"Itu dia, Juragan." Salah seorang lelaki berwajah sangar itu menunjuk ke arah Arman yang kini tengah berlari kecil menghampiri Juragan Bahri.
"Bagus, kini tiba saatnya." Juragan Bahri menyeringai licik yang kemudian diikuti oleh kedua orang anak buahnya.
"Maafkan saya, Juragan Bahri. Saya ketiduran," ucap Arman dengan napas yang masih terengah-engah.
"Kamu tahu sudah pukul berapa sekarang?" Juragan Bahri mengangkat sebelah alisnya sembari melirik Arman.
Arman mengangguk pelan sembari menundukkan kepalanya. "Ya, Juragan. Sudah pukul empat sore."
Juragan Bahri mengangkat tangan sebatas dada kemudian melirik jam tangan mahal yang melingkar di pergelangannya. "Sudah pukul empat lewat dua puluh menit. Sementara kita sudah berjanji bertemu pukul tiga. Itu artinya kamu sudah terlambat satu jam dua puluh menit, Arman. Apa kamu ingat apa yang sudah aku katakan jika kamu terlambat?"
Arman memelas. "Maafkan saya, Juragan. Tadi saya ketiduran. Saya pun tidak ingin terlambat. Demi Tuhan, saya tidak bohong," lirih Arman.
Juragan Bahri berdecak sebal. "Ck! Sudah, jangan bawa-bawa nama Tuhan! Aku tidak peduli mau kamu sengaja, kek. Mau kamu tidak sengaja, kek. Yang pastinya aku akan tetap memberlakukan denda kepadamu. Apa kamu tahu, dalam satu jam saja aku bisa mendapatkan uang ratusan bahkan jutaan rupiah dari orang-orang yang setor kepadaku. Itu artinya kamu harus membayar semua kerugian yang aku alami selama satu jam dua puluh menit tersebut," tutur Juragan Bahri dengan wajah acuh tak acuh.
"Ya Tuhan, Juragan Bahri. Tidak bisakah Anda memaafkan kesalahan saya hari ini saja? Saya berjanji tidak akan mengulanginya. Lagi pula selama ini saya tidak pernah telat menyerahkan setoran kepada juragan. Jadi, saya mohon dengan sangat, untuk kali ini saja, maafkan saya," lirih Arman sambil menangkupkan kedua tangannya.
"Ck!" Lagi-lagi Juragan Bahri berdecak sebal. Ia mengulurkan tangannya ke hadapan Arman dan meminta setoran itu.
Arman mengerti apa yang dimaksud oleh Juragan Bahri. Ia pun bergegas meraih dompet miliknya kemudian menyerahkan uang setoran itu tanpa pikir panjang.
"I-ini, Juragan." Arman menyerahkan uang tersebut dengan tangan yang bergetar. I
Juragan menghitung jumlah uang tersebut kemudian tertawa sinis. "Kamu itu tuli atau apa sih, Arman? Bukankah tadi sudah aku katakan bahwa kamu harus membayar denda untuk keterlambatanmu itu!"
Belum sempat Arman berucap, tiba-tiba salah seorang anak buah Juragan Bahri mengambil dompet milik Arman secara paksa atas perintah lelaki bertubuh gempal tersebut.
"Ja-jangan ambil uangku, Juragan Bahri! Uang itu untuk kebutuhan kami selama satu bulan. Jika Anda ambil uang itu, kami harus makan apa?" protes Arman sembari berusaha mengambil kembali dompetnya yang kini berada di tangan Juragan Bahri.
Namun, kedua lelaki sangar itu tidak membiarkannya. Salah satu dari mereka bahkan mengancam dengan sebuah pisau lipat yang kini mengacung di depan wajah Arman.
"Kamu berani melawan, ya!" ucapnya dengan mata melotot.
"Saya tidak melawan, Mas. Saya hanya ingin uang saya dikembalikan. Itu saja!"
Sementara Arman dan kedua lelaki sangar itu masih berdebat, Juragan Bahri malah asik menghitung uang gaji Arman yang kini sudah berada di tangannya.
"Aku rasa ini cukup untuk mengganti kerugianku dan karena aku masih mempunyai rasa kasihan padamu, maka aku sisakan sedikit uang untuk istrimu belanja."
Juragan Bahri tertawa puas. Ia melemparkan dompet yang sudah kosong itu ke hadapan Arman. Dengan sigap Arman menangkap dompet tersebut lalu mengecek isinya.
Wajah Arman terlihat kecewa sekaligus marah kepada Juragan Bahri dan kedua lelaki sangat tersebut. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat lalu berteriak dengan lantang.
"Kembalikan uangku, Juragan Bahri! Kelakuanmu melebihi dari seorang lintah darat. Kamu lebih pantas disebut perampok dari pada seorang rentenir!" geran Arman dengan rahang me dinegas menatap Juragan Bahri.
Juragan Bahri tergelak mendengar hardikan Arman barusan. Ia menepuk pundak salah satu anak buahnya itu dan memerintahkan mereka segera memberikan pelajaran untuk Arman.
"Dia sudah keterlaluan. Sekarang berikan sedikit pelajaran untuknya agar bisa bersikap lebih sopan," titah Juragan Bahri.
Kedua lelaki sangat itu pun menyeringai. Mereka menghampiri Arman lalu memukulinya dengan kepalan tinju mereka secara bergantian. Arman sempat melawan, tetapi karena jumlah dan postur tubuh yang tidak seimbang, akhirnya Arman pun kalah.
"Dasar tidak tahu diri!" ucap lelaki sangar itu sambil terus mendaratkan kepalan tinju di wajah serta tubuh Arman.
Setelah puas melihat Arman tergeletak dengan beberapa bagian tubuh yang membiru, akhirnya Juragan Bahri pun meminta kedua anak buahnya untuk menghentikan aksi mereka.
"Berhenti!"
Kedua lelaki sangar itu segera menghentikan aksi mereka kemudian mundur beberapa langkah dari posisi Arman tergeletak. Juragan Bahri menghampiri Arman yang tampak tidak berdaya lalu mengajaknya bicara.
"Kamu memang orang yang tidak tahu berterima kasih, Arman. Setelah aku berbaik hati membantumu, kamu malah menghinaku dengan sedemikian rupa. Aku sudah terlanjur kecewa dan aku ingin kamu mengembalikan semua uang-uangku besok! Dan satu lagi, total yang harus kembalikan sebesar 25 juta. Ingat, 25 juta!"
Arman tersenyum sinis sembari menyeka sudut bibirnya yang berdarah. "25 juta? Anda benar-benar sudah gila, Juragan Bahri."
"Aku tidak main-main, Arman. Jika besok kamu tidak juga mengembalikan uang-uangku tersebut maka kamu akan tahu konsekuensinya."
Juragan Bahri menyeringai sembari menepuk pelan pipi Arman yang membiru. Ancaman lelaki bertubuh tambun itu berhasil membuat nyali Arman menciut.
"Kalian memang gila!" Arman kembali menghardik lelaki paruh baya itu sambil membalas tatapannya lekat.
"Terserah apa katamu, Arman. Yang pasti aku tidak main-main dengan ucapanku," sahut Juragan Bahri yang kembali menyeringai.
Lelaki itu bangkit kemudian melenggang begitu saja meninggalkan Arman yang masih meringis kesakitan. Begitu pula kedua lelaki bertubuh tinggi besar itu. Mereka sudah terlihat seperti anjing peliharaan Juragan Bahri yang selalu mengikuti ke mana pun lelaki paruh baya itu melangkah.
"Ya, Tuhan! Apa yang harus aku katakan kepada Nadira?" gumam Arman dengan wajah sedih menatap dompet yang isinya sudah dikuras oleh lintah darat tersebut.
Dengan tertatih-tatih, Arman berjalan menuju tempat, di mana ia memarkirkan motor barunya. Sejenak ia terdiam sambil berpikir ketika melihat motor baru yang dibelikan oleh Nyonya Ira tersebut.
"Apa aku jual saja motor itu? Tapi, bagaimana jika Nyonya Ira menginginkan motornya kembali karena aku tidak bersedia bertanggung jawab atas kejadian itu?"
Arman membuang napas berat lalu segera melajukan benda tersebut kembali ke kediamannya.
"Nah, itu Ayahmu, Nak." Nadira dan Amara tersenyum lebar menyambut kedatangan Arman yang sebelumnya tidak sempat berpamitan kepada mereka.
Setelah memarkirkan motornya di halaman depan, Arman pun segera memasuki rumah sederhana mereka dengan kepala tertunduk. Ia sengaja menundukkan kepalanya agar luka-luka membiru di wajahnya tidak terlihat oleh Nadira.
"Mas? Mas kenapa?" Nadira bingung karena Arman tidak membalas sapaannya. Selain itu, lelaki itu juga melengos begitu saja tanpa berkeinginan melihat ke arahnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Aas Azah
suami istri kok gak jujur, harus nya itu terbuka biar ga salah faham 😤
2023-03-16
2
AriNovani
Makanya jujur Man
2023-01-27
1
fandha
salah jg sih arman...hrsnya uang gaji jgn dibawa semua..tinggalkn sebagian..dr uang yg hrs di setorkn ke juragan rentenir..ahirnya kn di rampok semua oleh lintah darat
2023-01-26
0