Arman mendorong pelan tubuh Nadira dan membawanya kembali masuk ke dalam rumah sederhana mereka.
"Mas, jangan dorong aku. Aku butuh penjelasan darimu soal hutang-hutang yang dikatakan oleh para lelaki itu!" kesal Nadira yang mencoba berontak.
"Iya-iya, Sayang. Nanti Mas jelaskan, tetapi sekarang diamlah di sini dan jangan pernah keluar dari rumah, apa pun yang terjadi. Kamu mengerti?" Arman mencoba memberi pengertian kepada Nadira. Tatapan tajam lelaki itu membuat Nadira tahu bahwa saat ini kondisi mereka benar-benar tidak baik.
"Tapi, Mas—" Lagi-lagi Nadira mengelak. Namun, Arman langsung menyela ucapan wanita itu dengan mendaratkan sebuah ciuman hangat di keningnya.
"Aku mencintaimu, Dira."
"Aku juga, Mas," lirih Nadira yang akhirnya menitikkan air mata.
Amara yang sejak tadi berada di pelukan Nadira, memperhatikan sang Ibu yang tiba-tiba menangis. Ia masih kecil dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orang tuanya.
"Ibu kenapa menangis?" tanya Amara sembari menyeka air mata Nadira dengan tangan kecilnya.
"Ibu tidak apa-apa kok, Nak." Nadira mencoba tersenyum kepada Amara walaupun saat itu ia benar-benar ketakutan sekaligus sedih ketika harus menyaksikan Arman menghadapi kedua lelaki sangar itu sendirian.
Sementara itu di halaman luar.
Para tetangga mulai ramai mengintip ke halaman rumah Arman, di mana kedua anak buah juragan Bahri masih berada di sana. Namun, sayang di antara banyaknya manusia yang menyaksikan hal itu, tak ada satu pun yang sudi membantu Arman. Mereka lebih takut untuk berurusan dengan para rentenir itu.
"Kami sudah bosan mendengar berbagai alasan darimu, Arman. Sekarang, serahkan uang itu atau kami geledah isi rumahmu dan ambil seluruh harta bendamu!" ancam salah satu lelaki sangar itu.
"Ja-jangan, Mas! Saya mohon, beri saya waktu hingga siang nanti. Saya berjanji akan menyerahkan uang itu sendiri kepada kalian," lirih Arman sambil memelas menatap kedua lelaki sangar itu.
"Halah, banyak alasan!"
Akhirnya kedua lelaki itu kehabisan rasa sabarnya menghadapi Arman yang menurut mereka terlalu banyak beralasan. Mereka memaksa masuk ke dalam rumah Arman dengan mendorong tubuh lelaki itu.
"Minggir!" teriak lelaki itu sambil mendorong tubuh Arman dengan kasar hingga Arman pun tersungkur di tanah.
Bugkhhh!
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh mereka. Mereka menerobos masuk dan mulai mengobrak-abrik isi rumah sederhana peninggalan kedua orang tua Nadira tersebut.
Nadira berteriak histeris ketika kedua lelaki sangar itu mengobrak-abrik kediamannya dengan sesuka hati. Kursi dan meja yang tersusun rapi, ditendang dan dilempar begitu saja hingga ada beberapa yang patah.
Barang-barang lainnya pun tidak luput dari sasaran kedua lelaki sangar itu. Mereka mulai menghamburkan seluruh isi lemari pakaian serta benda-benda lainnya di rumah sederhana itu.
"Jangan, Tuan! Jangan hancurkan rumahku," jerit Nadira sambil menangis histeris. Sementara Amara pun sama, bocah cantik itu ikut menangis ketakutan di dalam pelukan wanita itu.
"Jangan ikut campur, Cantik. Kami tidak berjanji tidak akan menyakitimu selama kamu mengikuti perintah kami," sahut lelaki sangar itu sambil mencolek dagu Nadira.
Arman yang sejak tadi mengkhawatirkan kondisi anak dan istrinya, bergegas masuk ke dalam rumah lalu memukul lelaki sangar yang sudah berani menyentuh Nadira.
Bugkhhh!
"Singkirkan tangan kotormu dari wajah istriku!" geram Arman dengan wajah memerah.
Setelah memukul lelaki itu, ia pun segera menarik tangan Nadira dan memintanya untuk diam di belakangnya.
Lelaki berwajah sangar itu geram. Wajahnya memerah dan kini tatapan tajamnya tertuju pada Arman. "Berani sekali kamu memukulku, Arman!"
Lelaki sangar itu kembali menyerang Arman dan mereka pun kini berduel dengan hebatnya di dalam ruangan tersebut. Walaupun tak sebanding dengannya, tetapi hal itu tidak menyurutkan nyali Arman untuk melawannya.
Sementara Arman dan lelaki itu tengah berduel, lelaki sangar lainnya malah menghampiri Nadira yang sedang berdiri di pojok ruangan sambil terisak. Lelaki itu menyeringai dan membuat Nadira serta Amara semakin ketakutan.
"Ja-jangan mendekat, Tuan!" teriak Nadira yang ketakutan. Ia semakin mempererat pelukannya bersama Amara yang juga tengah ketakutan.
"Sebaiknya kamu ikut kami, Cantik. Sebagai jaminannya," sahut lelaki itu sambil menyeringai licik.
Ia menghampiri Nadira lalu merebut si kecil Amara dari pelukan wanita itu. Dengan sekuat tenaga, Nadira mencoba mempertahankan buah hatinya. Namun, kekuatan lelaki itu berpuluh-puluh kali lipat lebih besar darinya, hingga ia pun harus menyerah kalah.
Tangis Amara semakin terdengar menyayat hati. Si kecil itu terus berontak dan berteriak memanggil ibu dan ayahnya. Lelaki sangar itu bergegas meletakkan Amara ke lantai lalu mencengkram tangan Nadira dengan begitu erat.
"Ayo! Ikut aku, Cantik!" serunya sambil tertawa jahat.
"Lepaskan saya, Tuan! Saya mohon!" lirih Nadira sembari memelas, memohon agar lelaki itu melepaskannya. Namun, harapan tinggal harapan. Lelaki itu malah semakin bersemangat ingin membawanya pergi.
"Mas Arman, tolong aku!" teriak Nadira yang kini sudah berada di ambang pintu bersama lelaki itu.
"Ibu ... !" teriak Amara sambil terisak.
Arman yang masih asik berduel dengan lelaki sangar itu, segera berbalik dan menyaksikan istrinya dibawa paksa oleh anak buah juragan Bahri. Ia pun bergegas menyusul, tetapi belum sempat berhasil menyelamatkan Nadira dari cengkeraman orang jahat itu, tiba-tiba langkahnya tertahan.
Lelaki yang tadi berduel dengannya mendaratkan sebuah pukulan keras di kepala Arman hingga membuat lelaki itu jatuh tak berdaya.
"Ingat ya, Arman. Jika kamu ingin istrimu kembali dengan selamat, maka segeralah lunasi hutang-hutangmu. Kalau tidak, istrimu yang cantik itu akan bergelar menjadi istri mudanya juragan Bahri. Kamu mengerti?"
Lelaki sangar itu melemparkan sebuah pentungan yang terbuat dari kayu, yang ia gunakan untuk memukul kepala Arman barusan ke sembarang arah hingga membuat Amara semakin ketakutan.
"Ayah!" ucap Amara sembari menghampiri Arman yang masih tergolek di lantai rumahnya.
Arman yang tidak berdaya, hanya bisa menatap Nadira yang kini mereka seret ke mobil milik mereka. Jangankan menyelamatkan istrinya itu, ia pun masih tidak berdaya menggerakkan badannya sendiri.
"Maafkan aku, Nadira ...," lirih Arman sambil menitikkan air matanya.
Akhirnya kedua lelaki sangar itu berhasil membawa dengan paksa Nadira bersama mereka. Sementara Arman dengan tertatih-tatih mencoba bangkit lalu memeluk Amara dengan erat.
"Ayah, bawa ibu kembali!" lirih bocah itu sambil sesenggukan.
"Kamu jangan menangis ya, Sayang. Ayah pasti akan membawa ibu Amara kembali ke sini bersama kita," jawab Arman, mencoba menenangkan bocah mungilnya itu.
Sementara itu di dalam mobil.
Salah seorang lelaki sangar itu mengikat kaki dan tangan Nadira yang sejak tadi terus berontak dan mencakar tubuhnya hingga terluka.
"Diam dan dengarkan perintah kami, Nadira! Kalau kamu masih berontak seperti ini, maka kami tidak akan segan-segan untuk menyakitimu," ancam lelaki sangar itu sambil melototkan matanya menatap Nadira.
"Cuih!" Nadira meludah sembarang. "Aku harap Mas Arman melaporkan kalian kepada polisi, biar kalian membusuk di penjara!"
Bukannya takut, kedua lelaki itu malah tergelak mendengar ucapan Nadira. "Aku harap begitu, agar suamimu tahu dengan siapa ia berhadapan," sahut lelaki itu yang kembali tergelak.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Rini
salah satu jalan ke nyonya ira tapi arman harus membayar mahal dengan mengorbankan rumah tangganya
2022-12-16
0
Siti Nurjanah
jngn2 itu sengaja di suruh nyonya ira biar si arman terjerat
2022-12-16
0
Puja Kesuma
miris kali liat kesusahan arman... gk tega...
2022-12-16
1