena kamu sudah bersedia menjadi istri Kakakku nanti!"
Zahra hanya pasrah dan mengangguk.
“Oh ya, satu lagi. Jangan beritahu siapapun!” ujar Meysi mengingatkan.
Meysi tersenyum simpul melihat Zahra mengangguk. Sebelum pergi, Meysi mencium pipi Zahra terlebih dahulu.
Zahra membulatkan matanya.
“Jangan kaget. Ini sebagai tanda kamu sudah menjadi Kakak iparku,” Ujarnya dengan senyum yang mengambang, lalu meninggalkan Zahra yang masih mematung dengan uang di tangannya.
Tangan Zahra gemetar melihat jumlah uang yang begitu banyak di tangannya, seumur hidupnya ia belum pernah memegang uang sebanyak itu.
***
Tiba di rumah, Meysi melangkah dengan hati yang berbunga-bunga. Reyhan yang duduk di sofa, menatapnya heran. Karena beberapa hari ini, Meysi tampak selalu murung.
“Dari mana? Bukan kah, Toni bilang jika kamu pulang lebih dulu?” tanya Reyhan sambil menyeruput kopinya.
“Ish, dasar Paman dingin! Kenapa mulutnya ember sekali?!” kesal Meysi dalam hati.
“Oh itu. Aku bertemu temanku di rumah sakit, karena Ibunya sedang sakit.”
Reyhan mengangguk mengerti.
“Baiklah, aku mau ke kamar dulu,” pamit Reyhan beranjak dari tempat duduknya.
Setelah kepergian Reyhan, Meysi masih duduk di sofa membalas pesan dari Mesya kembarannya.
“Ih, malas sekali! Ada Paman dingin kemari,” gumam Meysi dalam hati hendak beranjak dari duduknya, karena melihat kedatangan Toni.
“Untuk apa ada memberikan uang sebanyak itu pada wanita yang ada di rumah sakit? Apa itu sebuah sogokan?” tanya Toni sambil menyeruput kopinya yang ia bawa dari dapur.
Deg!
Meysi sudah menduga, jika Toni sudah mengetahui hal ini.
“Paman jangan asal bicara. Dia temanku, saat ini dia sedang kesusahan ekonomi. Wajar Kan aku membantunya, sebagai teman yang baik?” menatap Toni dengan senyum di paksakan, dengan jantung yang hampir copot karena gugup.
Toni mengangguk mengerti, setelah tidak ada pertanyaan lagi dari Toni, Meysi bergegas menaiki tangga menuju ke kamarnya.
Toni tersenyum melihat punggung Meysi yang mulai menjauh menaiki tangga, Toni teringat akan kebaikan nenek Dira yang sama persis dengan Meysi yang suka membantu pada orang yang sedang mengalami kesusahan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Hanum Anindya
semoga saja Zahra bisa menempati janji pada meysi tanpa paksaan dari meysi sendiri.
2023-01-04
0