💖
💖
"Makan Nna, malah melamun?" Nindy datang menghampiri lalu duduk di kursi kosong di dekat Nania.
"Umm …." Gadis itu tersadar dari lamunannya.
"Kamu sakit? Atau kecapean?" tanya Nindy.
"Iya nih, agak capek." Nania meraup nasi, potongan daging sapi dan sayur capcay yang dia sisakan sebelum mengantarkan menu yang sama untuk Daryl beberapa jam yang lalu.
Kemudian dia menyuapkan ke dalam mulutnya dan mengunyahnya pelan-pelan. Tapi mengapa rasanya tidak seenak tadi? Makanan ini terasa hambar dan tiba-tiba saja dia sulit menelannya.
Dia berhenti lagi. Dan pikirannya kembali mengingat kejadian di Fia's Secret ketika dia melihat Daryl dan Bella bercumbu mesra.
Mengapa hatinya merasa begitu sakit? Ini seperti kamu sedang memergoki kekasihmu selingkuh. Meski pada kenyataannya tidak ada hubungan yang terjalin di antara dirinya dan pria itu.
"Hhhh …." Nania menghela dan menghembuskan napasnya pelan-pelan.
Kenapa juga aku harus sakit hati? Dia kan bukan siapa-siapa aku? Satu sisi hatinya membatin.
Tapi bukankah dia pernah menyatakan perasaannya waktu itu? Sisi lain batinnya menyahut.
Dia itu laki-laki, dan laki-laki akan mengatakan apa pun demi bisa mendapatkan apa yang dia mau.
Benar kan? Mereka itu memang nggak berperasaan. Hari ini menciummu, lalu di lain hari mencumbu perempuan lain. Nanti apa lagi? Mungkin akan meniduri seseorang yang bukan di antara kami. Atau mungkin sudah. Mereka kan memang seperti itu?
"Hhh …." Dia menghela napas lagi.
"Kamu kenapa sih? Kayak yang lagi patah hati deh?" protes Nindy yang melihat teman kerjanya seperti itu.
"Patah hati?" Nania membeo.
"Makan nggak bener, banyak melamun, terus apa lagi? Malas kerja?"
"Kamu ngaco!"
"Orang kelihatannya begitu?"
Nania terkekeh canggung.
Patah hati? Mungkinkah?
"Sadar Nania, sadar!" Lalu dia menepuk kepalanya beberapa kali.
"Lah, sekarang ngomong sendiri? Kan makin aneh?" ujar Nindy yang ikut makan karena keadaan mulai santai di depan sana.
Nania hanya tersenyum.
Memangnya siapa dirimu berani memiliki perasaan sebesar ini? Dia itu gunung yang paling tinggi sementara kamu hanya kerikil di antara gurun pasir yang gersang. Gumamnya dalam hati, lalu dia memaksakan diri melanjutkan kegiatan makannya meski sudah tak berselera.
***
"Tumben Nduk jam segini sudah pulang?" Nenek tampak kegirangan saat melihat kedatangan cucunya pada sore hari.
"Iya, shiftnya aku dipindahin biar pulangnya nggak terlalu malam. Ini juga lagi santai." Nania meletakkan tas selempangnya di atas tempat tidur usang milik sang nenek.
"Orang-orang pada ke mana? Tumben sepi?" Lalu dia bertanya karena tidak melihat keberadaan ibunya ketika memasuki rumah.
"Tidak tahu. Dari pagi ibumu belum pulang." Nenek menjawab.
"Kok gitu?" Nania tertegun.
"Entahlah."
"Nenek udah makan?"
"Su-sudah."
"Hmm …." Nania bergegas ke dapur untuk memeriksa makanan. Ternyata hanya tersedia sedikit nasi di wadah kecil dan tak ada yang lainnya lagi.
Padahal gajinya yang sebesar tiga juta itu Mirna ambil semua yang dia katakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan ucapannya. Mereka tetap tidak bisa menikmati makanan yang layak terutama dirinya dan Nenek.
Jadi keputusannya untuk meminta gajinya di tfansfer saja adalah tepat. Agar dia bisa mengatur keuangan dengan benar seperti yang diajarkan ayahnya.
"Nenek bohong ya?" katanya saat kembali ke kamar di mana neneknya berada.
"Untung tadi di kedai ada makanan. Ini sisa yang aku masak untuk Pak Daryl nggak ada yang makan." Dia mengeluarkan bungkusan dari tas selempangnya.
Sekepal nasi yang masih cukup hangat, dan lauk yang sama yang dia makan tadi siang di kedai.
"Wah, daging?" Nenek dengan mata berbinar.
"Katanya udah makan?" Nania mengingatkan ucapan perempuan itu itu.
Dia tahu neneknya berbohong karena setiap hari memang seperti itu. Mirna jarang menyediakan makanan jika dia dan suaminya tidak ada, padahal masih ada nenek yang tidak memiliki uang dan tidak bisa melakukan apa-apa selain diam di rumah.
"Sekarang Nenek makan. Aku mau mandi." Nania menyodorkan bungkusan itu kepadanya, dia meraih handuk lalu melenggang ke kamar mandi di dekat dapur.
Dia kembali setelah beberapa saat dan menemukan perempuan tua itu belum menyentuh makanannya.
"Kok Nenek belum makan? Keburu dingin loh." Nania bereaksi.
"Nenek nunggu kamu, mau makan sama-sama." jawab sang Nenek.
"Aku sudah makan tadi sebelum pulang. Sekarang suka gitu karena di rumah kan jarang ada makanan. Kalau ada juga suka nggak boleh dimakan sama ibu, biasanya buat Bang Sandi kan?"
Nenek menatap cucunya dalam diam.
"Makan Nek, biar tidurnya nyenyak dan perutnya nggak bunyi terus." katanya yang mengingat setiap malam dia sering mendengar perut neneknya bersuara meski tidak terlalu nyaring.
"Kamu … sabar ya? Jangan marah kepada ibumu, atau kepada siapa pun. Walau dia sering berbuat tidak baik kepadamu. Dia sedang khilaf."
"Khilafnya ibu keterlaluan kalau sampai mengabaikan Nenek. Aku sih nggak apa-apa, tapi Nenek?"
Perempuan itu mengusap kepalanya.
"Nenek cuma bisa berdoa, semoga kamu mendapatkan hidup yang lebih baik. Menemukan kebahagiaan, dan bertemu dengan orang yang mencintaimu tanpa melihat keadaan kita yang seperti ini."
Nania terkekeh.
"Makan dulu Nek." katanya, yang kemudian dituruti oleh sang nenek.
***
Suasana rumah yang sepi berubah ramai ketika Mirna, Hendrik dan Sandi tiba saat telah larut. Belum lagi kakaknya yang membunyikan mesin motor dengan keras hingga terdengar meraung-raung di depan rumah padahal tempat tinggal mereka berada di daerah pemukiman yang terbilang padat.
Hingga setelah beberapa saat terdengar tetangga meneriaki untuk membuatnya berhenti.
"Sirik lo gue punya motor baru, dasar!" Terdengar Sandi membalas.
Nania keluar dari kamar untuk memeriksa, dan yang dia dapati adalah sang ibu dan suami juga anak laki-lakinya yang baru saja tiba.
Mereka duduk di ruang tengah dengan tas belanjaan yang cukup banyak dan beberapa hal. Belum lagi sebuah motor baru yang terparkir di depan rumah cukup membuat Nania heran.
"Sudah pulang kamu jam segini?" Mirna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 6 petang.
"Iya."
"Tumben? Nggak jalan sama Om?" Sandi mengejek.
Nania tak menjawab. Dia hanya menatap barang yang dibawa ibunya pulang satu per satu.
"Ibu habis belanja?" Dia memberanikan diri untuk bertanya.
"Iya dong. Sekali-sekali belanja. Menyenangkan diri sendiri." katanya yang padahal tempo hari menyebut anaknya boros.
"Beli makanan nggak? Atau beras gitu? Tadi aku lihat di dapur cuma ada nasi sedikit. Lauknya nggak ada. Kasihan Nenek belum makan."
"Ngeledek kamu!" Mirna melempar satu bungkusan ke depan anaknya.
Nania mengambil lalu memeriksanya dan menemukan satu bungkus nasi padang dengan lauk gulai ayam yang sudah basi.
"Ibu belinya kapan? Kok udah gini?"
"Tadi siang untuk ayahmu tapi nggak dimakan." jawab Mirna dengan entengnya, dan dia sibuk mencoba perhiasan yang dikeluarkannya dari dalam tas.
Nania melirik sekilas kepada pria yang duduk bersandar dengan kaki terlentang di meja.
"Ini udah nggak bisa dimakan Bu. Basi."
"Alah, kamu manja. Mentang-mentang suka makan enak di tempat kerja, lantas menjelekkan makanan yang ibu bawa."
"Ini memang basi. Ibu mau bikin nenek sakit?"
"Ya sudah, kamu kasih nenekmu makan biar dia sehat terus." Mirna meninggikan suaranya.
"Kemarin ibu ambil uang aku katanya untuk kebutuhan rumah. Tapi nyatanya dirumah nggak ada apa-apa?"
"Hey! Kamu pikir uang yang kamu berikan itu cukup untuk kebutuhan kita yang banyak ini? Pikir dong! Apa-apa semuanya mahal."
"Ya kalau semua orang kerja pasti bisa cukup. Cuma ngandelin uang dari aku mana bisa?" Nania memberanikan diri.
"Apa kamu bilang?"
"Yang kerja sendiri, sementara yang pakai banyakan. Mana cukup?"
"Berani ya kamu ngomong begitu?" Mirna bangkit.
"Kamu pikir kamu ini siapa?" Dia menghampiri anaknya.
"Aku ini anak ibu! Kenapa ibu berbuat gitu sama aku? Membebankan banyak hal untuk aku penuhi seolah aku ini mampu."
"Beban katamu? Itu tanggung jawabmu sebagai anak. Kamu tidak tahu siapa yang melahirkanmu? Ibu yang melakukan! Jadi ada yang harus kamu lakukan untuk membayar itu semua."
"Terus apa yang Bang Sandi lakukan? Dia santai-santai aja, malah sering minta uang sama Nia. Mana tanggung jawabnya sebagai anak laki-laki yang ibu lahirkan dan …."
PLAAAKK!
Tamparan keras kembali Nania terima, kali ini dari sang kakak.
"Berani lu ngomong begitu? Siapa yang ngajarin?"
Nania membeku di tempatnya.
"Udah kewajiban lu ngasih banyak hal sama ibu. Karena lu lebih mampu. Lu kerja, sedangkan gue?"
"Seharusnya … Abang juga kerja." Nania benar-benar mengumpulkan keberaniannya. Meski hampir menangis dan dia memegangi pipinya yang terasa sakit dan panas.
"Kan gue lagi nyari, tapi belum dapat. Lu nggak ngerti."
"Kerjaan apa? Diluar sana banyak yang bisa Abang lakukan untuk dapat uang. Bukannya cuma keluyuran!"
"Lu bilang keluyuran?" Sandi mendorong pundak Nania hingga gadis itu terhuyung ke belakang.
"Lu nggak tahu apa yang gue kerjain, jadi jangan ngomong sembarangan!"
"Tapi kan selama ini …."
"Lu nggak tahu!" Dia kembali mendorongnya, kali ini dengan keras sehingga Nania terjerembab ke lantai.
Dan pria itu hampir saja menginjak kaki Nania ketika nenek mereka muncul menghalangi.
"Cukup Sandi!"
"Nenek jangan ikut campur. Mau kena tendangan aku?"
Perempuan tua itu lantas menarik Nania dan membawanya ke dalam kamar.
"Lain kali jangan berurusan dengan Sandi. Bisa babak belur kamu dia hajar." Mereka duduk di tepi ranjang.
"Nenek lihat kan? Mereka selalu begitu? Ibu bahkan membiarkan Bang Sandi berbuat begitu sama aku?" Nania terisak.
"Makanya Nenek bilang, kamu nggak usah berurusan dengan mereka. Biarkan saja, yang penting kamu aman."
"Aku semakin yakin, kalau kita seharusnya pergi aja dari rumah ini. Nenek mau ya pergi sama aku? Kita tinggal di rumah ayah. Kita pasti baik-baik aja."
"Iya, Nenek akan ikut kamu."
"Beneran ya? Aku mau minta surat rumah dulu sama ibu." Nania bangkit dan hampir keluar dari kamar.
"Jangan sekarang!" Namun Nenek menahannya.
"Kenapa?"
"Ibumu sedang marah dan ada Sandi juga suaminya di sana. Kamu akan menghadapi mereka, dan itu berbahaya. Jadi tunggu saja besok atau kalau mereka tidak ada."
"Tapi …."
"Besok, Nak. Nenek khawatir Sandi akan bertindak lebih keras kepadamu."
Nania terdiam.
"Nurut kepada Nenek ya? Jangan sekarang." ucap perempuan tua itu yang menarik cucunya kembali.
💖
💖
💖
Bersambung ...
hadeh .... sampai kapan gitu terus?😔
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Hearty 💕
Nggak yamin masih ada surat rumahnya
2023-11-02
1
Wita Dewi
sedih bin kesel. izin masukin aku laaaaaah mak fit. aku mau jadi sahabatnya nania
2023-03-20
2
Ari Wardani
hadeh kak fit aja yng nulis.. nulis Hadeh jg 😂😂😂😂😂
2023-03-16
1