“Maaf, Tuan Muda, ada tamu yang menunggu Anda di dalam,” kata sekretaris Eiden yang berjaga di depan ruangan CEO.
Alis Eiden menukik tajam. “Lalu, kenapa kau biarkan masuk tanpa izinku?” katanya dingin.
Tubuh pria yang menjabat sebagai sekretaris Eiden itu bergetar, apalagi di bagian kaki. “M–maaf, Tuan Muda. Ta–tapi, beliau—”
“Jadi, kau tidak mengizinkanku masuk, Eiden?”
Pandangan Eiden berubah seketika. Sorot mata lelaki itu melunak melihat sosok di depannya. Ia menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. “Ck, jadi kau yang datang?”
Lelaki itu terkekeh cukup keras. “Tentu saja aku. Memangnya, siapa lagi yang berani masuk ke sini tanpa menunggu izin darimu?”
Eiden memutar bola matanya. “Cuma kau, to*ol!”
Bukannya tersinggung, lelaki yang dikatai itu malah tergelak. “Jaga mulut kotormu itu, Eiden. Anakku ada di dalam.”
Eiden mengernyit. “Kau membawa anak kecil kemari?”
“Hei, Paman! Kami bukan anak kecil!”
Gadis dan lelaki kecil menampakkan diri dari dalam ruangan Eiden. Keduanya kembar identik, wajah mereka bahkan hampir sama dengan lelaki dewasa di hadapannya ini. Namun, yang menarik perhatian Eiden adalah bola mata mereka.
Warnanya unik. Violet atau ungu.
“Anak-anakmu lumayan juga, Ray.”
...💫💫💫...
“Mereka anak-anak pertamaku, Jovan sama Jovin.” Rayhan memperkenalkan kedua anaknya. Si kembar yang duduk di sebelah Rayhan mengangguk sopan, menyapa Eiden yang duduk di sofa tunggal.
“Kenapa kau mengajak mereka kemari?” tanya Eiden.
“Sekretarisku, Alvin, sedang tidak bisa hadir. Putrinya demam dan tidak mau ditinggal,” jeda Rayhan menyandarkan punggungnya di bahu sofa. “Jadi, mereka berdua ngotot ingin ikut buat gantiin Alvin.”
“Mereka?” Eiden sedikit ragu. Pasalnya, kedua bocah kembar itu masih remaja—ah, tidak! Malahan mereka masih nampak kecil.
“Umur kami sudah 11 tahun, ya, Paman. Jangan anggap kami masih kecil,” ketus Jovin melipat tangan di depan dada. Jovan mengangguk setuju.
Hei, memangnya apa yang bisa dilakukan anak usia 11 tahun? Aduh, Eiden jadi ragu dengan rival sekaligus temannya ini.
Rayhan geleng-geleng. Ia jelas bisa membaca ketidakyakinan di wajah Eiden. Bagi insan yang belum mengetahui kemampuan kedua anaknya ini, jelas mereka akan ragu. “Udah, ayo kita mulai bahas kontraknya aja.”
Eiden mengangguk. Ia mengeluarkan berkas yang dimaksud, begitupun Rayhan. Jovan mengaktifkan tabletnya dan Jovin membuka tablet milik Alvin.
Eiden tercengang. Yang memimpin koordinator bukan ia ataupun Rayhan, melainkan Jovin. Gadis yang menginjak remaja itu memaparkan semua poin penting mengenai kerja sama antar perusahaan. Bahkan, Jovin sedikit menambahkan beberapa hal detail. Lalu, Jovan, bocah itu mengendalikan proyektor hologram yang katanya ciptaan sendiri. Dengan bantuan gambaran tak kasat itu, setiap poin jadi lebih mudah dipahami.
“Oke, Paman, itu rangkuman yang Jovin sama Uncle Al buat. Jadi, ada poin yang Paman tidak setuju?” tanya Jovin mengakhiri penjabarannya.
Eiden mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, menyadarkan isi kepalanya supaya kembali terkoneksi. “Ah, Paman rasa... tidak.”
Rayhan menyeringai. “Oh, tidak ada?” Ia terkekeh. “Ini akibatnya kalau kau meremehkan seseorang hanya dari penampilan, Eiden. Anak-anakku bukan sembarangan bocah.”
Eiden mengangguk setuju. Ia salah karena sempat meragukan kemampuan si kembar. Ternyata, dibalik wajah imut nan lugu itu tersimpan sejuta kemampuan yang hebat. “Sepertinya, kau sudah memiliki penerus yang hebat,” puji Eiden.
“Apa putramu yang akan melanjutkan perusahaanmu, Ray?” tanya Eiden lagi.
Buru-buru Jovan menggeleng. “No, Paman. Jovan sudah punya mimpi sendiri. Jovan tidak mau kalau disuruh ngurusin dokumen-dokumen menyebalkan ini,” tolaknya cepat.
Eiden mengernyit, sedangkan Rayhan tergelak. “Aku tidak mengekang mereka ingin jadi apa, Eiden. Kalau mereka tidak mau jadi CEO, ya, sudah.”
“Jovin yang akan jadi penerus daddy, Paman. Jovin suka bisnis,” sahut Jovin antusias. Sejak kontrak selesai dibahas, anak remaja yang satu itu menempeli Rayhan, bergelayut di lengan lelaki itu.
Eiden terkekeh. Sepertinya hidup Eiden menarik sekali. “Kau ini punya berapa anak, sih?”
Rayhan, Jovan, dan Jovin mengangkat kelima jari dengan kompak. “Lima,” jawab mereka bersamaan.
Eiden melongo. Apa?! Lima?!!
“Yang pertama kembar dua, yang kedua kembar tiga. Jadi, ada lima,” jelas Rayhan lebih panjang.
Astaga, seberapa lebar perut istri Rayhan ini, sih? Kenapa bisa mengandung sampai 3 anak sekaligus?
“Enak nggak punya anak kembar?” tanya Eiden mulai lebih santai.
Rayhan bergumam sebentar. “Enak nggak enak, sih. Enaknya, sekali lahir langsung dapet banyak, lucu juga, mansion-ku jadi rame. Nggak enaknya, agak repot ngurusnya kalo rewel bareng. Untung, istriku udah terbiasa ngurus anak kembar.”
Eiden manggut-manggut. Ia bisa membayangkan jika ketiga anak Rayhan menangis bersamaan. Pasti sangat merepotkan.
“Anakmu yang lain, umurnya berapa sekarang?” Eiden mendadak jadi sangat penasaran dengan rupa si triplets.
“Hampir 3 tahun.”
Perbincangan dilanjutkan. Mereka bercakap-cakap santai layaknya sahabat. Eiden dan Rayhan memang saling mengenal sejak jamuan pesta beberapa tahun silam. Keduanya sering menjadi rival, saling mengalahkan satu sama lain. Namun, prinsip kedua lelaki itu sama. Sportif dan jujur.
Persaingan keduanya dilandasi rasa jujur. Jika Eiden menang, maka Rayhan akan memberi selamat. Begitupun sebaliknya. Intinya, sih, lelaki-lelaki itu merupakan rival sekaligus teman.
...💫💫💫...
“Kak Darren!” teriak Emily menyusul Darren yang sudah berjalan keluar gerbang. Beruntung Darren mendengar suaranya, bocah itu jadi berhenti dan berbalik.
“Kenapa?” tanya Darren.
Emily tersenyum lebar. “Nggak pa pa, Kak. Emily mau ketemu aunty.”
Darren manggut-manggut saja. Kedua bocah selisih satu tahun itu berjalan beriringan. Tiba di depan, Kyra telah menanti di depan. Wanita itu bahkan melambaikan tangan.
“Halo, Cantik,” sapa Kyra pada Emily.
“Halo, Aunty Kyra.” Emily tersenyum cerah.
Darren mencium pipi Kyra ketika wanita itu berjongkok. Dibalas hal yang serupa oleh Kyra. Emily meremas jemarinya di belakang tubuh, ia iri. Ia ingin diperlakukan hal yang sama oleh mommy-nya. Tetapi, hingga detik ini, Emily tidak pernah berjumpa sekali pun dengan wanita yang telah melahirkannya itu.
“Emily belum dijemput?” tanya Kyra mengusap kepala Emily.
Emily menggeleng. “Belum, Aunty. Hari ini yang jemput bukan daddy soalnya.”
“Oh, ya, terus siapa?”
“Emily?”
Langsung terjawab pertanyaan Kyra. Sepasang wanita dan pria paruh baya tiba dengan mobil mewah. Emily memekik memanggil grandpa dan grandma-nya girang.
“Grandma, Grandpa, ini Aunty Kyra sama Kak Darren. Yang Emily ceritain itu, lho.” Emily menarik sepasang suami-istri itu mendekati Kyra dan Darren.
Kyra memasang senyum sopan. “Halo, Nyonya, Tuan, saya Kyra.”
Abigail mengangguk dengan senyum ramahnya. Sang suami pun turut mengulas senyum. Sebut saja namanya Cavan. Keduanya meneliti wanita di depannya saksama. Kyra terlihat sopan dengan outfitnya.
“Kakak, ayo main ke rumah Emily,” ajak Emily antusias. Ia menggenggam tangan Darren dengan sorot penuh harap.
Darren menggeleng. Ia melepas genggaman Emily perlahan. “Hari ini Kakak mau ke makam papi.”
“Eh?” Cavan dan Abigail terkejut.
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Waaahhh HEBAT dan KEREN Jovan dan Jovin 👏👏👏👍👍😄😄
2025-01-20
0
Maria Ulfa
aku mau baju nya itu bagaimana modelnya
2024-02-02
0
Renireni Reni
grandma dan grandpanya suka kayaknya sm kyra
2023-07-13
1