💖
💖
"Kak?" Nania mendekati meja kasir setelah mengantar makanan ke meja tamu.
"Ya Nna?" Amara memalingkam perhatiannya sejenak dari ponsel.
"Bulan depan, gaji aku ditransfer aja ya?"
"Lho, kan memang begitu? Yang lain nerima gajian lewat rekening. Cuma kamu aja yang aku kasih tunai. Kan kamu yang minta?"
"Iya sih. Kan waktu itu aku perlu untuk berobatnya ayah. Aku males harus mampir-mampir dulu ke atm atau bayar obat pakai kartu. Ribet plus males ingat pin." Nania sedikit tertawa.
Tidak mungkin juga dia mengatakan jika semua gajinya diambil Mirna tadi pagi sebelum pergi bekerja.
"Terus sekarang?"
"Ayahnya udah nggak ada. Terus uangnya buat siapa lagi?"
"Ya buat kamu lah. Memangnya kamu nggak butuh?"
Nania mengingat ucapan ibunya soal kebutuhan rumah dan dirinya yang harua ikut bertanggung jawab akan hal itu.
"Emang kalau beli beras sebulan berapa?" Lantas dia bertanya.
"Tergantung kamu belinya berapa."
"Aku nggak tahu karena biasanya ayah yang beli. Terus pas ayah sakit dan sering bolak-balik ke rumah sakit aku belinya nasi jadi aja. Kadang bawa dari sini setelah aku kerja sama Kakak. Sama lauknya juga." Nania mengingat hari-harinya saat sang ayah masih ada.
"Ada yang beli sekarung, lima kilo, atau sepuluh kilo. Tergantung banyak nggaknya orang rumah." ujar Amara.
"Kalau serumah isi lima orang sebulan sekarung cukup nggak?" Nania memperhitungkan.
"Mm … tergantung juga sama seberapa banyak dan seberapa seringnya mereka makan. Kamu kenapa sih tanya-tanya soal itu?" Amara dengan raut heran.
"Cuma mau hitung Kak."
"Anggap aja beras sekarung, kamu pilih yang standar yang harganya 250 sampai 300 ribu."
"Kalau listrik sama air?"
"Tergantung pemakaian, Nna."
"Nggak selalu sama setiap bulan kan ya?"
"Kadang-kadang. Kamu kayak ibu-ibu deh tanya-tanya soal itu." Amara tertawa, sementara Nania terdiam.
"Aku mau kumpulin uangnya, buat sekolah lagi." Gadis itu berujar.
"Apa? Sekolah?"
Nania menganggukkan kepala.
"Kejar paket C, Kak. Biar agak tinggi dikit ijazah akunya."
Amara menatap wajah pegawainya itu. Dia yang pada saat interview sedikit memohon untuk diterima dan tampak sangat membutuhkan pekerjaan.
Walau dilihat dari ijazahnya yang hanya tamatan SMP tampak tidak meyakinkan untuk bekerja bersamanya, tapi pada kenyataannya Nania mampu membuktikan bahwa dia menguasai pekerjaan ini.
"Bagus Nna. Kalau bisa sampai kuliah dan jadi sarjana." Amara menyemangati.
"Ijazah SMA aja cukup untuk aku. Kalau kuliah nggak yakin bakalan sanggup deh kayaknya."
"Kan belum. Atau mau aku bantu?" Lalu dia menawarkan.
"Oh, nggak usah Kak. Aku mau kumpulin aja uang sendiri, biar enak sekolahnya."
"Nggak apa-apa kalau kamu mau, aku bisa bantu sedikit."
"Nggak Kak, aku mau kumpulin uang aja dulu." Gadis itu beranjak ketika ada pengunjung baru.
"Selamat siang, selamat datang di Amara's Love." Dia menghampiri tamu tersebut, sedangkan Amara memperhatikan dari balik meja kasir, seperti biasa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Makan siangku sudah datang?" Daryl keluar dari ruangannya.
"Belum Pak." Dinna menjawab seraya melihat jam di ponselnya yang baru menunjukkan pukul 11. 55.
"Kenapa dia lambat sekali? Tidak tahu apa kalau aku sudah lapar?" Pria itu bergumam sambil menatap ke arah luar gedung dari jendela besar di lantai empat.
Setiap hari juga jam segini. Dinna membatin sambil memutar bola matanya.
Daryl hampir kembali ke ruangannya ketika di saat yang bersamaan Nania muncul dengan langkah tergesa. Pria itu berbalik.
"Hai Kak?" sapanya kepada Dinna.
"Hai Nna? Tumben lambat?" Perempuan itu melirik sekilas kepada Daryl untuk memberi tanda kepada Nania.
"Maklum Kak, kedai lagi ramai." jawab Nania, mengerti dengan isyarat tersebut.
"Oo …." Dinna mengangguk-angguk pelan.
"Siang Pak?" gadis itu kemudian menyapa Daryl yang berdiri di ambang pintu. Dengan penampilan rapi namun casual. Mengenakan kaus putih polos dengan stelan jas berwarna coklat muda yang tak dia kancingkan seperti biasa.
"Memang ini sudah siang. Kamu pikir kenapa aku ada di sini?" ketus pria itu sambil melenggang kembali ke ruangannya dengan kedua tangan dia masukkan ke dalam saku celana.
Sementara Nania hanya mencebikkan mulutnya. Tapi dia merasa lega karena tampaknya, puasa bicaranya Daryl sudah berakhir setelah interaksi beberapa bulan yang lalu, pada suatu malam di dekat kedai Amara.
"Cepat antar makanannya ke dalam. Kamu nggak tahu ya anaknya Pak Nikolai kalau lapar bisa makan orang?" Dinna berujar, dan dia hampir tertawa.
"Masa?"
"Sumpah. Minggu lalu ada model yang ganggu Pak Daryl pas lagi lapar habis tuh dimakan."
"Ah, Kak Dinna bercanda nih pasti. Masa Pak Daryl makan orang? Memangnya dia kanibal?" Nania dengan ketidak percayaannya.
"Ish, aku bilang nggak percaya?"
Nania kemudian tertawa.
"Nania!!!" Daryl berteriak dari dalam ruangannya.
"Iya Pak, iya. Maaf! Ish, mulai lagi deh nyebelinnya?" Gadis itu pun masuk.
Daryl menggeser sebuah amplop bersamaan dengan Nania yang meletakkan tote bag berisi makan siangnya di meja.
"Bayaran kamu bulan ini. Pembayaran untuk makanannya sudah Dinna transfer kepada Ara." katanya, dan dia melirik sekilas kepada gadis itu.
"Umm … makasih Pak." Nania mengambil amplop tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam tas selempangnya.
"Bulan depan bisa saya minta bapak transfer aja uangnya?" Nania memberanikan diri.
"Memang awalnya begitu kan? Kamu sendiri yang maunya tunai. Kan aku jadinya repot harus punya uang tunai." Daryl menjawab sambil mendelik.
"Eee … hehe." Gadis itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Jawaban ini persis seperti yang Amara lontarkan sebelumnya.
"Apa yang kamu tertawakan?" Daryl menempelkan punggungnya pada sandaran sofa.
"Umm … nggak ada Pak, maaf." Lalu dia ingat lagi interaksi mereka beberapa bulan belakangan yang tidak terlalu baik.
Setelah terjadinya ciuman di pantai saat resepsi pernikahan Amara sekitar lima bulan yang lalu, dan pembicaraan emosional mereka di malam setelahnya, ada beberapa hal yang terjadi.
Termasuk tidak terlalu aktifnya mereka berbincang meski Nania tetap mengantarkan makanan untuknya hampir setiap hari.
"Kalau begitu saya permisi Pak?" Nania hampir saja mundur.
"Hey, mau pergi begitu saja setelah dapat uang ya?" Namun Daryl bereaksi.
"Maaf Pak?" Nania berbalik.
"Kamu telat antar makanan, ditambah lambat juga. Jadi sudah seharusnya kamu mengganti keterlambatan itu dong?"
"Maksud Bapak?"
"Ck! Masa begitu saja kamu nggak ngerti?"
"Pak, bukankah sudah saya katakan waktu itu kalau saya bukan …."
"Siapkan makanannya untukku!" tukas pria itu lalu dia bangkit.
"Ma-maaf?"
"Kamu tuli ya? Siapkan … makanannya … untukku. Paham?" Dia berjalan mendekat.
Sementara Nania tertegun.
"Keluarkan kotak nasinya, lalu buka dan letakkan di sana!" Pria itu menunjuk meja di depannya.
Nania kemudian mengikuti perintahnya.
"Udah Pak." ucap Gadis itu setelah memastikan kotak makanan tertata rapi di meja. Lalu dia menoleh kepada Daryl yang sedang menatapnya sambil mengulum senyum.
"Eeee …." Daryl salah tingkah.
"Ada lagi nggak? Kalau nggak ada saya pamit."
"Sudah cukup." jawab pria itu, kemudian merubah posisi duduknya.
"Baiklah." Lalu Nania mundur ke belakang.
"Besok juga kamu harus melakukan hal yang sama ya? Sudah aku bayar lebih lho." Daryl pun memulai acara makannya.
Nania berhenti sebentar, lalu dia mendelik saat melihat seringaian di wajah pria itu.
"Ish! Balik lagi nyebelinnya!" Gumamnya, lalu dia segera pergi.
Sementara Daryl mengunyah makanannya dengan riang.
💖
💖
💖
Bersambung ...
Enyahlah, nggak ngerti lagi sama kelakuan Pak Daryl ini😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Wita Dewi
mba fit tuh emang oks bgt
2023-03-19
3
♥(✿ฺ´∀`✿ฺ)Ukhti fillah (。♥‿♥。)
dia sengaja mau ngerjain nia thor biar bsa dket² an trus
2023-02-03
3
♥(✿ฺ´∀`✿ฺ)Ukhti fillah (。♥‿♥。)
duh si bos mode galak nya on 😂
2023-02-03
3