Bab 10

Sore hari setelah pekerjaannya selesai, karena hari ini hari terakhirnya ia bekerja, maka dari itu ia harus menyelesaikan pekerjaannya tanpa tertinggal sedikit pun.

Zahra berjalan gontai menyusuri trotoar jalanan, jarak antara rumah sakit dan tempat ia bekerja cukup dekat. Maka dari itu ia memilih untuk berjalan kaki saja, untuk menghemat uangnya.

“Dari mana aku mendapatkan uang lagi? Membayar cicilan di rumah sakit, lalu membayar perawatan Ibu sekarang, untuk makan, rumah kontrakan dan belum lagi aku harus mengganti rugi 30 juta itu. astaga!” gumam Zahra dalam hati, ia tampak memijit pelipisnya yang terasa pusing.

Zahra duduk sejenak di halte bus, karena merasa kakinya sangat pegal karena sudah berjalan kaki.

“Aku harus mencari uang ke mana lagi?” lirihnya, tatapan sendu melihat mobil yang berlalu lalang.

“Arga. Iya Arga pasti bisa membantuku untuk mencari pekerjaan,” gumamnya.

Ia merogoh ponsel miliknya di dalam tas kecilnya, akan tetapi ponsel tersebut kehabisan daya.

“Huftt ... sebaiknya aku pergi ke rumah sakit saja sekarang. Agar aku bisa secepatnya menghubungi Arga, Ibu juga pasti menungguku,” gumamnya bergegas pergi dari halte tempat ia beristirahat sejenak.

Ia melanjutkan perjalanannya menuju rumah ke rumah sakit.

*

*

*

Malam hari, Meysi duduk di balkon sambil memangku laptop miliknya, terlihat Arga juga menyusul dan membawa teh hijau beserta camilan untuknya.

“Sedang apa Kak?” tanya Arga meletakkan teh hijau tersebut di meja yang ada di hadapan Meysi.

“Mm, itu. Baru saja selesai melakukan panggilan video pada Mesya,” sahutnya.

Arga mengangguk mengerti.

“Bagaimana kabar kak Mesya? Baru beberapa hari kepergian Kak Mesya, rumah ini terasa sepi. Apalagi wajah orang yang di sampingku ini tampak mendung, eh maksudnya langit malam ini terlihat mendung.”

“Ish ... apaan sih! Lebay banget,” tutur Meysi terlihat cemberut.

“Eh sebentar, ada yang menghubungiku.” Arga merasakan getar ponsel di saku celananya.

Meysi hanya mengangkat bahunya.

“Zahra,” gumamnya melihat nama Zahra yang tertera di layar ponselnya.

Mendengar nama tersebut, Meysi langsung menoleh ke arah Arga yang hendak beranjak menerima telepon tersebut.

“Heh! Mau ke mana? Kamu angkat telepon di sini saja,” ujar Meysi menarik lengan baju Arga.

Arga mengangguk lalu menggeser layar tersebut untuk menerima panggilan, lalu menekan loudspeaker agar Meysi dalam mendengar percakapan mereka.

Entah kenapa, Meysi begitu sangat ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Meysi takut, jika Zahra mengadu pada Arga tentang ia meminta ganti rugi dengan nominal yang cukup mahal.

“Halo, Zahra. Ada apa nih, tumben banget menghubungiku di jam segini? Bukannya kamu kerja hingga malam?” tanya Arga.

“Hm ... iya. Kamu dimana sekarang? Sebenarnya aku sangat malu padamu, tapi ini untuk pertama kalinya aku meminta bantuanmu.”

“Bantuan apa? Katakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu. Jangan malu, kita sudah berteman lama.”

“Anu, ini.” Zahra tampak ragu mengatakannya.

Meysi masih setia mendengarkan Zahra berbicara, sejak dari awal dirinya memang penasaran akan sosok Zahra.

Arga masih sabar menunggu Zahra untuk berbicara, karena terdengar jika Zahra menghela napas berulang kali.

“Arga, aku sangat butuh pekerjaan. Apa di kantormu atau di mana saja, yang membuka lowongan pekerjaan dengan ijazah SMA.”

“Kamu butuh pekerjaan? Bukankah kamu saat ini masih bekerja?” tanya Arga serius.

“Aku sudah tidak bekerja lagi, karena perusahaan itu sudah hampir bangkrut. Aku butuh pekerjaan, karena aku harus membayar cicilan rumah sakit yang menunggak. Apalagi saat ini Ibumu sedang terbaring di rumah sakit.”

Deg!

Meysi merasa sangat bersalah pada Zahra, karena meminta ganti rugi tersebut tanpa tahu masalah ekonomi seseorang.

“Aku akan mengirimkan mu uang, kamu bisa memakainya. Jika kamu sudah ada uang, ku bisa mengembalikannya atau tidak kamu kembalikan juga tidak masalah bagiku.”

“Tidak, tidak Arga. Aku tidak butuh uang, tapi aku butuh pekerjaan,” tolak Zahra.

Arga sangat tahu, jika Zahra pasti menolak uang darinya.

Arga menatap Meysi terlebih dahulu, meminta pendapat darinya.

“Matikan dulu teleponnya,” ujar Meysi memberi kode dari mulutnya akan tetapi tidak mengeluarkan suara.

“Aku akan menghubungimu nanti, aku akan bertanya pada Bosku terlebih dahulu. Apakah ada lowongan di kantor?” sahut Arga.

“Baiklah, terima kasih banyak Arga. Aku akan menunggu kabar baik ini dari kamu,” tutur Zahra dengan suara penuh harap.

Klik!

Suara panggilan berakhir.

“Aku jadi merasa bersalah,” ujar Meysi menyenderkan bahunya.

“Memangnya apa yang Nona lakukan?” tanya Arga.

Meysi melotot kan matanya pada Arga yang memanggilnya dengan sebutan Nona.

Arga nyengir kuda memperlihatkan gigi putihnya.

“Aku minta ganti rugi padanya, karena gaunku terkena noda waktu itu.”

Arga masih menatapnya.

“30 juta,” lirihnya Meysi.

Arga yang mendengarnya langsung membulatkan matanya, apalagi nominal yang di sebutkan oleh Meysi begitu sangat besar. Ia sangat tahu perekonomian Zahra yang pas-pasan, ia bekerja sendiri untuk mencukupi kehidupan mereka.

“Kak. Apa itu tidak berlebihan? Setahuku, Kakak tidak pernah kekurangan uang.”

“Kakak bukan mengurangi bebannya, tapi malah menambah bebannya. Apa Nona tahu?! Tapi aku rasa Nona tahu, jika dia itu tulang punggung keluarga! Aku tidak menyangka Nona setega itu!” kesal Arga kembali dengan memanggilnya Nona.

“Arga, aku tidak bermaksud ....”

“Sudah cukup! Aku rasa anda tahu apa yang harus Nona lakukan,” sela Arga pergi meninggalkan Meysi yang terdiam mematung.

Untuk pertama kalinya, Meysi melihat Arga begitu marah, Meysi berulang kali menghela napas.

“Apa yang terjadi Nona? Kenapa Arga begitu marah sekali? Apa perlu aku menghukumnya, jika dia berbuat sesuatu yang tidak baik padamu, katakan padaku,” ujar Toni yang datang menghampiri dirinya.

Ternyata Toni tanpa sengaja mendengar Arga yang begitu marah pada Meysi.

“Apa dia punya kekuatan menghilang, atau dia hantu? Kenapa Paman dingin ini tiba-tiba ada di sampingku?!” gumam Meysi menatap Toni yang masih menyeruput kopinya.

“Nona, aku bertanya padamu!” dengan suaranya terdengar pelan namun tajam.

“Hah, tidak. Kami hanya salah paham,” sahut Meysi merapikan laptopnya.

“Apa perlu aku bantu agar tidak terjadi salah paham lagi di antara kalian? Aku bisa menghukumnya, agar meminta maaf padamu!”

“Tidak! Tidak perlu, aku sudah dewasa! Aku bisa menyelesaikan masalah ku sendiri!” ketus Meysi berlalu pergi.

Meysi meninggalkan Toni yang masih berdiri di balkon untuk masuk ke dalam kamarnya.

“Kali ini aku tidak membantumu, Nona. Karena pesan almarhum Nyonya Dira, jika aku tidak terlalu memanjakan kalian. Aku akan melihat sampai dimana Nona bertanggung jawab, atas apa yang Nona sudah lakukan,” gumam Toni.

Toni sudah mengetahui apa yang di lakukan oleh Meysi, karena dirinya selalu meminta orang suruhannya agar mengikuti ke mana pun Meysi ataupun kembarannya Mesya.

Bahkan Toni sudah tahu jika Meysi saat ini berusaha ingin menjodohkan kakaknya dengan wanita yang bernama Zahra.

Tak dapat di pungkiri, jika dirinya juga setuju dengan tindakan Meysi yang ingin menjodohkan Reyhan. Karena usia Reyhan yang sudah cukup dewasa, sudah saatnya untuk memikirkan kehidupannya.

Tapi berbeda dengan Reyhan yang tidak sama sekali memikirkan untuk menikah, baginya memiliki kedua adik kembar yang ia sayangi, sudah cukup membuatnya bahagia.

***

Terpopuler

Comments

evagibran pou

evagibran pou

Ckck meysi kamu malah menambah beban

2023-01-02

0

Annisa

Annisa

Meysi tindakan mu tidak Di benarkan, kasihan Zahra yang lagi kesulitan uang

2023-01-02

0

Hanum Anindya

Hanum Anindya

meysi memang keterlaluan sih sama Zahra meminta ganti rugi 30 juta. haruh meysi

2023-01-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!