💖
💖
"Aku duluan ya? Semangat untuk besok!" Amara berpamitan.
Lalu dia keluar bersama Galang yang menjemputnya seperti biasa. Masuk ke dalam mobil kemudian pergi.
Daryl turun setelah memastikan pasangan itu meninggalkan tempat tersebut. Lalu dia menyeberangi jalanan yang lengang dan segera masuk ke dalam kedai.
"Selamat malam, selamat datang di Amara's Love." Nania memutar tubuh begitu mendengar lonceng di atas pintu berbunyi, dan mendapati pria itu yang berdiri di sana sambil mengusap-usap pundaknya yang agak basah karena terkena gerimis.
"Umm … Ara ada? Aku mau bertemu dengannya." Daryl berbasa-basi.
"Sudah pulang barusan Pak." Gadis itu menjawab.
"Oh, Galang yang jemput?" Dia bertanya lagi.
"Iya, setiap hari juga begitu." Nania mendekat.
"Hmm …." Pria itu memindai wajahnya. Tidak tampak kesedihan namun matanya terlihat sendu.
"Bapak mau makan?" tawar Nania.
"Mm … mungkin segelas kopi. Ya, kopi saja. Aku harus makan malam di rumah. Ehm …." Dia berdeham.
"Baik Pak, silahkan." Gadis itu mundur dan membiarkan Daryl memilih tempat duduknya sendiri.
"Bu Fia dan Pak Satria sehat Pak?" Nania meletakkan kopi di depan Daryl.
"Sehat."
"Syukurlah. Sudah lama tidak berkunjung."
"Hmm … ya, orang tuaku sibuk."
"Itu pasti." Nania sedikit menyunggingkan senyum.
"Yeah …."
"Kalau nggak ada tambahan lagi, saya tinggal Pak?" ucap Nania yang mundur beberapa langkah.
"Turut berduka cita." Pria itu tiba-tiba, membuat Nania menghentikan langkahnya.
"Aku dengar ayahmu meninggal kemarin. Aku turut berduka." katanya lagi, dan dia menatap gadis itu dengan perasaan yang entah harus disebut apa.
"Umm … ya, terima kasih." Nania menjawab.
"Are you oke?" Daryl tidak ingin berhenti bertanya.
Nania sedikit mengerutkan dahi.
Tumben orang ini perhatian? Batinnya
"Karena baru sehari ayahmu meninggal tapi kamu sudah bekerja. Biasanya …."
"Saya baik-baik saja Pak, terima kasih." Gadis itu memotong ucapannya.
"Mmm … syukurlah."
"Baik, permisi Pak? Saya harus kembali bekerja." ucap Nania yang bergegas menjauh.
Segelas kopi sudah habis setelah beberapa lama. Namun Daryl tidak berniat menyudahi keadaan itu. Dia sengaja berlama-lama di sana sambil bermain ponsel. Dan sesekali melirik kepada gadis itu yang masih sibuk melayani pelanggan.
"Duluan ya? Besok atur jadwal lagi. Pulangnya aku lebih jauh sekarang." Nania sudah mengenakan hoodie dan tas selempangnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 7.30 malam, dan dia bersiap untuk pulang.
"Iya, nggak apa-apa, santai." Nindy menjawab.
"Makasih ya?"
"Hmm …."
Kemudian gadis itu melenggang ke arah pintu. Bersamaan dengan Daryl yang juga bangkit begitu dia mendengar kata-katanya.
"Lho? Bapak masih di sini?" Nania berhenti di dekat pintu.
"Umm … Ini baru mau pulang." Daryl menjawab.
"Oh, … Kirain udah pulang dari tadi?" Gadis itu melihat jam di layar ponselnya.
"Ee … Yeah, sepertinya aku lupa waktu." Daryl beralasan.
"Oke. Kalau gitu saya duluan Pak?" Dia mendahului pria itu keluar dari kedai.
***
"Hey Nania!" Daryl memanggilnya dari dalam mobil yang bergerak pelan. Sementara gadis itu berjalan di trotoar.
"Ya Pak?"
"Kamu benar tidak mau menerima tawaranku?"
"Nggak Pak, makasih."
"Ini sudah malam."
"Yang bilang masih subuh siapa?"
"Berbahaya bagi perempuan untuk berkeliaran di jam seperti ini, tahu?"
"Saya pulang kerja Pak, bukan berkeliaran. Lagian saya udah biasa." Nania berhenti di perempatan kemudian menyalakan ponselnya.
"Come on! Aku bisa mengantarmu, setidaknya sampai dekat rumahmu." Daryl kembali membujuk.
"Nggak usah, Pak. Saya pesen ojol." Namun Nania sibuk dengan ponselnya.
"Padahal dari tadi aku menawarkan tumpangan, tapi kenapa kamu malah memesan ojek online?"
"Nggak usah repot-repot, Pak."
"Aku nggak repot. Kan aku juga pulang kerja?"
Nania hanya tersenyum.
"Why are you smiling?"
"Bapak lucu."
"Really? Well, actually i'm …."
"Ojek online?" Nania menyapa seorang driver ojek yang berhenti di depannya.
"Mbak Nania?" Sang driver balik bertanya.
"Iya."
"Baik, silahkan helmnya Mbak. Di antar sesuai rute aplikasi ya?" ucap driver tersebut saat Nania naik di belakangnya.
"Baik Mas. Lets go!" Nania menjawab dengan riang.
"Permisi, Pak? Saya duluan." katanya, kepada Daryl yang terdiam di dalam mobilnya, lalu sang driver segera menjalankan motornya.
"Ish! Dasar anak SMP!" Dan hal itu membuat Daryl menggerutu.
***
Rumah besar terdengar ramai pada malam itu. Dan Daryl melihat ada dua mobil yang dia ketahui milik kedua kakaknya yang mungkin sedang berkunjung.
Dia lupa kalau itu adalah hari Jum'at. Dan saatnya para cucu menginap di rumah tersebut.
"Here we go again!" gumamnya, seraya melenggang ke dalam rumah.
"Der?" Sofia memanggil ketika putra keduanya itu melewati ruang keluarga.
"Yes, Mom?" Daryl pun berhenti di lorong lalu berbelok ke ruangan di mana hampir seluruh keluarga berkumpul di sana.
"Kamu santai hari ini?" Sang ibu bertanya. Dia melirik jam besar yang baru menunjukkan pukul delapan malam lebih sedikit.
"Umm … biasa saja." Pria itu berjalan mendekat.
"Maksud Oma, Om Der jam segini kok udah pulang? Biasanya kan subuh?" Asha menyahut.
"What?"
Sofia tertawa.
"Om Der kalau kerja emang lama ya? Kok pulangnya subuh-subuh? Nggak ngantuk emang?" Anya menimpali.
"Uuhhh, Om Der sibuk. Saking sibuknya pulang juga sampai subuh. Malah, kalau misalnya Oma nggak telfon, pasti Om Der nggak pulang." jawab Sofia.
"Beneran?" Anya dengan raut heran.
"Hmm …."
"Nggak capek emang? Oma kok nggak omelin Om Der sih? Kan kalau kerjanya gitu nanti kecapean. Mommy aja sering omelin Papi kalau pulangnya malam-malam."
"Masa?"
"Iya. Tanya aja sama Mommy."
"Oma nggak berani omelin Om Der." Sofa berbisik, meski pada kenyatannya semua orang di ruangan itu masih bisa mendengar apa yang dia ucapkan.
"Kenapa nggak berani? Mommy aja berani ngomel sama Papi kalau pulang terlambat?" Anya dengan segala kepolosannya.
"Om Dernya galak, Anya!" Asha menyahut kemudian tertawa.
"Masa Om Der Galak sama Oma? Dosa lho!" Anak itu mendelik kepada sang paman.
"Om nggak boleh kayak gitu, nanti Tuhan marah. Kata Mommy, surga itu ditelapak kaki ibu. Oma kan ibunya Om, jadi nggak boleh marah-marah sama Oma. Nanti …."
"Ah, dasar kamu berisik! Siapa juga yang suka marah-marah. Hoax!"
Semua orang menahan tawa.
"Itu marah-marah? Ke aku juga marah. Aku bilangin Papi lho."
Daryl memutar bola mata.
"Sana bilang, Om nggak takut sama papimu."
"Nanti nggak dikasih uang jajan sama Papi."
Tawa Daryl menyembur seketika.
"Kamu pikir Om ini anak SMP yang masih butuh uang jajan?"
"Iyalah. Buat ngisi bensin mobilnya Om dari mana? Dikasih sama Papi kan? Kalau nggak Papi yang kasih, tahu loh nanti nggak bisa ke kedai Kak Ara."
"Apa hubungannya?"
"Nggak bisa ngintip Kak Nania."
"What?"
Sofia menutup mulut dengan tangannya untuk menahan tawa. Sementara yang lain pura-pura tidak mendengar.
"Masih ingat saja soal itu? Padahal sudah mau enam bulan?"
"Ayooo … kalau nakal nanti aku bilangin Papi." Nania mengarahkan ujung telunjuknya kepada sang Paman.
"Kamu ini kelas berapa sih? Kenapa bicaramu seperti orang dewasa?" Daryl bereaksi pada sikap keponakannya yang satu itu.
"Sekarang TK B, aku udah gede loh. Sebentar lagi kan SD." jawab Anya dengan bangganya.
"SD saja sudah begini? Bagaimana nanti kamu SMP, SMA, atau kuliah? Nggak terbayang."
"Apanya yang tidak terbayang?" Empat pria beda usia muncul dari ruang sebelah.
Satria, Arfan, Dimitri, dan Darren yang selesai berbincang di ruangan lain memutuskan untuk ikut berkumpul setelah berdiskusi.
"Anakmu, Kak. Aku curiga nanti dia akan sering membuatmu pusing." Daryl menoleh kepada Dimitri.
"Kalau soal itu sekarang juga sudah." Sang Kakak pun menjawab, lalu dia duduk disamping Rania.
"Lalu bagaimana Kakak menghadapinya?"
"Biarkan saja dia begitu. Memangnya kenapa?"
"Pasti karena sudah terlalu pusing kan?" Daryl tertawa.
"Tapi dia bener tahu?" Rania menyela.
"Siapa? Anya?"
"Ya iyalah, siapa lagi? Dia kan jujur."
"Iya, benar. Jujur benar-benar bikin pusing." Pria itu bangkit.
"Mau ke mana?" Satria menghentikan langkah putranya.
"Ke kamar Pih, mau istirahat." Daryl menjawab.
"Kita bicara dulu sebentar." ucap sang ayah.
"Bicara soal apa?"
"Soal Darren."
Daryl menoleh kepada adiknya dengan dahi berkerut.
"Ada apa?"
Semua mata tertuju kepada Darren.
"Umm … bukankah aku pernah berbicara kepadamu tentang pernikahan, berkeluarga, dan semacamnya?" Darren buka suara.
"Ya, lalu?"
"Kalau misal di antara kita sudah menemukan jodoh bukankah itu bagus?"
"Ya, sure. Tapi aku belum menemukan jodoh." Daryl terkekeh.
"Yeah, semua orang juga tahu."
"So what? Aku nggak mau buru-buru."
"I know."
"Lalu mengapa kita bicara masalah ini? Apa akan ada perjodohan di keluarga ini karena begitu inginnya aku menikah?" Daryl menatap ayahnya dengan raut curiga.
"Jujur saja ya, aku belum mau menikah. Selain karena belum ada calonnya, juga karena aku masih betah melajang. What's wrong with that?" katanya lagi.
Darren terdiam.
"Tapi kalau sudah ada jodohmu ya …."
"I do." Darren menjawab.
"What?'
"Aku … sudah ada."
"Really? Who? Dokter Kirana?" Daryl tertawa, sementara semua orang terdiam.
"Come on! Nggak mungkin dia kan?"
Darren tak langsung menjawab. Tapi itu telihat jelas bagi Daryl.
"Benarkah?" Sang kakak berhenti tertawa.
"Yeah. Sore ini aku berkunjung ke rumahnya, dan orang tuanya langsung bertanya soal keseriusanku." jelas Darren.
"So?"
"Aku bilang … aku serius."
"And?"
"I wanna marry her."
Daryl tertegun.
"Isn't that good?" sang adik tertawa gembira. "Aku nggak bermaksud untuk mendahuluimu, tapi …."
"It's oke." ucap Daryl setelah terdiam cukup lama.
"Really?"
"Yeah, kalau itu bagus untukmu, kenapa harus menjadi masalah bagiku?"
"Kau mengizinkan?"
"For what?"
"Jika aku akan menikah duluan?"
Daryl menatap wajah kembarannya.
"Yeah, kenapa tidak?
"Tapi, jika seandainya kau punya calon juga itu lebih bagus. Kau bisa menikah sebelum aku, atau kita menikah sama-sama. Bukankah dari dulu kita begitu?" Darren berujar.
"No!" Daryl menggelengkan kepala. "Aku belum mau menikah, memikirkannya saja bahkan tidak pernah. So …."
"Are you sure?" Darren memastikan.
"Yeah … menikahlah lebih dulu."
"Bukankah kau sedang …."
"Jadi kapan pernikahannya? Apa tidak terlalu cepat? Berapa bulan kalian saling mengenal? Apa cukup meyakinkanmu untuk menikahinya?" Daryl meracau.
"Umm … ya, aku rasa."
"Good!" Daryl mendekat kepada Darren, lalu memeluknya. "It's good. And I'm glad to know that." Dia menepuk-nepuk punggung kembarannya itu.
"Oh, anak-anakku!" Sofia menghambur untuk memeluk kedua putranya.
💖
💖
💖
Bersambung ...
Acieeee ... Ada yg mau nikah.😂😂😂
Meet kak Darren yang super kalem
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
mama kennand
🥰🥰🥰
2023-07-21
2
mama kennand
fokus mak 😅😅😅
2023-07-21
1
May Keisya
Daryl sedih ga ada yg ngancingin kemeja n naliin sepatunya😅
2023-06-07
1