Di tempat lain.
Nadira diseret oleh salah seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan memiliki wajah sangar itu hingga memasuki sebuah tempat tinggal yang sangat mewah. Nadira terus memberontak dan mencoba melepaskan diri. Namun, lelaki sangar itu pun tidak akan membiarkan Nadira lepas begitu saja dari cengkeramannya.
"Lepaskan saya!" teriak Nadira.
"Diam! Atau akan kusumpal mulutmu itu!" tegas lelaki sangar dengan mata melotot menatap Nadira.
"Sudah, jangan kasar-kasar. Kasihan 'kan dia." Terdengar suara Juragan Bahri yang ternyata sudah menunggu kedatangan Nadira di salah satu ruangan favorit lelaki bertubuh tambun tersebut.
Nadira menghentikan aksinya kemudian menatap Juragan Bahri yang kini tengah tersenyum kepadanya.
"Anda?" Tiba-tiba Nadira baru tersadar bahwa juragan Bahri adalah lelaki yang pernah mencoba merayunya beberapa waktu yang lalu.
"Wah, ternyata ingatanmu bagus sekali, Nadira." Lelaki berperawakan gempal itu berdiri dari tempat duduknya lalu menghampiri Nadira.
"Kenalkan, namaku Juragan Bahri. Panggil saja Ayang Bahri," lanjutnya. Ia mengulurkan tangan kepada Nadira sembari tersenyum nakal.
Nadira sama sekali tidak ingin menyambut uluran tangan lelaki tua itu. Apalagi setelah melihat senyuman nakalnya yang membuat Nadira semakin tidak nyaman.
"Heh, jangan sok jual mahal. Apa kamu tidak lihat Juragan sedang mengulurkan tangannya ke hadapanmu," ucap salah seorang anak buah juragan Bahri dengan kasar kepada Nadira.
"Sudah, tidak apa-apa. Mungkin dia masih malu-malu," sahut Juragan Bahri sembari kembali ke tempat duduknya.
Lelaki itu menunjuk ke arah sofa kosong yang ada di hadapannya dengan maksud agar Nadira duduk di sana. Namun, karena Nadira tidak bergerak sedikit pun dari posisinya, lelaki sangar itu lagi-lagi memaksa dan mendorong tubuh mungil Nadira hingga duduk di sofa tersebut.
"Kamu pasti tahu alasan kenapa anak buahku membawa kamu ke sini 'kan, Nadira?" Lelaki bertubuh tambun itu kembali membuka suaranya sambil menatap lekat wajah cantik Nadira.
"Sebenarnya Anda bisa membicarakannya secara baik-baik bersama Mas Arman soal hutang-piutang itu, Juragan Bahri. Tanpa harus melakukan kekerasan, apalagi sampai menculikku dengan paksa seperti ini," balas Nadira dengan wajah tegas.
Juragan Bahri tertawa lantang setelah mendengar ucapan Nadira barusan.
"Membicarakannya secara baik-baik? Ya ampun, Nadira. Aku tidak sejahat yang kamu pikirkan. Aku memang sudah membicarakannya secara baik-baik kepada suamimu. Namun, sayang jawabannya begitu mengecewakan. Ia sama sekali tidak punya itikad baik untuk melunasi hutang-hutangnya apdaku. Jadi mau tidak mau, aku harus melakukannya secara kekerasan," tutur Juragan Bahri.
Tidak semudah itu bagi Nadira mempercayai ucapan Juragan Bahri. Ia yakin Arman tidak seperti yang dikatakan oleh lelaki itu.
"Saya sangat mengenali suami saya, Juragan Bahri. Mas Arman tidak mungkin melakukan hal yang Anda tuduhkan kepadanya," sahut Nadira mantap.
Juragan Bahri tertawa sinis. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, Nadira cantik. Yang penting aku sudah mengatakan yang sebenarnya kepadamu," lanjut Juragan Bahri.
"Hei, kalian! Bawa wanita ini ke kamarnya!" titah Juragan Bahri kepada kedua anak buahnya yang selalu setia berada di sisi lelaki tua itu.
"Baik, Juragan!" jawab mereka secara serempak.
"Tapi, ingat. Jangan perlakukan dia dengan kasar. Dia adalah wanita yang cantik dan lembut dan harus diperlakukan dengan penuh kelembutan pula," sambung Juragan Bahri sambil mengedipkan mata ke arah Nadira.
Nadira memutarkan bola matanya. Ia benar-benar muak melihat aksi ganjen lelaki tua itu. Tiba-tiba kedua lelaki sangar itu kembali menghampiri dan kini memegang kedua tangannya dengan erat hingga Nadira kesusahan untuk bergerak.
"Lepaskan saya, Tuan. Biarkan saya pulang!" ucap Nadira yang kembali mencoba berontak.
Kedua lelaki itu tampak acuh. Mereka sama sekali tidak peduli dengan Nadira yang tampak tidak nyaman. Setibanya di sebuah kamar, mereka pun mendorong tubuh mungil Nadira untuk masuk ke dalam ruangan itu.
"Diam di sini dan jangan buat keributan!" titah salah seorang dari lelaki bertubuh besar itu sebelum menutup pintu kamar tersebut.
"Saya tidak mau! Lepaskan saya!" teriak Nadira lagi.
"Kalau kamu tidak ingin suami dan bayi perempuanmu kenapa-kenapa, diam dan turuti perintah kami! Mengerti?"
Wajah sangar itu menatap lekat kedua bola mata Nadira dengan wajah serius dan hal itu berhasil membuat nyali Nadira sedikit menciut. Nadira yang tadinya terus berteriak dan berontak, mendadak diam setelah mendengar ancaman dari lelaki itu.
Lelaki itu segera menutup pintu kamar dan menguncinya dari luar. Setelah itu, mereka pun segera kembali menemui sang juragan.
Sepeninggal kedua lelaki sangar itu.
Nadira memperhatikan sekeliling ruangan dengan tatapan sendu. Sebuah ruangan yang berukuran cukup besar dengan fasilitas lengkap. Ada sebuah tempat tidur mewah ala sultan, kamar mandi, AC, televisi berukuran besar serta barang-barang lain-lainnya.
Meskipun begitu, Nadira tetap tampak tidak nyaman berada di ruangan itu. Pikirannya tetap tertuju pada Arman serta Amara yang sekarang entah bagaimana kabarnya.
Nadira duduk dan bersandar di dinding kamar, tepatnya di samping pintu kamar sambil memeluk kedua lututnya. Ia terisak di sana seraya terus memanggil nama Arman dan Amara.
Sementara itu.
"Tandatangani ini, Arman!" Nyonya Ira melemparkan sebuah berkas yang berisi berbagai pernyataan dan perjanjian untuk Arman tandatangani. Berkas itu tergeletak di atas meja dan segera diraih oleh lelaki itu.
Arman membaca isi berkas yang baru saja diketik oleh Nyonya Ira tersebut dengan seksama.
"Apakah saya harus menandatangani surat perjanjian ini, Nyonya?" Arman menatap sendu wanita di hadapannya.
"Ya, tentu saja, Arman. Aku sudah pernah tertipu dan aku tidak ingin kembali terperosok ke dalam lobang yang sama," tegas Nyonya Ira.
Arman menghembuskan napas berat. "Aku seperti keluar dari mulut harimau dan sekarang malah masuk ke dalam mulut buaya," gumam Arman sambil menatap sedih ke arah surat perjanjian yang masih berada di tangannya.
"Maafkan aku, Arman. Sebenarnya aku tidak bermaksud membuatmu terikat karena surat perjanjian itu. Namun, aku terpaksa melakukannya. Aku tidak ingin kamu meninggalkan aku setelah berhasil mencapai keinginanmu," sela Nyonya Ira sambil tersenyum miring menatap Arman.
"Lagi pula aku tidak mengambil keuntungan apa pun darimu. Malah sebaliknya, kamu akan mendapatkan kesenangan serta kemewahan dariku tanpa harus capek-capek membanting tulang," lanjutnya.
Arman pun tampak pasrah. Ia meraih sebuah pena yang tergeletak di atas meja lalu menandatangani surat perjanjian bermaterai tersebut. Nyonya Ira kembali menyeringai menyaksikan hal itu. Ia begitu bahagia karena berhasil mendapatkan sosok Arman tanpa susah payah.
"Ini, Nyonya."
Arman menyerahkan surat perjanjian yang sudah ia tandatangani itu kepada Nyonya Ira dan segera disambut oleh wanita itu dengan begitu antusias. Ia kembali tersenyum puas setelah melihat tanda tangan Arman yang tertera di berkas tersebut.
"Bagus. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah rencana pernikahan kita. Aku ingin pernikahan kita dilaksanakan dengan sangat meriah. Bagaimana, kamu setuju 'kan, Sayang?"
Arman mengangguk pasrah. "Aku menurut saja, Nyonya."
"Ish, jangan panggil aku nyonya lagi dong, Arman. Panggil aku dengan sebutan Sayang ...."
Tanpa merasa sungkan, Nyonya Ira memeluk Arman dan menciumi wajahnya tanpa peduli dengan Amara yang masih menatapnya dengan wajah heran.
***
Maafkan Author yang baru bisa update. Beberapa hari ini tangan Author suka kebas dan kram jadi gak bisa pegang hape lama-lama. 🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Qorie Izraini
udah hilang akal sehat si tante ira
hingga tak peduli ada anak kecil di depan my langsung nyosor kang arman
dasar janda jalang...
2023-09-16
0
💜💜 Mrs. Azalia Kim 💜💜
huweekkk
2022-12-22
1
Siti Orange
Lanjut Thor
Cemangattt Thor Utk Sehat
2022-12-20
1