Bab 14

Tiga Minggu sudah Zahra berkeliling menyebarkan surat lamarannya, akan tetapi tidak ada yang memanggilnya untuk bekerja.

Saat ini ia hanya Zanira adik perempuannya yang bekerja sebagai SPG (Sales Promotion Girl) , Zanira baru dua Minggu bekerja di tempat itu.

Ia bahkan bingung harus mencari uang ke mana lagi, seminggu lagi ia harus membayar rumah sewa mereka.

Zahra berjalan gontai pulang menuju ke rumahnya. Saat tiba di depan pintu rumahnya, Zahra membulatkan matanya melihat sang ibu tergeletak di lantai.

“Ibu, bangun Bu.” Mencoba menggoyangkan lengan ibunya, Zahra meletakkan jari telunjuknya tepat di depan kedua lubang hidung ibunya.

“Masih bernafas. Zain ...” teriak Zahra memanggil adik laki-lakinya, masih berusaha mengangkat tubuh kecil ibunya ke atas kursi.

“Kak,” panggil Zain pelan dari luar rumah.

“Dari mana saja kamu?” menatap tajam adiknya itu, karena sebelumnya ia sudah berpesan agar menjaga ibunya saat ia pergi mencari pekerjaan.

“Maaf, Kak. Zain ada kerja kelompok, kata Ibu Zain boleh pergi,” sahutnya dengan suara bergetar menahan tangis.

Zahra menghela napas berat.

“Iya sudah. Sekarang pesan taksi dari ponsel Kakak, kita bawa Ibu ke rumah sakit.”

“Ibu tidak apa-apa, ibu hanya pingsan. Sekarang dengarkan apa yang Kaka ucapkan, kita harus segera membawa Ibu ke rumah sakit,” tegasnya.

Zain mengangguk, lalu segera memesan taksi melalui ponsel milik Zahra.

Sambil menunggu taksi, Zain membuatkan teh hangat tawar untuk ibunya yang terlihat sudah mulai siuman.

Sambil menunggu taksi datang, dirinya menyempatkan untuk membuatkan teh hangat, lalu dengan telaten Zahra membantu ibunya untuk minum teh tersebut.

“Zahra, Ibu baik-baik saja.”

“Ibu bicara saja tidak ada tenaga. Zahra tidak mau tahu, kita ke rumah sakit sekarang.”

Ibunya hanya pasrah, karena kondisinya kembali menurun. Ia tidak mengiyakan dan juga tidak menolak.

Tak lama taksi yang mereka pesan sudah tiba di titik lokasi, Zain membantu sang kakak menggandeng sang ibu untuk masuk ke dalam mobil.

“Dek, jaga rumah ya. Jangan lupa kunci pintu, hingga Kak Zanira pulang,” pesannya pada adik laki-lakinya tersebut.

“Iya, Kak.”

Zahra langsung masuk ke dalam mobil, setelah berpamitan pada adik yang paling bungsu itu.

Lima belas menit kemudian, mereka tiba di rumah sakit dimana biasa ibunya di rawat.

Para perawat membantu Zahra untuk meletakkan di bangsal, lalu para perawat dengan sigap membawanya ke ruang UGD.

Setelah melakukan serangkaian periksaan, ibunya kembali di rawat di rumah sakit. Karena kondisinya sangat tidak mungkin untuk di rawat jalan, seperti permintaan ibunya di dalam berkata pada dokter.

Zahra duduk di samping bangsal tersebut, melihat sang ibu sedang istirahat.

“Bu, doakan Zahra agar mendapatkan uang untuk membayar tagihan rumah sakit ini,” gumamnya dalam hati, sambil menggenggam tangan sang ibu.

Terbesit di benaknya, ia mengingat perkataan Arga beberapa Minggu yang lalu. Jika menikah dengan kakak dari Meysi, ia bisa membawa ibunya berobat ke mana saja.

“Sepertinya, aku harus mengambil jalan ini. Maafkan aku Bu, ini demi kesehatan Ibu dan kita semua. Terpaksa Zahra mengambil jalan pintas ini,” gumamnya.

Setelah puas bergumam, ia merogoh ponsel miliknya dari dalam tas.

Lalu menghubungi seseorang.

Tut! Tut!

Panggilan terhubung, tampak tangan Zahra gemetar memegang ponsel tersebut. Karena panggilannya belum di angkat, Zahra langsung mengakhirinya.

Ia tampak menghela napas lega

***

Di kantor, Meysi baru keluar dari rumah meeting. Karena perutnya merasa sangat lapar, ia melangkah ke kantin untuk makan siang.

Selama tiga Minggu ini, Arga begitu dingin padanya. Tidak seperti biasanya, jika di rumah mereka bertiga dengan adik Arga selalu di balkon untuk bercanda gurau.

Sering kali Meysi mencoba berdamai pada Arga, akan tetapi sikap Arga masih saja dingin padanya.

Hingga akhirnya ia memutuskan untuk diam, agar memberi Arga ruang.

Tiba di kantin, Meysi melihat Arga yang tampak makan sidang dengan lahap.

Meysi langsung memesan makanan untuknya, namun sialnya ia tidak menemukan meja untuk dirinya makan.

Di samping Arga ada yang kosong, sangat tidak mungkin baginya duduk di kursi kosong tersebut. Sedangkan Arga masih bersikap dingin padanya.

Meysi memutuskan untuk membawa makanannya ke ruang kerja, melihat kepergian Meysi, Agra menghela napas berat.

“Sepertinya, sikapku padanya sudah keterlaluan. Aku akan mencoba bicara padanya nanti,” gumamnya dalam hati.

Di ruangannya, Meysi tampak lahap makan. Karena perutnya juga sudah terasa sangat lapar.

“Tumben Nona makan di ruang kerja? Kenapa tidak meminta Arga untuk mengantarkan Nona makanan, tanpa harus repot ke kantin.”

“Hm ... aku hanya ingin berolah raga. Karena badanku terasa lebih gendut,” sahutnya berbohong.

Toni mengangguk mengerti, Toni keluar dari ruangannya.

Setelah selesai makan, meraih ponselnya sambil minum dari botol air minumnya.

Uhuk ... Uhuk ... Meysi tersedak, melihat dua panggilan tak terjawab.

“Zahra! Kenapa dia menghubungiku?” gumamnya melihat nama Zahra.

***

Terpopuler

Comments

Hanum Anindya

Hanum Anindya

yupz kadang kalau kepepet sering kepikiran melakukan apapun demi orang tuanya atau saudaranya.

2023-01-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!