"Mas? Mas kenapa?" Nadira bingung karena Arman tidak membalas sapaannya. Selain itu, Arman juga melengos begitu saja tanpa berkeinginan melihat ke arahnya atau pun anak perempuan mereka, Amara.
"Aku baik-baik saja," sahut Arman yang terus melangkah menuju kamar mereka.
Nadira tidak akan percaya begitu saja. Ia mengikuti langkah Arman hingga ke dalam kamar. Nadira menghampiri lelaki itu lalu meraih wajah Arman yang sejak tadi terus menghindari bertatap mata dengannya.
"Jangan, Nadira." Arman menepis tangan Nadira dan mencoba menyembunyikan wajahnya lagi. Namun, sayangnya Nadira sudah melihat semuanya dan ia pun panik.
"Mas, wajahmu kenapa? Siapa yang telah melakukan ini padamu? Kamu berkelahi, ya?" Nadira yang begitu panik, melontarkan beberapa pertanyaan sekaligus yang membuat Arman bingung untuk menjawabnya.
"Sudahlah, Nadira. Aku baik-baik saja," elaknya lagi sembari duduk di tepian ranjang.
Nadira meletakkan si kecil Amara yang sejak tadi terus berada di gendongannya ke atas tempat tidur lalu duduk di samping suaminya itu.
"Apanya yang baik-baik saja, Mas? Lihat, luka lebammu banyak sekali! Tuh lihat, di sini juga ada," sahut Nadira sambil menelisik seluruh tubuh Arman.
Arman diam dengan wajah sedih menatap dinding kamar. Pikirannya kusut karena terlalu banyak permasalahan yang harus ia hadapi di waktu yang bersamaan.
"Mas, jujurlah padaku. Bukan kah aku ini istrimu?" Nadira mengelus lembut lengan Arman. Mencoba membujuk Arman untuk mengatakan kejadian yang sebenarnya.
Arman menghembuskan napas berat. Ia menoleh kepada Nadira lalu mengelus lembut pipi istrinya itu.
"Nanti aku ceritakan semuanya. Tapi tidak sekarang, Nadira."
Nadira tampak kecewa karena Arman tidak ingin berbagi cerita dengannya. Namun, ia juga tidak bisa memaksa lelaki itu untuk bercerita, apalagi dengan kondisi suaminya yang seperti itu.
"Baiklah, tapi biarkan aku mengobati luka-lukanya Mas, ya?" bujuk Nadira lagi. Arman pun mengangguk dan memberikan izin kepada Nadira untuk mengobati luka-lukanya.
Nadira bergegas menuju dapur kemudian kembali lagi dengan membawa kompres dingin untuk Arman. Perlahan ia mengompres bagian-bagian tubuh Arman yang mengalami luka lebam lalu memberikannya obat pereda nyeri. Sebab ada sebagian yang membengkak akibat pukulan kedua lelaki sangar itu.
"Ya Tuhan, Mas! Aku yakin sekali yang memukulmu lebih dari satu orang. Benar 'kan? Kejam sekali mereka," gerutu Nadira sambil mendengus kesal. Arman masih diam. Ia mengangguk perlahan dan mengiyakan semuanya.
Nadira menghembuskan napas pelan. "Sebenarnya apa yang sudah terjadi pada Mas Arman. Semakin ke sini, semakin banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku," gumam Nadira dalam hati.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Arman masih duduk di kursi ruang depan dengan wajah kusut. Ia memegang sambil sesekali memutar-mutar ponselnya yang sudah dinonaktifkan.
Arman mencoba menghindari Nyonya Ira yang hampir seharian ini terus mencoba menghubunginya. Bahkan sudah hampir ratusan pesan yang dikirimkan oleh wanita itu kepadanya. Entah apa isinya, Arman pun tidak tahu karena tidak berani mengeceknya.
"Mas, kenapa bengong saja? Seharusnya Mas beristirahat sebab besok Mas harus bekerja lagi, kan? Sementara kondisi Mas masih seperti ini," ucap Nadira mencoba mengingatkan suaminya itu.
"Aku tidak bisa tidur, Dira. Kepalaku sakit," jawabnya.
Arman melirik jam dinding butut yang menggantung di dalam ruangan itu. "Aku ingin menemui ibu dulu. Ada yang harus aku bicarakan kepadanya," lanjut Arman sembari bangkit dari tempat duduknya.
"Boleh aku ikut?" tanya Nadira sambil menatap lekat kedua netra Arman.
"Jangan, Nadira. Sebaiknya kamu di sini saja bersama Amara. Aku takut ibu marah karena hutang-hutang kita yang belum juga terbayarkan kepadanya. Aku tidak ingin mendengar ibu memarahimu. Cukup aku saja, kamu jangan," sahut Arman sambil mengelus lembut pipi Nadira.
Nadira pun terpaksa mengangguk. Walaupun sebenarnya bu Ningsih memang suka mengeluh soal hutang-hutang mereka jika bertemu dengannya, tetapi bu Ningsih tidak pernah marah-marah sama seperti yang dikatakan oleh Arman barusan.
"Baiklah kalau begitu."
Sebelum Arman melangkah meninggalkannya, Nadira kembali bersuara. "Ehm, maaf, Mas. Bukankah katanya hari ini Mas gajian? Bolehkah aku memintanya karena hutang kita di warung Bu Ani sudah menumpuk dan Bu Ani ingin kita segera membayarnya," lanjut Nadira.
Arman tampak kebingungan. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sementara semua gajinya sudah habis diambil oleh juragan Bahri.
"Begini, Dira. Karena saking sibuknya, Nyonya Ira lupa menyerahkan gajiku. Tapi kamu tenang saja, barusan Nyonya Ira menghubungiku dan berjanji akan memberikan gajiku besok, beserta bonusnya. Dan ...."
Arman meraih dompetnya lalu memberikan sisa uang yang diberikan oleh juragan Bahri kepada Nadira. "Ambillah ini untuk sementara. Bilang sama Ibu pemilik warung bahwa kita akan membayarnya besok."
Nadira menatap selembar uang berwarna biru tersebut sambil tersenyum kecut. "Ya, sudah kalau begitu, Mas. Nanti biar aku kasih tahu ibu pemilik warung itu."
Arman menepuk pelan pundak Nadira. "Ya, sudah. Aku berangkat dulu, ya."
"Iya, Mas. Tapi ingat, jangan lama-lama. Nanti kemalaman," balas Nadira.
"Ya." Arman pun bergegas pergi dan memacu motor barunya menuju kediaman sang ibu yang berada tak jauh dari kediamannya.
Sementara Nadira masih terdiam di ambang pintu sambil memperhatikan lelaki itu pergi hingga menghilang dari pandangannya.
"Semoga Mas Arman tidak kenapa-napa. Entah kenapa perasaanku tidak enak. Apalagi setelah melihat luka lebam yang ada di tubuhnya. Selama ini Mas Arman tidak pernah bermasalah kepada siapa pun, jadi mustahil dia punya musuh," gumam Nadira pelan.
Setelah beberapa menit, Arman pun tiba di depan kediaman bu Ningsih. Ia memarkirkan motor barunya lalu masuk ke dalam rumah sederhana itu.
"Bu?" panggil Arman sembari menjatuhkan diri di sofa ruang depan.
Bu Ningsih yang sedang asik merapikan kamarnya, segera keluar setelah mendengar suara Arman yang memanggilnya.
"Arman?" gumam Bu Ningsih sembari melangkah keluar dari kamarnya.
"Loh Arman, kamu kenapa?" pekik Bu Ningsih setelah melihat bagaimana kondisi Arman. Ia terlihat cemas dan segera duduk di samping anak lelakinya itu.
"Apa yang terjadi padamu, Arman? Kenapa wajahmu sampai lebam-lebam begini, ha?" tanya Bu Ningsih sembari menyentuh luka lebam yang ada di sudut bibir Arman dengan lembut.
"Aw! Pelan-pelan, Bu. Sakit," pekik Arman sambil meringis kesakitan.
"Bu, sebenarnya aku ingin pinjam uang kepada Ibu untuk membayar hutang-hutangku kepada juragan Bahri," lanjut Arman tanpa berbasa-basi.
"Siapa? Juragan Bahri? Ya, ampun, Arman! Apa kamu tidak tahu siapa juragan Bahri? Dia itu rentenir! Lintah darat! Banyak sudah yang menjadi korbannya dan sekarang kenapa kamu malah berurusan dengan orang itu, Arman!" ucap Bu Nining dengan geram menatap Arman.
"Saya tahu, Bu. Dan saya terpaksa melakukannya demi anak dan istriku," jawab Arman dengan wajah yang semakin kusut.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Rara
kasian jga sama arman, niat dia baik ga mau anak dan istri ga makan, tapi caranya salah..semoga ada jalan keluarnya.
2023-01-23
1
Eka Elisa
aah...arman..gara"...kecrobohn mu ank istri mu ikut nanggung akibat nya..
2022-12-15
2
Rini
mungkin ini yang menjadi pilihan arman untuk jadi simpanan janda kaya bu ira
2022-12-15
0