Di rumahnya, Kyra berlarian menuju kamar Reven. Baru saja ia menerima pesan yang mengatakan ada kejanggalan yang sukses membuat Kyra bahagia dan berharap besar.
“Ada apa, Reven?” tanya Kyra to the point.
Reven yang tengah sibuk dengan laptopnya bergegas memindahkan dan berdiri. “Nona, ini.. saya menemukan sesuatu yang aneh.”
“Apa?”
Sebelum melanjutkan, Reven membungkukkan badan. “Saya minta maaf karena tidak mendengar perintah Anda, Nona. Saya terlalu penasaran dengan dalang dibalik pengeboman hotel semalam. Jadi, saya berusaha mencari tahu.”
Lelaki itu bangkit dan mengambil laptopnya. “Setelah ditelaah, pelaku dibalik kejadian semalam adalah anggota mafia The Zero’s,” sambung Reven.
“Mafia.. The Zero’s?” beo Kyra.
Reven mengangguk. “Benar, Nona. Mereka ingin menghabisi incaran mereka.” Ia mengotak-atik laptopnya sebentar. “Data mengenai orang-orang yang menyusup ke hotel berhasil saya dapatkan. Dan....” Reven mendadak ragu untuk melanjutkan.
“Dan apa, Reven? Apa?!” desak Kyra tak sabar.
Reven menggulir bola mata ke kanan dan ke kiri, kebiasaan umum seseorang jika sedang gugup. “Wajah salah satu dari mereka... mirip dengan Tuan Ansel, Nona.”
Napas Kyra tercekat di tenggorokan. Matanya terbuka lebar. Bahkan, tubuh Kyra sampai kehilangan keseimbangan secara mendadak. Beruntung ia bisa menggapai dinding untuk dijadikan tumpuan.
Berlebihan memang. Namun, nama Ansel—yang hampir 7 tahun ini tidak pernah ia dengar—memang sangat berarti di hidup Kyra. Seharusnya, lelaki itu sudah tiada dalam kecelakaan bertahun-tahun silam. Lalu, kenapa semuanya jadi begini?
Setelah menetralkan diri, wanita itu memandang sang tangan kanan datar. “Cari tau soal orang itu. Aku mau semuanya; riwayat hidup, catatan kesehatan, apa saja yang dia lakukan. Aku ingin semua, Reven,” ucapnya dengan penuh penekanan.
Seperti biasa, tugas bawahan hanya bisa mengiyakan tanpa berani mempertanyakan. “Baik, Nona.”
...💫💫💫...
Seperti rutinitas biasa, Kyra mengantar putranya ke sekolah. Bocah itu ngotot ingin masuk, padahal sudah dinasihati supaya Darren istirahat di rumah saja. Wanita itu sedikit khawatir jika sang putra masih syok atau trauma karena kejadian semalam.
Yahh.. walaupun Darren nampak biasa sejak membuka mata, tetapi Kyra tidak akan percaya begitu saja. Ia tahu persis selicik dan secerdas apa anaknya itu.
Pasalnya, Kyra sendiri yang mengajari😭
“Kalo ada apa-apa, bilang sama guru terus suruh hubungi Mami, ya,” pinta Kyra mengingatkan sebelum meninggalkan sekolah putranya.
Darren mengiyakan dengan malas. Maminya itu sudah mengucapkan kalimat yang sama berulang kali. Bosan dia mendengarnya.
“Darren masuk dulu, Mi,” pamit Darren. Sebelum benar-benar melangkah ke dalam, ia mengecup pipi Kyra. Perlakuan manis yang selalu sukses mengembangkan senyum di paras wanita tersebut.
Di sisi lain, Eiden selesai mengantar putrinya ke sekolah pula. Gadis kecil itu merengek ingin pergi ke sekolah. Tidak jauh berbeda dengan pemikiran Kyra, Eiden pun melarang. Menasihati supaya putrinya mau tetap tinggal di dalam rumah guna mengadaptasikan diri.
Sayangnya, si kecil yang imut itu malah ngambek. Jadinya Eiden terpaksa mengantar Emily ke sekolah.
Layaknya rutinitas harian, Eiden tengah berkutat di kantor. Menekuni puluhan kertas dengan tulisan rumit, atau sesekali menengok ke arah laptop untuk mengecek data. Ah, sumpah, sih, pasti sangat membosankan.
Tok tok tok...
“Masuk!” seru Eiden tanpa mengalihkan pandangan dari berkas di tangan.
Garry masuk. Raut tenang yang biasa lelaki itu tunjukkan, kini sirna. Hanya dalam satu kali lirik, Eiden tahu jika ada something yang besar tengah terjadi hingga membuat asistennya itu panik.
“Ada apa?” tanya Eiden.
“Tuan...” Garry bingung ingin menjelaskan dengan kata-kata yang seperti apa.
“Bicara yang jelas, Garry,” cerca Eiden geram. Entah mengapa, firasatnya mulai berspekulasi hal negatif. Jika Garry tetap tidak membuka mulut, bisa-bisa ia salah paham.
Garry menghela napas berat. Dengan kepala tertunduk, ia berkata, “Tuan Aariz dan keluarganya ditemukan tewas di kediaman mereka, Tuan.”
Hening.
Tidak ada perubahan ekspresi yang kentara di paras Eiden. Lelaki itu memasang raut datar dengan sorot tajam. Berbeda dengan kedua tangan Eiden yang mengepal erat hingga buku jarinya memutih, menunjukkan reaksi terhadap berita yang dibawa.
“Tuan besar berpesan supaya Anda segera pulang, Tuan,” tambah Garry. Kepalanya kian menunduk, tidak sanggup mengabarkan berita duka ini kepada sang tuan.
Aariz adalah kakak Abigail—yang artinya merupakan paman Eiden. Seluruh bawahan Eiden sangat tahu seberapa dekat Eiden dengan keluarga Aariz. Keluarga mereka jauh lebih akrab dibandingkan kerabat lain.
Itulah mengapa Garry sangat berat menginformasikan berita ini. Ia yakin, tuannya sedang melawan emosinya sendiri.
Eiden bangkit dari duduknya. “Kita pulang sekarang.”
...💫💫💫...
Raungan Abigail menggema di segala penjuru mansion. Wanita paruh baya itu histeris selepas mendengar berita mengenai sang kakak. Di sampingnya, Cavan berusaha menenangkan. Namun, gagal. Pria paruh baya itu paham jika sang istri sedang terguncang, sulit untuk dikendalikan.
“Mama, Papa.” Eiden tiba dengan raut datar. Riak sendu sedikit terpancar dari matanya—seandainya diperhatikan lebih lanjut. Lelaki itu mencemaskan Abigail yang kondisinya memang mengundang iba.
Pakaian kusut, rambut sedikit berantakan, hidung memerah, mata bengkak, dan pipi basah. Abigail sesayang itu dengan Paman Aariz, kakaknya.
“Eiden, apa kamu bisa pergi ke rumah pamanmu sekarang? Papa minta tolong sama kamu, urus pemakaman dan lain-lain. Papa nyusul setelah mama tenang,” pinta Cavan mendekap Abigail erat.
Eiden menghela napas berat, kepalanya mengangguk pelan. Dengan berat hati, ia meninggalkan mamanya bersama sang papa di mansion. Lagipula, ada yang harus Eiden diselidiki di sana.
Bagaimana bisa satu keluarga meninggal di rumah mereka sendiri?
Eiden yakin. Ini kasus pembunuhan.
...💫💫💫...
Ya, benar. Ini memang kasus pembunuhan. Keluarga Aariz dibantai di kediaman mereka sendiri.
Pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu yang Eiden lihat hanyalah darah. Terutama ruang tamu, percikan cairan merah pekat berbau amis itu tersebar di mana-mana. Hampir seluruh benda di sana terdapat tetesan darah.
Di belakang Eiden, ada Garry, Michael, dan Erry. Garry menghubungi kedua sahabatnya yang lain guna membantu penyelidikan. Ketiganya sama-sama tidak menyangka ada orang yang tega menghabisi keluarga Aariz.
Selama ini, Aariz dikenal sebagai sosok yang dermawan. Pria yang merupakan kakak kandung dari Abigail itu sama sekali tidak pernah menyentuh dunia hitam. Ia hanyalah seorang pengusaha, CEO perusahaan milik keluarga.
Orang macam apa yang tega membunuh orang seperti Aariz?
“Eiden!” pekik Michael dan Erry terkejut. Refleks kedua lelaki itu mengalihkan pandangan ke samping. Sumpah, pemandangan di depan begitu menyayat hati.
Eiden dan Garry mematung. Mereka menatap Aariz dengan sorot tak terartikan.
Ya, di depan mereka ada Aariz. Lebih tepatnya mayatnya—yang penuh dengan sayatan dan darah. Bahkan, tubuh dan tangan kanannya terpisah.
Eiden memejamkan matanya erat-erat. Pemandangan di depan terlalu mengerikan untuk diperhatikan lebih lama.
“Siapa pun...” lirih Eiden.
Ia membuka matanya. Mata yang kini berubah merah dengan air di pelupuk mata. “Siapa pun pelakunya, aku jamin mereka akan merasakan sepuluh kali lipat lebih kejam dari ini.”
Itu sumpahku, Paman.. aku janji akan membalaskan dendammu..
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Ternyata musuh Kyra dan Eiden adalah orang yg sama...
2025-01-20
0
HNF G
apakah emily nanti dititipin ke kyra?
2023-08-25
0
Renireni Reni
byk bner musuhnya
2023-07-14
1