💖
💖
Darren menatap dirinya sendiri di cermin. Dia mengenakan stelan jas berwarna creame dengan kilau yang memukau. Dan tampaknya itu memang sangat pas dengan dirinya.
"Ah, anakku tampan sekali. Aura pengantinmu sudah tampak, Sayang." Sofia mendekati sang putra.
"Hmm … benarkah?" Pria itu merapikan kancing dan tepian pada pergelangan tangannya.
"Tentu saja." Sang ibu mengusap pundaknya.
Darren hanya tersenyum.
Lalu perhatian mereka teralihkan ketika tirai ruang ganti terbuka dan Kirana keluar dengan gaun pengantinnya yang berwarna senada.
Gaun yang terlihat begitu mewah dan elegan. Berbelahan dada rendah, pundak terbuka dan bawahan yang menjuntai hingga ke belakang.
Pria itu menatapnya tanpa berkedip sementara Sofia membingkai wajahnya sendiri dengan mulut menganga.
"Cantik sekali!" Katanya dengan rasa takjub.
Kirana malu-malu berjalan ke arah keduanya.
"Apa ini tidak berlebihan? Apa bagus?" ujar perempuan itu yang berputar-putar di depan cermin.
"Perfect." Darren bergumam.
Kirana tersenyum ke arahnya.
"Apa ada yang harus ditambah atau dikurangi?" Kirana meminta pendapat. Mengingat pakaian itu yang cukup terbuka dan dia berpikir mungkin ada sesuatu yang harus dirubah meski sebenarnya, dirinya menyukai gaun tersebut.
"I said, it's perpect."
"Tidak perlu ada yang dirubah." Kirana meyakinkan.
"Tidak perlu, Ki. Sudah bagus." Sofia menyahut.
Kirana tersenyum lega.
"Kamu menyukainya?" Sang calon mertua bertanya.
"Iya Bu."
"Kamu memang cocok mengenakannya!" Sofia merangkul pundak Kirana dengan perasaan puas.
"Oke, Ce. Tidak ada yang perlu dirubah karena anak-anak menyukainya." Dia sedikit berteriak kepada sahabatnya, sang pemilik butik khusus pernikahan itu yang duduk memperhatikan di kursinya. Sementara para pegawainya sibuk mengerjakan banyak hal.
"Benar? Kalian yakin?"
"Ya, Ce."
"Oke." Perempuan yang sudah tiba di usia senjanya itu menuliskan sesuatu di catatannya.
"Untuk pengiringnya bagaimana?" Cece kemudian bertanya.
"Buatkan aku sesuatu yang spesial. Tidak boleh sama dengan pengantin, tapi tetap spesial. Dan soal pakaian keluargaku, buatkan satu untuk perempuan hamil ya?"
"Baik." Cece menambah catatannya.
"Kirana, nanti beritahukan saja size teman-temanmu agar disesuaikan dengan pakaiannya ya?" Sofia berujar kepada calon menantunya yang berada di ujung ruangan.
"Atau kalau kamu ada keinginan sendiri untuk pakaian bridesmaid nya, kamu bisa hubungi Cece. Agar semuanya sesuai dengan keinginan kamu." katanya lagi.
"Iya Bu."
"Baiklah …." Sofia menyodorkan selembar kartu miliknya kepada Cece.
"Serius mau bayar sekarang?" Sahabatnya itu bertanya.
"Iyalah, apa lagi?" jawab Sofia.
"Hah, kurang asik nih. Apa-apa langsung bayar." Cece meraih kartu tersebut lalu menyuruh seorang pegawainya memproses pembayaran.
"Kalau ada ya langsung bayar."
"Ya pasti ada lah, masa yang punya Nikolai Grup nggak ada?"
"Makanya." Dua perempuan itu tertawa.
"Serius ini semua mama kamu yang bayar?" Kirana menyimak percakapan itu. Melihat Sofia membayar segala yang akan mereka gunakan untuk acara pernikahan nanti.
"Iya."
"Terus peran kita apa? Aku mampu kalau bayar pakaian pengantin. Apakah kamu tidak? Atau semua uangmu ada pada mama mu?" katanya.
"Aku tahu kamu mampu, dan aku juga bisa." Darren menjawab.
"Lantas? Mengapa kita membiarkan saja mama mu yang melakukannya?"
"Biarkan saja. Mama senang dengan hal itu. Sama saja seperti kita sedang membiarkannya belanja semua yang mama inginkan."
"Tapi ini pernikahan kita."
"Lalu kenapa? Mungkin ini hal terakhir yang bisa mama lakukan sebelum keadaannya berubah. Setelah ini dia tidak akan ikut campur tentang apa pun lagi."
Kirana terdiam.
"Terima saja. Mama mampu makanya berbuat begitu, kalau tidak ya tidak akan."
"Tapi aku merasa tidak enak. Padahal aku juga mampu."
"Aku tahu, tapi biarkan saja. Karena dengan begitu mama akan merasa sangat bahagia. Memastikan anak-anaknya mendapatkan yang terbaik, dan yang penting semuanya sesuai dengan keinginan kita."
"Hmm …."
"Lagi pula semua yang mama bayarkan dari papi, jadi aku yakin mama tidak mengalami kesulitan dengan itu. Jangan khawatir." Darren sedikit berbisik, lalu mereka berdua tertawa.
"Baiklah, apa kalian sudah selesai?" Sofia kembali ke dekat mereka.
"Sudah Mom." Darren menjawab.
"Kalau begitu, ayo kita pulang?"
"Mama pulang saja duluan, kami harus bertemu dengan wedding organiser untuk masalah make up dan dekorasi." Sang anak berujar.
"Begitu?"
"Ya."
"Baik, soal tempat kamu sudah bicara dengan Galang kan?"
"Sudah."
"Apa sudah kamu pilih?"
"Ada beberapa rekomendasi dari Galang."
"Pilih yang paling dekat, Ren. Yang bisa dijangkau semua orang dan aksesnya lebih mudah."
"Yes Mom."
"Baiklah, kalau begitu Mama pulang sekarang. Papimu sudah selesai." Dia menatap layar ponselnya saat mendapatkan pesan dari suaminya.
"Oke."
"Pergi dulu ya, Kirana?" katanya, yang merangkul calon suami istri itu bergantian.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Nania hampir saja terhuyung ke samping ketika motor milik Sandi memepetnya begitu mereka tiba di depan rumah hampir bersamaan.
Namun sang kakak hanya tertawa saat dia turun dari kendaraan roda duanya tersebut.
"B*go!" katanya, seraya melewatinya begitu saja.
"Bu!!! Sandi mau makan!" Dia berteriak sejak memasuki rumah.
"Pulang, makan. Pulang, minta duit." Mirna menyahut dari dalam.
"Ya apa lagi?"
"Kerjaanmu hanya keluyuran saja!"
"Sandi lagi usaha, Bu."
"Usaha apa?"
"Ya usaha biar dapat uang."
"Kerja?'
"Sebut aja begitu." Sandi duduk di kursi dengan berbagai macam makanan terhidang di meja.
"Kerja apa?"
"Ada deh. Pokoknya menghasilkan." Dia mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan kemudian diletakkannya di meja.
"Wah? Sudah dapat uang?" Mirna antusias.
"Iya dong." Sandi dengan bangganya, sementara Nania melintas masuk ke kamar mandi setelah meletakkan tas dan apa yang dia bawa di kamar nenek.
"Kalau begitu, makan yang banyak. Biar kamu kuat bekerja dan semangat!" Mirna menambahkan dua potong ikan dan sayuran pada piring putranya.
"Pasti dong Bu."
"Apakah setiap hari kamu akan mendapat uang sebesar itu?"
"Iya, bahkan bisa lebih besar." Sandi menjawab.
"Benarkah? Oh, bagus sekali. Kalau begitu kita bisa cepat pindah dari rumah sialan ini!" Mirna dengan nada begitu senang.
"Yah, nggak gitu juga Bu. Sandi butuh waktu."
"Iya ibu tahu, tapi kalau kamu bekerja setidaknya beban kita akan lebih ringan."
Nania keluar dari kamar mandi setelah menyelesaikan urusannya.
"Hey Nania! Tiru lah kakakmu. Dia bisa menghasilkan uang yang banyak dalam sehari. Jangan hanya asal bekerja di kafe begitu. Jadilah berguna sedikit." Mirna berujar.
Nania tertegun sebentar di ambang pintu.
"Seharusnya anak perempuan itu sangat bisa diandalkan. Bisa membawa keberuntuagan untuk keluarga. Maka carilah laki-laki yang kaya, lalu menikahlah. Agar kita keluar dari kesulitan ini" katanya lagi.
Namun Nania tidak menyahut, dan dia memilih untuk tak menggubris perempuan itu.
"Nenek kenapa hanya makan itu?" ucapnya ketika masuk ke dalam kamar dan mendapati sang nenek yang hanya memakan nasi dengan sup berisi wortel dan jagung saja.
"Ibu cuma ngasih itu buat Nenek? Padahal tadi makanan banyak di meja."
"Ini cukup. Nenek pusing kalau makanan banyak macamnya." jawab sang nenek yang makan dengan lahapnya. Terlihat sekali jika perempuan tua itu seperti baru saja menemukan makanan.
Nania lantas mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Aku bawa ini." Satu bungkus nasi, daging berbumbu, dan beberapa jenis sayuran yang dimasak bersamaan yang tidak dia makan tadi sebelum pulang.
"Kamu bawa makanan lagi?"
"Jatah makan aku Nek."
"Kenapa tidak kamu makan?"
"Ingat Nenek. Pasti belum makan."
"Ini Nenek makan?"
"Iya, kita makan sama-sama ya?"
Nenek mengangguk sambil tersenyum.
"Aku jadi ragu." Mereka bercakap-cakap setelah makan bersama dan Nania selesai membereskan pakaian ke dalam tasnya.
"Ragu soal apa?"
"Kalau aku pergi Nenek gimana?"
"Tidak usah khawatir. Nenek pasti baik-baik saja."
"Janji ya, Nenek harus baik-baik aja? Biar akunya tenang."
"Iya Nduk."
"Nanti aku antar makanan untuk nenek. Tapi ibu jangan sampai tahu."
Nenek menganggukkan kepala.
"Besok, kalau ibu marah-marah pas tahu aku pergi, Nenek nggak usah anggap. Menjauh aja dulu."
"Tenang, ibumu tidak akan berani macam-macam. Paling hanya mengomel saja. Anggap radio butut."
Mereka tertawa.
Nania kembali mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya, lalu dia berikan kepada Nenek.
"Kalau ada, nanti aku kasih nenek uang lagi. Tapi nggak janji, kan yang ngasih tip nggak tentu."
"Yang kemarin masih ada Nak."
"Nggak apa-apa, Nenek simpan. Yang rapi ya? Jangan sampai ibu tahu."
Nenek mengangguk lagi.
"Kamu pergi jam berapa?" Lalu dia bertanya.
"Mungkin nanti kalau orang-orang udah pada tidur."
"Bisa tengah malam atau dini hari, Nna."
"Nggak apa-apa. Itu paling aman."
"Nenek juga khawatir kepadamu. Tapi tinggal di sini tidak lebih baik juga. Setidaknya diluar sana kamu tidak akan mendapat perlakuan buruk dari ibumu."
"Iya."
"Kamu jaga diri ya? Jangan pernah berubah walau sesulit apa pun keadaanmu. Tetaplah seperti ini, tetaplah menjadi Nania yang baik."
"Iya, Nek." Lalu mereka berdua berpelukan.
💖
💖
💖
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
yetiku86
ish .. bodohnya....kenapa ngga dibawa sedikit2 saat berangkat kerja. 🤦🏻♀️
2025-04-12
0
Yenny Mok
nenekkkk.... huhuhuhuuuuu
2023-07-05
2
♥(✿ฺ´∀`✿ฺ)Ukhti fillah (。♥‿♥。)
ayo semngat nia kmuh pasti bsa pergi dr rumh ibu mu sementra dlu bru jemput nenek mu
2023-02-03
3