Pagi yang cerah, terdengar suara kicauan burung seperti sedang bernyanyi menyambut sang mentari pagi.
Cahaya sang mentari sudah masuk melalu celah-celah jendela ke kamar milik gadis yang masih betah dalam selimutnya, jam Walker berdering pun tidak membuatnya bangun tempat tidurnya bahkan menarik selimutnya untuk menutupi sebagian tubuhnya.
Drrtt ! drrtt !
Panggilan masuk berulang-ulang kali, hingga membuat dirinya kesal.
“Ish ... siapa sih?! Mengganggu saja!” gerutu Meysi membuka selimutnya dengan kasar, dengan suara yang masih terdengar parau.
Ia membulatkan matanya melihat nama yang tertera di layar ponsel miliknya.
“Kak Rey!” pekiknya.
Meysi melirik jam dinding yang sudah pukul 09.00 pagi.
“Astaga! Aku harus ke kantor dan bekerja. Gawat! Gawat!” gerutunya sambil melangkah menuju kamar mandi dan mengabaikan panggilan teleponnya.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk membersihkan dirinya, Meysi melangkah dengan tergesa-gesa keluar dari kamar mandi dan segera mengambil pakaian kerjanya.
Seperti biasanya, dirinya hanya memoles tipis make up di wajahnya.
“Huftt ... kenapa aku bisa bangun kesiangan? Gawat ini! Aku tidak di berikan uang jajan oleh kak Reyhan,” gumamnya kesal pada dirinya sendiri.
Ia bergegas keluar kamar, tidak lupa ia mengambil ponselnya dan melihat begitu banyak panggilan.
“Mampus, dua belas panggilan tidak terjawab! Astaga!” menepuk keningnya.
Ia memasukkan ponselnya ke dalam tasnya, dengan berlari kecil menuruni tangga.
“Paman Toni! Dimana kah dikau,” panggil dengan setengah berteriak.
“Iya, Nona. Jam berapa ini? Apa begitu cara bos mencontohkan kepada karyawannya!” ujar Toni sambil melangkah menuju mobil.
“Iya, iya maaf. Aku ketiduran, aku sangat lelah sekali semalam,” ujar Meysi.
“Hm ...” deham Toni.
Dua tahun kepergian Annisa, Toni juga sudah menikah dengan Mala yang bekerja di rumah nenek Dira dulu.
Bahkan kini mereka sudah mempunyai dua orang putra, kedua putra mereka juga bekerja di kantor yang sama dengan Meysi.
Mala masih tetap tinggal di rumah Nenek Dira, itu semua atas permintaan Reyhan.
Rumah nenek Dira yang sangat besar, begitu kesepian jika hanya tinggal bertiga dengan adiknya.
Bahkan semua biaya kuliah kedua putra Toni pun di tanggung oleh Reyhan, karena sudah menganggap Toni sebagai keluarganya.
“Maaf,” lirih Meysi.
“Cepat masuklah Nona, setengah jam lagi kita ada meeting penting. Hari ini ada kunjungan penting ke kantor kita, Nona tahu itu bukan?”
Meysi hanya mengangguk, dengan wajah yang cemberut dirinya masuk ke dalam mobil. Bukan kesal pada Toni, akan tetapi kesal terhadap dirinya sendiri karena terlambat bangun.
20 menit mereka sudah tiba di kantor.
Meysi keluar dari mobil dengan langkah yang tergesa-gesa memasuki lift, di ikuti oleh Toni di belakangnya.
Toni tetap di posisi yang sama seperti dulu, sambil mengajarkan kedua putranya dan juga Meysi di kantor tersebut.
Sedangkan Reyhan fokus pada bisnis ayahnya Erwin, bersama Mesya yang ikut bersama dengannya mengelola bisnis tersebut.
Dengan nafas yang terengah-engah, Meysi masuk ke ruangannya.
Meletakkan tas kecil miliknya dan menggantikan sepatunya dengan sepatu pantofel miliknya yang sudah ia sediakan di ruangan tersebut.
“Paman, apa mereka sudah datang?” tanya Meysi pada Toni yang baru masuk ruangan.
“Belum, mereka masih menuju kemari.”
Terlihat Meysi menghela nafas lega.
“Oh syukurlah. Paman, tolong jangan sampai Kak Reyhan mengetahui ini. Aku berjanji, tidak akan mengulangi ini lagi.”
“Hm ...” deham Toni sambil memeriksa berkas penting yang akan mereka bawa ke ruang meeting nanti.
Meysi mengambil ponselnya dan mengetikan sesuatu lalu mengirim pesan tersebut kepada kakaknya.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan terdengar dari luar ruangan.
“Masuk,” Ujar Toni tanpa menengok ke arah pintu.
“Permisi, Tuan, Nona. Mereka sudah tiba dan sedang di lift menuju kemari,” Ujar sekretarisnya.
“Iya, terima kasih. Kami akan menunggu di ruang meeting, antarkan mereka ke sana,” sahut Toni.
“Iya, Tuan.”
Meysi begitu sulit untuk menelan saliva, untuk pertama kalinya melihat Toni yang sangat dingin hanya karena dirinya terlambat ke kantor.
“Ayo, Nona. Meeting akan segera di mulai!”
Meysi langsung mengangguk.
Meysi melangkah mengikuti belakang Toni, ia hanya jalan pelan karena ia sedikit kesusahan memakai pantofel.
Meysi duduk di kursi yang ada di rumah meeting tersebut, sambil menunggu ia memeriksa berkas yang ia bawa.
“Silakan masuk Tuan,” ucap sekretaris mereka dalam bahasa Inggris.
Toni dan Meysi berdiri dari tempat duduknya, lalu bergantian mengulurkan tangannya.
“Selamat datang di kantor kami, Tuan.”
Toni mengulurkan tangannya pada pria paruh baya tersebut, begitupun dengan Meysi.
“Selamat datang dan terima kasih sudah menyempatkan waktu anda untuk datang ke kantor kami, Tuan,” tutur lembut Meysi dengan senyum di bibir ranumnya.
Mereka berbicara dalam berbahasa Inggris, diterjemahkan oleh author ya.
“Oh, iya . terima kasih banyak sudah menyambut kami,” sahutnya membalas uluran tangan Meysi.
“Apa kamu adalah pemilik perusahaan yang begitu maju dan berkembang pesat ini?” tanyanya sambil duduk di kursi.
Toni dan Meysi saling menatap sejenak, Toni mengangguk tanda ia memberi kesempatan untuk Meysi menjelaskan semuanya.
“Sebenarnya bisnis ini milik Nenek dari almarhum ibuku, kami hanya melanjutkannya saja. Karena mereka sudah tiada saat ini.”
“Oh jadi begitu. Produk kalian ini memang sangat bagus, bahkan sangat laku terjual di dalam negeri dan maupun di luar negeri. Tak salah kata orang, ada harga ada barang.”
Pria paruh baya itu mengangkat kedua jempol tangannya, karena sangat mengagumkan kualitas produk mereka.
“Iya, Pak. Kami sangat senang mendengarnya jika anda menyukai produk kami. Setiap tahun kami selalu meluncurkan produk yang baru, dengan bahan yang sama akan tetapi dengan desain yang berbeda.”
“Dan itu selalu habis terjual?” tanya pria tersebut.
“Iya, Pak,” sahut Meysi tanpa ragu.
“Sangat keren. Baiklah, kedatangan saya kemari selain di undang ke pernikahan adiknya oleh Tuan Reyhan, saya juga memang sudah lama ingin berkunjung kemari. Namun, waktunya begitu sulit, karena padatnya waktu.”
“Suatu kehormatan bagi kami anda sudah berkunjung ke kantor kami, Tuan.”
Pria tersebut sangat tertarik ingin bekerja sama dengan perusahaan mereka, bahkan ia harus mengatur waktunya untuk bertemu Toni dan Meysi kembali. Karena hari ini ia harus kembali ke negara asalnya.
Cukup lama berbincang di ruang meeting tersebut, pria tersebut akhirnya berpamitan untuk pulang.
Toni memberi kesempatan untuk Meysi yang berbicara banyak hari ini, agar bisa menjalankan bisnis tersebut tanpa dirinya lagi.
Karena di usianya saat ini, seharunya ia sudah pensiun. Hanya demi nenek Dira ia harus tetap bekerja, apalagi mengingat jasa nenek Dira pada keluarganya.
“Terima kasih atas waktu kalian, lain kali berkunjungan lah ke kantorku, aku akan menunggu kedatangan kalian.”
“Sama-sama Tuan. Kami akan mengatur waktunya untuk bisa berkunjung ke kantor anda,” sahut Toni.
Mereka saling mengulurkan tangannya, untuk bersalaman.
Meysi menghela nafas lega setelah melihat kepergian pria tersebut.
“Aku lapar sekali,” gumamnya sejak tadi ia menahan lapar.
Karena akibat bangun kesiangan, hingga melewatkan sarapannya.
Meysi kembali ke ruangannya untuk menggantikan sepatunya, karena sudah masuk jam makan siang Meysi bergegas ke kantin.
Sering kali Toni memesan makanan untuk Meysi agar dirinya tidak perlu bersusah payah untuk turun ke kantin, akan tetapi Meysi selalu menolak karena menurutnya makan di kantin itu lebih nikmat.
*
*
*
Semoga kalian suka dengan cerita author yang baru ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Hanum Anindya
suka begitu. itu kenapa meysi sampe bangun jam 09.00 emang nggak ada yang bagunin ya?
wah Toni setia juga ya🥰
2022-12-15
0