Kandungan Vania memasuki usia 7 bulan, perutnya kini semakin membesar.
Vania bersandar di dinding karena merasa kelelahan setelah bekerja dari pagi hingga sore.
"Wah Vania perut kamu besar sekali, sudah berapa bulan?" tanya Marina.
"Sudah 7 bulan Kak."
"Tujuh bulan, ah sudah tak terasa. Apa jenis kelamin anak kamu?" Tanya Ina sambil mengusap perut Vania.
"Belum periksa kak, aku belum tahu."
"Periksa dong Van."
"Iya kak aku mau periksa, karena gak ada teman, kakak temenin aku dong,"pintar Vania pada Marina.
"Iya boleh nanti, kakak temenin."
"Kamu sudah beli perlengkapan untuk melahirkan Vania?" tanya Marina.
"Belum kak, aku belum sempat."
"Kalau kamu mau, kakak punya tuh baju bayi yang gak dipakai lagi. Anak kakak cuman beberapa kali dipakai nggak muat sama dia."
"Boleh tuh Kak, lumayan untuk aku hemat kan kalau bayi pakai nya kan cuma sebentar."
"Oh iya deh, Nanti Kakak siapkan untuk kamu."
"Ngomong-ngomong, apa kamu yakin tak ingin memberitahu pada mantan suamimu itu?" tanya Marina.
"Yakin, Biar saja aku menjalaninya sendiri."
"Tapi Vania suatu saat anak kamu akan membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Kamu nggak mau kan anak kamu dibilang anak haram karena tak memiliki ayah."
"Benar Vania, mungkin waktu kecil anakmu tidak tahu apa-apa, tapi nanti saat sekolah dia pasti diejek temannya. Lagi pula untuk masuk sekolah butuh identitas kedua orang tua. Cepat atau lambat kamu harus memberitahu tentang kehamilan kamu ini."
Vania tertunduk dengan wajah yang sedih.
"Iya kak, aku tahu, kadang aku juga memikirkannya, tapi takut jika memberitahu mantan suamiku, ia akan merebut anak itu dariku. Atau kembali memaksaku untuk menjadi istrinya?"
"Loh Bagus dong, kalau dia mau menikahimu kembali, dengan demikian kau tak perlu repot-repot bekerja mencari makan untuk dirimu dan anakmu."
"Mungkin sekarang kau memang bisa mencari uang Vania, Bagaimana jika anakmu sudah lahir. Siapa yang akan menjaganya dan bagaimana jika kau bekerja nanti?."
Vania diam sesaat sambil menggigit bibir bagian bawahnya.
"Aku sudah punya tabungan kak, setiap bulan aku menyisihkan uang untuk persalinanku. Aku juga punya tabungan yang diberikan oleh ibu dari mantan suamiku. Dan dengan uang itu, aku rasa cukup untuk biaya hidup aku selama beberapa tahun sampai anakku besar."
"Tapi Apa kamu yakin bisa membesarkan anakmu sendiri Vania?! Kamu nggak ingin nikah lagi?" tanya Ina.
"Enggak lah aku takut sekarang banyak kejadian Ayah sambung yang berbuat kejam pada anak tirinya. Dan aku nggak mau anakku mengalami nasib seperti itu."
"Itu sih terserah kamu saja Vania, keputusan ada di tangan kamu."
"Iya Kak terima kasih sarannya ya."
"Jadi kapan kamu akan periksa ke dokter kandungan."
"Mungkin besok sekalian aku mau belanja, jika sudah tahu jenis kelamin anakku, aku akan gampang memilih baju bayi."
***
Setelah pulang dari bekerja, Vania berjalan kaki menuju kos-nya.
Baru saja memasuki gang, suara klakson motor terdengar.
"Vania!" panggil seseorang yang sudah tak asing bagi Vania.
Vania menoleh ke belakang.
"Anton," guman Vania lirih
"Ayo aku antar kamu, mau pulang kan?!"
Vania diam beberapa saat sebenarnya ia tak enak jika harus berboncengan dengan Anton.
"Ayo Vania! aku antar."
Vania pun naik di atas motor Anton.
"Kamu baru pulang Ton?" tanya Vania.
Sudah 6 bulan ia tidak menelpon Anton, karena Vania yang memblokir nomor Anton.
"Iya aku liburan semester sudah, 6 bulan nggak ketemu kamu."
"Yah beginilah ton keadaanku."
Beberapa saat kemudian mereka pun tiba di pintu kost.
"Kamu masih tinggal di sini Vania ?" tanya Anton.
"Masih, kenapa memangnya?"
"Apa kamu nggak mau pulang ke rumah ibu kamu, bukannya sebentar lagi kamu akan melahirkan. Siapa yang akan mengurus kamu?!"
Vania menyunggingkan senyum tipis.
"Iya Ton aku tahu, aku sudah izin kok dengan pemilik kos ini setelah melahirkan, aku akan tetap tinggal di sini. Karena menurutku tempat inilah yang paling murah dan paling dekat dengan jalan raya."
Anton menatap tiba ke arah Vania.
"Vania, jujur aku masih sangat mengkhawatirkan kamu."
"Saat ini aku sudah memiliki pekerjaan ya, meskipun hanya part time sambil kuliah, tapi gajiku lumayan cukup lah."
"Cukup untuk apa Ton?" tanya Vania yang sedikit mengerti maksud Anton.
"Vania setelah kamu melahirkan, kamu ikut aku saja, kita akan menikah, meskipun kita hidup pas-pasan tapi setidaknya aku bisa melindungi kamu dan anak kamu."
Mendengar hal itu Vania menginginkan senyum tipisnya.
"Ton kamu masih mau menikah dengan aku?"
Anton bergeming beberapa saat kemudian tertunduk.
"Aku tahu Ton, kamu hanya kasihan pada ku, tapi percayalah, aku bisa menghadapi semua ini sendiri."
"Enggak kok Van, jujur aku masih cinta sama kamu," tutur Anton.
"Nggak usah ngomongin cinta Ton, cinta itu mudah datang dan mudah pergi."
"Kamu nggak usah menuruti perasaan kamu, aku yakin kamu hanya kasihan pada ku, seandainya pun kau bisa menerimaku apa adanya, belum tentu dengan keluargamu, ku yakin mereka pasti tak merestui hubungan kita."
"Kau seorang mahasiswa yang berprestasi, wajahmu juga tampan, pasti banyak wanita yang lebih pantas untukmu. Aku sadar diri, jika aku benar-benar nggak pantas untuk kamu! "
Anton kembali menatap Vania dengan lekat.
"Sudahlah Ton, jangan buang waktu kamu kamu, tenang saja aku bisa jaga diri aku sendiri."
"Tapi Van…."
"Sudah Ton, kamu jangan pernah berharap apapun dari ku, karena aku juga nggak berharap lagi pada kamu, mungkin kita memang bukan jodoh Ton."
"Aku selalu berdoa, agar kau mendapat pasangan yang lebih baik dari aku."
Tapi Van, masih bisa ada harapan untuk kita …."
"Selamat tinggal Anton. Aku harus masuk dulu." Vania memutus ucapan Anton.
Anton kembali bergeming menatap kepergian Vania yang meninggalkannya.
Vania terus melangkah masuk ke dalam kamar kosannya tanpa menoleh kembali ke arah Anton.
Meski sedih, Vania harus rela untuk meninggalkan Anton. Ia tak ingin Anton menanggung akibat yang tak ia lakukan.
Setelah Vania tak lagi terlihat, Anton memutar motornya kemudian meninggalkan tempat tersebut.
***
Vania terbaring di sebuah ruangan, di hadapannya adalah yang monitor yang memperlihatkan penampakan bayi yang ada di kandungannya, sementara seorang suster mengarahkan tranduser di bagian perutnya.
"Anak anda sehat, semua normal, ketubannya juga cukup,"ucap dokter kandungan tersebut sambil menyimpan kembali tranduser.
Vania tersenyum sambil melirik ke arah layar monitor.
"Lalu apa jenis kelamin anak saya dokter?"tanya Vania.
"Jenis kelaminnya perempuan Bu, tapi ini hanya untuk sementara waktu."
"Kalau gitu terima kasih Dokter."
Vania bangkit dengan senyum merekah di sudut bibirnya.
"Bagaimana Van?" tanya Marina.
"Anakku perempuan Kak," sahut Vania bahagia.
Vania memang menyukai anak perempuan seperti ketiga adiknya yang perempuan.
Terkadang Vania merasa rindu dengan ketiga adiknya itu. Namun saat ini Ia memutuskan untuk tinggal sendiri dan merawat sendiri anaknya.
Vania tak ingin anaknya diasuh oleh ibu sambungnya itu.
"Kalau begitu temani aku ya Kak, kita beli baju untuk calon bayiku."
"Oke siapa takut," ucap Marina dengan semangat.
"Kalau gitu kita belanjanya ke mana Van?" tanya Marina.
"Kita ke supermarket terdekat saja kak, aku sekalian mau beli susu untuk ibu hamil," cetus Vania.
"Siap bosku!"
Setelah dari memeriksakan kandungannya Vania dan Miranda menuju sebuah supermarket.
Sesampainya di supermarket Vania menarik troli, karena rencananya ia akan berbelanja banyak untuk kebutuhannya selama sebulan, kebetulan saat itu mereka baru saja menerima gaji.
Ketika memilih-milih barang-barang yang ia butuhkan, Vania tak sengaja menoleh ke arah sampingnya dan melihat seorang yang juga sibuk memilih barang-barang yang tersusun di rak.
"Dia!" gumam Vania dengan tubuh yang membeku karena begitu kaget dengan jantung yang berdetak hebat saat itu juga.
Bersambung dulu gengs jangan lupa dukungannya ya 🙏 terimakasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Aidah Djafar
mike kah🤔
2024-01-27
0
Angraini Devina Devina
pasti mik
2023-08-18
1
Bernadeth Meilan
ketemu ya
2023-01-15
0