💖
💖
Nania tiba di depan rumah saat sudah cukup larut. Beruntung setelah berjalan sejauh dua blok dari area di mana Amara's Love berada aplikasi ojek onlinenya menemukan driver yang bersedia mengambil orderan miliknya.
Namun gadis itu tertegun ketika mendapati lampu rumah yang masih terang benderang dan dalam keadaan yang cukup ramai.
Ragu-ragu dia masuk, dan menemukan Mirna bersama suaminya yang dia usir seminggu yang lalu tampak akrab di ruang tamu. Ditambah dua orang pria yang sedang bercakap-cakap ditemani makanan dan minuman di meja.
Tak ada yang menghiraukan kedatangannya, kecuali pandangan aneh dua tamu mereka yang menatapnya dari atas ke bawah. Membuat perasaan Nania tidak enak sehingga dia bergegas masuk ke dalam.
"Kau punya anak gadis rupanya?" ucap salah satunya kepada Mirna.
"Ya, dia anak dari suami yang kedua." Perempuan itu menjawab.
"Benarkah? Memangnya sudah berapa kali kau menikah?"
"Dengan yang sekarang berarti tiga. Pertama ayahnya Sandi, kedua ayah anak itu, ketiga dia." Mirna menunjuk suaminya.
"Banyak sekali?"
"Ya, tapi mereka semua tidak berguna. Hanya bisa menjadi benalu saja."
"Termasuk aku?" Hendrik, suaminya menunjukan wajahnya sendiri.
"Menurutmu?"
"Ah, aku menyesal jika iya. Maafkan aku Sayang! Aku akan berusaha lebih baik lagi." katanya kemudian dengan suara mesra.
***
"Nenek belum tidur?" Nania masuk ke dalam kamar yang ukurannya terbilang kecil itu.
"Belum." Nenek bangkit.
"Berisik ya Nek?"
"Ya, mereka tidak pulang sejak tadi."
"Itu teman-temannya ibu?"
"Tidak tahu, Nenek baru melihat mereka. Kamu kenapa pulang malam-malam begini? Apa kafenya sangat sibuk?"
"Nggak sih, cuma tadi aku nggak dapat ojol jadinya jalan dulu. Lumayan jauh." Nania duduk di tepi ranjang setelah melepaskan hoodie dan sepatu ketsnya.
"Sayang …." Nenek mengelus kepala cucunya.
"Nenek udah makan?" Nania bertanya.
"Sudah tadi."
"Sama apa?"
"Biasa lah, sayuran."
"Nggak pakai ayam ya?"
"Sayuran itu sehat."
"Lauk yang lain juga sehat."
Neneh hanya tertawa.
"Nenek, nanti kalau aku pergi mau ikut nggak?" Nania kemudian berbicara.
"Pergi ke mana?"
"Aku mau balik lagi ke rumah ayah."
"Kamu nggak betah di sini?"
"Bukan itu masalahnya."
"Karena ibumu ya?"
Nania menganggukkan kepala.
"Aku ngerasa ibu nggak adil. Selalu bersikap keras sama aku tapi sama Bang Sandi lembutnya minta ampun."
Nenek menatap wajah cucunya dalam diam.
"Gini-gini aku kan masih anak ibu, tapi kenapa ya ibu selalu gitu? Aku ngerasa kayak anak tiri." Nania mengingat perlakuan Mirna kepadanya.
"Sabar ya Nduk." Nenek kembali mengusap kepalanya.
"Padahal dulu nggak. Seingat aku sejak ibu nikah lagi deh? Apa setelah pulang dari Batam ya?"
"Entahlah, Nenek tidak mengerti soal itu. Ibumu memang keras tapi untuk suaminya dia bisa berubah."
"Untuk Bang Sandi juga. Padahal seminggu yang lalu mereka berantem kan? Sampai Om Hendrik pergi? Nenek bilang kerena kalah judi dan uang ibu habis. Makanya sampai marah-marah dan melampiaskannya sama aku."
"Ya."
"Tapi kenapa sekarang ibu begitu? Kayak yang nggak ada apa-apa sama Om Hendrik?"
"Nenek tidak tahu, tapi ini bukan yang pertama kalinya mereka begitu. Kadang di suatu pagi mereka bertengkar hebat sampai ibumu memecahkan barang dan mengusir Hendrik pergi. Tapi malam harinya dia kembali dan mereka akur seperti tidak ada masalah sebelumnya."
"Sering Nek?" Nania menoleh kepada sang nenek.
"Sering dan terus berulang sampai sekarang."
"Kok bisa gitu ya?"
"Ya."
Lalu Nania bangkit seraya meraih handuk yang menggantung di belakang pintu.
"Kamu mau ke kamar mandi?" Sang nenek bertanya.
"Iya Nek, gerah."
"Sebaiknya jangan." Dia menahannya.
"Kenapa?"
"Ada orang asing di rumah, tidak baik. Diam saja di sini."
"Tapi aku kan …"
"Nenek bilang jangan. Sudah, ganti baju saja terus tidur."
Kemudian Nania menurut seperti biasa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gadis itu menatap kertas yang di sodorkan ibunya saat dia sedang menikmati teh hangatnya di meja makan.
"Tanda tangan." Mirna memberikan sebuah pena kepadanya.
"Ini apa?" Nania berniat membaca tulisan di kertas itu.
"Jangan banyak tanya, tanda tangan saja!" Sang ibu menggeser kertas tersebut.
"Iya tapi apa? Sebentar, Nia baca dulu."
"Nanti saja, ini harus buru-buru!" Mirna melipat kertas tersebut lalu membalikkannya sehingga hanya bagian bawahnya yang bertanggal dan bermaterai saja yang bisa Nania baca.
"Tunggu Bu."
"Cepat Nania! Ibu butuh tanda tanganmu sekarang!" Perempuan itu membentak sehingga membuat putrinya terhenyak.
Kontrol diri padanya memang selalu menghilang ketika mendapat bentakan dan teriakan semacam itu. Apalagi ditambah suara yang tinggi dan juga sedikit marah. Membuat Nania dengan refleks menuruti apa saja yang dikatakan orang kepadanya. Dan Mirna tahu akan kelemahan anak perempuannya itu.
"Cepat!" bentak Mirna lagi.
Lalu dengan tangan bergetar Nania memegang pena dan membubuhkan tanda tangannya di atas materai tersebut.
Bibir Mirna melengkung membentuk sebuah senyuman.
"Bagus, kamu memang anak baik." katanya, sambil menarik kertas tersebut.
"Itu … untuk … apa Bu?" Nania tergagap.
"Hanya surat persetujuan." Mirna menjawab.
"Persetujuan untuk apa?"
"Untuk kebutuhan ibu." Perempuan itu melenggang ke kamarnya, lalu keluar setelah beberapa saat dalam keadaan rapi, diikuti oleh suaminya.
"Umm … Bu?" Nania memberanikan diri.
"Ya?"
"Boleh nggak kalau Nia minta sertifikat rumahnya ayah?"
"Untuk apa?"
"Mau Nia simpan."
"Ibu saja yang simpan."
"Nia aja Bu."
"Untuk apa sih?" Perempuan itu dengan nada tidak suka.
"Cuma … biar nggak ibu jual." Nania dengan suara pelan.
"Apa?"
"Ibu … nggak beneran jual rumahnya kan?"
Dia menatap wajah Nania lekat-lekat.
"Nia nggak setuju kalau Ibu jual rumahnya. Cuma itu satu-satunya peninggala ayah, dan rencananya Nia mau balik lagi ke sana."
"Kenapa kamu mau kembali ke sana?" Mirna mendekati anaknya.
"Umm … Nia … mau di sana aja."
Sang ibu memicingkan mata.
"Kamu tidak mau tinggal dengan Ibu? Kamu tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu. Kamu sendirian." Tiba-tiba saja suaranya melembut.
"Kayaknya nggak apa-apa kalau misal Nia sendirian, soalnya …."
"Lalu bagaimana dengan Nenekmu? Dia akan sedih kalau kamu pergi." Nania menoleh ke samping rumah di mana neneknya berada.
"Nia bawa Nenek."
"Tidak bisa. Dari dulu Nenek dengan ibu."
"Tapi Bu …."
"Ingat apa yang seharusnya kamu lakukan sebagai anak, apalagi ayahmu sudah tidak ada. Seharusnya kamu menurut kepada ibu, bagaimana pun keadaannya."
Nania terdiam. Hatinya menolak dan pikirannya menyangkal. Tapi tubuhnya membeku di tempat duduknya tanpa bisa mengatakan banyak hal. Karena kelemahannya adalah dia tak mampu melawan intimidasi semacam itu, apalagi ketika sendirian. Dan ibunya selalu berhasil membuatnya begitu.
"Jadi, kamu hanya bisa tinggal di sini tanpa penolakan." Mirna mengucapkannya dengan tegas. Lalu dia mundur.
"Terus gimana sertifikat rumahnya?" Dia kembali mengumpulkan keberaniannya.
"Oh, ya … soal itu nanti ibu berikan kepadamu." jawab Mirna.
"Benar?"
"Benar. Sekarang ibu harus pergi." Katanya yang mengikuti suaminya keluar.
"Pergilah bekerja, dan jangan malas!" Teriaknya sebelum mereka pergi.
💖
💖
💖
Bersambung ...
Ayo dong, like komen sama hadiahnya kirim terus. Kalau bisa nembus ranking hadiah aku mau ngadain give away nih.😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Hearty 💕
Nggak salah tuh... siapa yang malas sebernernya
2023-11-02
1
♥(✿ฺ´∀`✿ฺ)Ukhti fillah (。♥‿♥。)
nurut sih klo mak nya baik gpp lah ini mak nya kya mak tiri gimna mau nurut bu
2023-02-03
2
♥(✿ฺ´∀`✿ฺ)Ukhti fillah (。♥‿♥。)
dih nia emng ank yg baik bru sadar ya
2023-02-03
1