💖
💖
"Ibunya nggak ada Nek." Pagi-pagi sekali Nania sudah siap.
"Oh ya? Nenek juga belum ketemu, mungkin ibumu pergi?"
"Nggak tahu."
Gadis itu terdiam sebentar.
"Gini aja, Nenek beresin dulu baju sama semua yang harus dibawa. Sementara aku pergi dulu."
"Kamu mau kemana? Kerja?"
"Nggak. Hari ini aku libur, mungkin mau ke makam ayah dulu. Udah mau dua minggu aku nggak ke sana, terus lihat rumah sebentar. Mungkin siang nanti aku pulang ibu juga datang?"
"Begitu?"
"Pergi dulu ya Nek?" Gadis itu meraih tas selempangnya kemudian pergi.
***
Pusara sang ayah sudah mengering namun sisa helaian bunga yang dia taburkan terakhir kali masih ada.
Nania berjongkok di samping seraya meletakkan seikat bunga yang dibelinya dalam perjalanan menuju pemakaman umum di pinggiran kota Jakarta.
Dia memanjatkan doa yang diketahuinya kemudian menyiramkan sebotol air yang dibawanya juga.
"Ayah gimana kabarnya? Maaf ya, Nia baru bisa datang lagi." Nania mengusap batu nisan bertuliskan nama sang ayah.
"Beberapa hari ini Nia sibuk, tahu kan kalau kedainya Kak Ara makin ramai? Jadi agak susah untuk libur. Ini juga agak maksa karena Nia mau urus sesuatu."
"Ayah tahu kalau Nia tinggal di rumahnya ibu? Baru dua minggu tapi Nia udah nggak betah. Di sana nggak enak. Nanti Nia mau kembali ke rumah kita, jadi pasti akan lebih sering nengokin ayah."
"Doa in Nia ya, biar ibu ngasih kunci sama surat rumahnya, biar Nia bisa langsung pulang. Udah capek, kasihan Nenek juga nggak ke urus kalau tinggal di sana. Nia izin bawa Nenek untuk tinggal di rumah kita ya Yah?" Dia seolah berbicara kepada manusia.
Lalu Nania terdiam lagi. Dia sedang mengingat bagaimana hari-harinya bersama sang ayah. Mereka tinggal berdua tak lama setelah kedua orang tuanya bercerai saat umurnya masih 12 tahun.
Dirinya memang sempat tinggal dengan Mirna, namun setelah sekitar satu tahun perempuan itu mengantarkannya kepada Asyad karena merasa tidak sanggup untuk mengurusnya. Padahal sebelumnya sang ibu mati-matian mempertahankannya meski Arsyad bersikeras membawanya pergi.
Saat itu Mirna baru saja pulang dari Batam setelah bekerja sekitar enam bulanan, dan pulang karena ternyata dia sudah menikah lagi dengan Hendrik. Dan dari sinilah semuanya berawal.
Meski sang ibu memiliki sikap yang keras, tapi dulu lebih baik. Kasih sayang dan perhatiannya masih terasa meski dia sering bepergian untuk bekerja. Tapi pernikahannya dengan Hendrik merubah segalanya.
Entah apa yang pria itu lakukan, tapi yang jelas Mirna seolah bukan dirinya lagi. Selain bersikap keras, dia juga kerap kali memerasnya dengan berbagai alasan.
Mungkin dulu, saat masih ada sang ayah dan mereka tinggal terpisah masih sedikit lebih baik. Mirna hanya meminta sesuatu jika dirinya sedang datang mengunjungi Nenek. Tapi sekarang lebih parah.
Perempuan itu bahkan berani merampas apa yang dia miliki dengan dalih untuk berbakti dan membayar apa yang telah ibunya lakukan saat dia kecil.
Apakah semua ibu seperti itu?
Tapi dia melihat Nenek begitu lembut, tidak memiliki sikap yang dimiliki oleh ibunya. Entah dari mana itu semua berasal.
"Udah siang Yah. Nia pulang dulu ya? Nanti Nia kesini lagi." Dia membenahi ikatan bunga.
Nania bangkit kemudian berjalan keluar dari area tersebut.
***
Nania tertegun di depan rumah miliknya dan sang ayah. Menatap orang-orang yang tengah menurunkan barang dan membenahi ruangan.
Orang yang tidak dikenalnya sama-sekali sedang memasukkan perabotan ke dalam sana tanpa izin.
"Permisi?" Gadis itu memberanikan diri.
"Ya?" Seorang perempuan paruh baya menjawab.
"Maaf, ini rumah saya. Kenapa ibu memasukkan barang-barang?"
"Rumah kamu?"
"Ya. Baru dua minggu saya tinggal, tapi kenapa …."
"Kemarin saya beli ini dari seseorang, makanya semua perabotan yang ada langsung saya keluarkan untuk diganti dengan perabotan milik saya." jawab perempuan itu seraya menunjuk perabotan rumah milik Nania.
Pakaian ayahnya yang belum sempat dia bereskan bahkan bsrtumpuk di beberapa keranjang cucian.
"Apa?"
"Ya. Minggu lalu aya lihat spanduk tanda dijual kemudian saya hubungi nomer yang ada. Kemarin pagi kami bertemu dengan Pak Hendrik dan Bu Mirna. Tidak lama setelahnya kami langsung transaksi." Dia menjelaskan.
Nania membeku. Ketakutannya ternyata menjadi nyata dan dia terlambat.
"Tapi Bu, saya nggak menjual rumah ini."
"Lah, ada spanduk tanda dijual makanya saya beli."
"Tapi saya nggak setuju."
"Soal itu saya kurang tahu, karena Pak Hendrik sudah mengurus semuanya. Ada tanda tangan juga kok dari pemilik sebelumnya. Katanya anak Bu Mirna?"
"Saya pemilik rumah ini, Bu. Sama ayah saya." Nania hampir menangis.
"Saya nggak urusan dengan itu. Lagipula saya sudah bayar lunas secara tunai kepada Bu Mirna. Gimana dong?"
Nania kehilangan kata-kata.
***
Gadis itu segera pulang tak lama setelah selesai berbicara dengan pemilik baru rumahnya. Dan dia menemukan Mirna dan Hendrik yang sudah ada di rumah itu.
Dadanya bergemuruh tanda kemarahan yang sudah menyebar menguasai hati dan pikirannya. Mengetahui apa yang telah Mirna lakukan dan mengingat kebodohannya kemarin saat memberikan tanda tangan pada surat yang ibunya berikan.
"Bu!" Nania segera menerobos pintu.
Suami istri yang tengah asyik menikmati makanan dan minuman enak itu mengalihkan perhatian.
"Ibu jual rumah ayah?" Nania segera bertanya.
"Ibu nggak bilang dulu sama Nia!"
"Ck!" Mirna hanya berdecak.
"Bu!" Nania meninggikan suaranya.
"Apa sih? Masalah ini tidak usah dibesar-besarkan lah."
"Nggak usah dibesar-besarkan? Bu, itu rumah punya ayah. Dan aku berencana untuk kembali ke sana, tapi ibu malah menjualnya." Nania emosi.
"Untuk apa kamu kembali ke sana? Kita bisa tinggal di sini bersama-sama, bukankah sudah terbiasa?"
"Aku mau pulang ke rumah ayah, dan aku nggak mau tinggal di sini."
"Untuk apa?" Mirna merangsek kemudian mencengkeram dagu sang anak.
"Kamu tidak boleh kembali ke sana karena memang seharusnya kita di sini bersama-sama."
"Kita bukannya bersama-sama, tapi ibu mengikat aku untuk ibu mafaatkan!" jawab Nania.
"Apa katamu?"
"Semua yang aku kasih nggak pernah cukup untuk ibu, malah dengan beraninya ibu menjual yang seharusnya dijaga."
"Berani sekali kamu berbicara seperti itu kepada ibu? Saya ini ibu kamu, yang melahirkanmu. Seharusnya kamu menuruti apa yang saya katakan, yang saya mau tanpa membantah sama sekali. kamu tahu, bahkan segala yang kamu berikan tidak akan pernah cukup untuk membalas apa yang saya lakukan." Dia menghempaskan Nania ke samping.
"Apa yang sudah ibu lakukan? Selama ini cuma aku yang ibu andalkan." Nania berteriak.
"Karena memang begitu seorang anak seharusnya." Mirna mengangkat tangannya untuk kembali memukul, namun Nenek tiba-tiba datang untuk menghalangi.
"Sudah! Jangan bertengkar lagi!" Dia memeluk Nania untuk menghindarkan pukulan Mirna darinya.
"Ibu udah jual rumahnya ayah, Nek! Aku nggak terima. Ibu tega!!" Nania dengan kemarahannya.
Lalu tiba-tiba Mirna melempar segepok uang berwarna merah kepadanya.
"Ini bagianmu, dan diamlah setelah ini." katanya.
"Nia nggak mau, Nia mau rumah. Balikin rumahnya ayah, Bu!" Namun Nania menendang uang tersebut jauh darinya.
Kemudian dia maju bermaksud menghampiri ibunya kembali saat sebuah pukulan keras mendarat di wajah dan membuatnya terjatuh dengan kepala membentur ujung meja.
Semuanya tiba-tiba saja terasa gelap dan Nania langsung tak sadarkan diri.
"Naniaaaa!!!!" Nenek segera memeluknya.
💖
💖
💖
Bersambung ...
Duh, makin-makin 😔
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Hearty 💕
Sedih banget sih 💔💔💔💔💔💔
2023-11-02
1
Yenny Mok
hadehhhh harusnya ambil duit segepok itu baru deh nyerang.... ini bakalan ngak dapat sepeser pun & badan babak belur hiks
2023-07-05
1
Wita Dewi
mak fiiit, aku jadi emosiiiiiiiiiiiii
2023-03-20
1