Di kediaman Juragan Bahri.
Lelaki paruh baya dengan perawakan gemuk serta berperut buncit itu tengah sibuk memperhatikan sebuah KTP yang sedang ia pegang.
"Jadi namamu, Arman?" tanya Juragan Bahri sambil melirik Arman dengan wajah sinis.
"Ya, Juragan." Arman mengangguk cepat sambil menyunggingkan sebuah senyuman.
"Hmmm ...." Lelaki itu bergumam sambil memperhatikan Arman dengan seksama. "Kamu sudah tahu 'kan bagaimana sistem meminjam uang kepadaku?"
"Ya, Juragan. Kedua anak buah Anda sudah memberitahu saya dan saya sudah menyetujui sistemnya," jawab Arman dengan mantap.
Lelaki paruh baya itu mengangguk pelan. "Jadi, berapa yang kamu butuhkan?"
"Tidak banyak, Juragan. Hanya 5 juta saja," sahut Arman dengan mantap.
"5 juta, itu artinya kamu harus mengembalikannya kepadaku sebesar 10 juta. Tidak termasuk uang mingguan yang harus kamu setorkan kepadaku hingga kamu bisa melunasi yang 10 juta itu. Bagaimana?" Juragan Bahri menyeringai menatap Arman.
Arman terdiam sejenak sambil berpikir keras. Karena dalam kondisi yang sangat terdesak, Arman pun terpaksa menyetujuinya. "Ya, Juragan. Saya setuju," jawabnya.
Juragan Bahri tertawa lepas. Ia kemudian meraih sejumlah uang dari dalam saku bajunya. Setelah menghitung-hitung jumlah uang tersebut, Juragan Bahri pun segera meletakkan uang tersebut ke atas meja yang ada di hadapannya.
"Ini uangnya, 5 juta. Sekarang hitunglah lagi," ucap Juragan Bahri.
Arman segera meraih sejumlah uang yang ada di atas meja dengan begitu antusias. Tangannya bergetar dan wajahnya terus tersenyum, seolah ia tengah menemukan solusi tepat untuk masalahnya.
Arman menghitung satu persatu lembaran uang tersebut dan setelah beberapa menit, ia pun kembali tersenyum lega. "Terima kasih, Juragan. Jumlahnya pas," ucap Arman.
"Bagus! Dan ingat minggu ini kamu sudah harus menyetorkan uang mingguan itu," sahut Juragan Bahri.
"Ya, Juragan. Tentu saja," jawab Arman dengan begitu yakin.
Setelah mendapatkan uang itu, Arman pun bergegas kembali ke rumahnya. Rumah sederhana yang merupakan peninggalan dari mendiang orang tua Nadira.
"Dira! Amara! Kalian di mana?" panggil Arman dengan begitu semangat memanggil istri dan anak perempuannya.
Namun, hingga berkali-kali Arman memanggil, tak ada sahutan yang terdengar dari kedua perempuan kesayangannya itu. Arman mencari Nadira dan Amara ke seluruh ruangan yang ada di rumah sederhana tersebut dan tenyata mereka memang tidak ada di sana.
"Ke mana mereka?" gumam Arman.
Arman duduk di kursi yang ada di ruang depan sembari menunggu kedatangan Nadira dan Amara. Tidak berselang lama, terdengar langkah kecil Amara dari teras depan. Ia segera menoleh dan ternyata benar, Nadira dan Amara baru saja tiba di kediaman mereka.
"Ayah!" panggil Amara seraya berlari ke arah Arman.
"Eh, Sayang. Kamu dari mana aja?" tanya Arman sembari menggendong Amara dan memeluk tubuh mungilnya.
"Kami dari rumah tetangga, Mas. Aku bantu-bantu membersihkan rumah mereka dan hasilnya lumayan buat jajan Amara," jawab Nadira sambil tersenyum menatap Arman. Wajah cantik wanita itu tampak lelah dan keringatnya pun masih terlihat bercucuran.
Arman menghampiri Nadira kemudian menyeka keringat istrinya itu dengan lembut. "Maafkan Mas yang tidak becus mengurus kalian berdua," lirihnya.
"Tidak apa-apa, Mas. Aku ikhlas, kok."
Arman meraih tangan Nadira kemudian membawanya untuk duduk bersama di kursi plastik tersebut. Ia tersenyum lalu menyerahkan sejumlah uang yang tadi ia dapatkan dari juragan Bahri kepada Nadira.
"Ini uangnya, Dira sayang. Sekarang kamu bisa beli popok dan susu untuk Amara. Dan jangan lupa, beli semua barang kebutuhan kita yang sudah habis."
Nadira mengerutkan kedua alisnya. "Uang dari mana ini, Mas? Kok, banyak sekali?" tanya Nadira kebingungan.
Arman menghembuskan napas berat. Tidak mungkin ia berkata jujur kepada Nadira soal dari mana ia mendapatkan uang itu. Dengan terpaksa, Arman pun memilih bohong.
"Tadi aku bertemu dengan salah satu teman kerjaku dulu. Aku curhat sama dia soal masalah yang kita hadapi saat ini dan mungkin dia merasa iba lalu memberikan uang ini kepadaku," jelas Arman.
"Lalu, bagaimana cara kita mengembalikannya, Mas? Uang ini jumlahnya sangatlah besar," ucap Nadira.
"Kamu tidak usah khawatir, Dira. Dia bilang, kita bisa mengembalikannya jika sudah punya uang," sahut Arman yang akhirnya berhasil menenangkan wanita itu.
"Oh, syukurlah kalau begitu. Ternyata masih ada orang baik yang bersedia membantu kita ya, Mas. Semoga Tuhan membalas semua kebaikannya," ucap Nadira sambil tersenyum lega.
"Amin," sahut Arman.
Hari itu Nadira belanja banyak untuk kebutuhan dapurnya. Begitu pula untuk susu dan popok Amara. Tidak lupa, ia juga mulai mencicil hutang-hutangnya yang tertunggak di warung-warung dekat rumahnya.
"Wah, Dira. Kamu lagi banyak uang, ya? Beli telur sampai sebanyak ini," goda salah satu pemilik warung yang terletak tak jauh dari rumah Nadira berada.
Nadira tampak malu-malu. "Sebenarnya tidak juga, Bu."
Beberapa hari kemudian.
"Ini uangnya, Juragan." Arman menyerahkan sejumlah uang untuk membayar angsuran mingguan seperti yang diminta oleh Juragan Bahri.
Juragan Bahri tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Bagus-bagus! Semoga minggu-minggu ke depannya, kamu akan tetap seperti ini, Arman."
"Amin, Juragan. Semoga dalam beberapa hari ini saya bisa menemukan pekerjaan baru agar bisa melunasi semua hutang-hutang saya kepada Juragan," jawab Arman.
"Ya. Sebaiknya begitu."
"Ehm, saya permisi dulu ya, Juragan. Terima kasih," ucap Arman sembari pergi meninggalkan kediaman lelaki bertubuh gempal itu.
"Ya, ya!"
Juragan Bahri dan kedua anak buahnya terdiam sambil memperhatikan Arman yang melangkah semakin menjauh dari mereka.
"Juragan, kami punya kabar baik untuk Anda. Ini soal Arman," ucap salah seorang anak buah Juragan Bahri sambil menyeringai licik.
"Apa itu?" Lelaki paruh baya itu mulai penasaran.
"Ternyata Arman memiliki istri yang sangat cantik. Tubuhnya mungil dan kulitnya putih, seputih susu, Juragan!" sambung lelaki itu.
"Benar, Juragan. Wanita itu benar-benar cantik dan dia tipe wanita pilihan Juragan," timpal yang lainnya.
Juragan Bahri tersenyum miring sambil mengelus jenggotnya yang tebal. "Benarkah itu? Apakah dia sudah punya anak?"
"Sudah, Juragan. Satu anak perempuan yang baru berusia 2 tahun. Cantik, persis seperti ibunya," sahut lelaki itu lagi.
Juragan Bahri tersenyum lebar. "Tidak masalah. Tapi, kalian serius 'kan kalau wanita itu cantik seperti wanita-wanita idamanku?"
"Ya, Juragan. Tentu saja! Mana pernah kami berani membohongi Juragan."
Lelaki itu meraih ponselnya kemudian mengulurkannya ke hadapan lelaki itu. "Lihatlah, Juragan. Ini foto wanita itu bersama anak perempuannya. Cantik, bukan?"
Juragan Bahri meraih ponsel tersebut lalu memperhatikan foto Nadira bersama Amara yang dengan sengaja diambil oleh anak buahnya.
"Ck ck ck, benar-benar cantik! Siapa nama wanita ini?"
"Nadira, Juragan."
"Nadira? Hmmm, sangat cantik, secantik orangnya." Juragan Bahri kembali menyeringai licik.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Rahmawaty❣️
Haduhhh .. pikir 2 kali arman🤦🏻♀️
2022-12-22
1
AriNovani
Di sini malah kalo ngutang tukang warung gak pernah nyindir 😂 yg ada yg di tagih lebih galak dari yg nangih biasanya 🤣
2022-12-14
1
keke global
Dasar Rentenir
2022-12-06
1