Jenazah keluarga Aariz dibawa ke mansion Eiden. Sesuai rencana, mereka akan memakamkan paman Eiden keesokan harinya karena masih harus menanti beberapa pihak keluarga yang tinggal di luar kota atau luar negeri. Banyak sekali yang menyayangkan kepergian keluarga Aariz.
Semenjak melihat jasad sang kakak, Abigail yang sedikit tenang, kembali menangis. Walaupun tidak histeris seperti sebelumnya, wanita paruh baya itu nampak kacau. Abigail duduk di antara Aariz dan istrinya sepanjang malam, tidak mau bergeser sedikitpun juga mengeluarkan suara.
Selain Abigail, Emily juga terguncang mendengar berita ini. Dari Aariz dan istrinya, mereka memiliki satu anak—setelah penantian selama 4 tahun. Seorang gadis kecil berusia 7 tahun. Dan, dia merupakan aunty kecil kesayangan Emily.
Benar-benar tidak manusiawi orang yang membunuh keluarga ini. Bahkan, mereka tega menusuk anak sekecil itu.
Dalam penyelidikan, Eiden dibuat kesal karena tidak berhasil mendapatkan sesuatu untuk dijadikan petunjuk. CCTV yang terpasang sudah dirusak beserta perangkat komputer yang tersambung. Yang bisa ia temukan hanyalah sebilah pisau berlumur darah—yang Eiden harap merupakan salah satu alat yang dipakai pelaku dan terdapat sidik jari supaya mereka mendapat titik terang.
Sesuai rencana, hari ini—setelah malam panjang penuh air mata—keluarga Aariz akan dimakamkan di area khusus milik keluarga Kennedy. Seluruh keluarga besar hadir dengan berbagai ekspresi; ada yang menangis, sok peduli, biasa saja, atau malah tidak hadir sama sekali.
Eiden tidak heran lagi. Di keluarganya, sekalipun ikatan darah yang terjalin lumayan kental, mereka bisa menjadi musuh. Intinya, tidak ada yang bisa dipercaya di sini.
Emily bersikukuh ingin ikut. Gadis kecil itu ingin menemani aunty kecil kesayangannya ke tempat peristirahatan terakhir. Sepasang mata bulatnya membengkak karena terlalu banyak menangis. Tubuhnya dibalut gaun hitam, tidak jauh berbeda dengan insan lain.
Emily melambaikan tangan sewaktu tubuh kaku Varsha, aunty kecil sekaligus putri tunggal Aariz, dibawa pergi. Bibirnya mencebik ke bawah, pertanda bahwa ia tengah menahan tangis. Setelah ini, Emily tidak akan bisa bermain dengan Varsha lagi.
Sementara itu, di sekolah, Darren mencari-cari keberadaan Emily. Karena tidak ketemu, anak Kyra itu sampai bertanya kepada wali kelas Emily. Guru tersebut mengatakan jika Emily tidak masuk karena ada urusan keluarga.
Darren memandangi botol minum pink di tangan dengan saksama. Ini milik Emily, bukan punyanya. Mana mungkin Darren memiliki botol seimut dan se-girly itu.
Kemarin, Darren lupa membawa minum. Emily pun berinisiatif untuk membagi minumannya. Namun, ketika Darren masih minum, tiba-tiba pihak keluarga Emily datang menjemput. Padahal, waktu itu belum jamnya mereka pulang.
Sebelum benar-benar pergi, Darren berteriak jika ia berjanji akan mengembalikan botol minum tersebut besok. Bahkan, bocah itu mengisi botol minum dengan jus buah sebagai tanda terima kasih.
Tapi, sayang, Emily malah tidak masuk.
“Terus gimana dong botolnya?” bingung Darren. Mau tak mau, ia membawanya kembali. Lelaki kecil itu duduk termenung di kelasnya.
Apa Darren ke rumah Emily aja, ya, buat balikin ini? Darren, kan, udah janji. Janji harus ditepati, itu kata mami.
...💫💫💫...
“Ke rumah Emily, Sayang?” Kyra terkejut mendengar permintaan putranya. “Memangnya mau ngapain ke sana?”
Darren mengeluarkan botol minum pink dari tas, menunjukkannya pada sang mami. “Ini punya Emily, Mi. Darren udah janji mau balikin hari ini. Tapi, Emily nggak masuk, katanya ada urusan keluarga.”
Kyra berlutut dan mengusap pipi Darren. “Gimana kalo kita ke sana, kita malah ganggu, Sayang? Emily, kan, ada acara keluarga, pasti dia lagi kumpul sama keluarganya.” Kyra berusaha menjelaskan.
Bukannya tidak ingin mengantar, wanita itu malas jika harus bersitatap dengan daddy Emily yang datar dan menyebalkan itu.
“Kita ke sana, ya, Mi, sebentar aja. Darren udah janji mau balikin hari ini,” lirih Darren. “Nanti kalo emang nggak bisa, kita nggak usah masuk. Kita langsung pulang aja.”
Tidak ingin mengecewakan putranya, Kyra pun mengiyakan. Lagipula, niat Darren, kan, bagus. Anak itu ingin menepati janji, jadi harus didukung, kan?
Haaahh.. mungkin aku yang harus ngalah..
Alhasil, mobil yang Kyra kendarai melaju menuju mansion Kennedy. Ia tahu lokasinya di mana. Bukan hal yang sulit untuk mencari tempat tinggal orang seterkenal mereka.
Butuh waktu hampir 20 menit untuk tiba. Dari luar gerbang, Kyra dan Darren berdecak kagum melihat bangunan mewah yang berdiri kokoh dengan pekarangan luas. Tidak, bukan hanya luas, tapi sangat-sangat-sangat luas, sampai-sampai Kyra bisa memelihara seluruh binatang dari penangkaran.
“Wow, tempatnya keren, Mi,” celetuk Darren. Kyra mengiyakan. Toh, kenyataannya memang seperti itu. “Tapi, kok, banyak orang yang pake baju hitam, ya, Mi?”
Ya, itulah yang menjadi fokus Kyra sedari tadi. Apa yang terjadi di tempat ini sampai—tunggu sebentar! Baju hitam artinya sedang berduka, kan?
Sial! Kyra sungguh-sungguh penasaran.
Darren mendadak ragu. “Kayaknya kita ganggu, deh, Mi,” ucapnya pelan. “Mungkin besok aja.”
Tidak sesuai pemikiran Darren, Kyra turun lebih dulu. Mau tak mau, Darren ikut keluar dan menyusul sang mami yang mendekati satpam.
“Maaf, permisi, Pak.” Kyra bertutur sopan. Dua satpam pria berbadan besar menoleh dan menatapnya tajam. “Ehm, benar ini rumah Emily?”
“Benar. Ada keperluan apa?”
“Tidak, kami hanya ingin bertemu. Tapi, sepertinya di dalam sedang sibuk, ya?” Kyra melirik ke dalam. Wajahnya dibuat kecewa. Seandainya bisa, Darren ingin memberi applause untuk maminya ini.
Di ratu akting memang beda kalau sedang menjalani peran.
“Hm. Di dalam sedang sibuk, jadi pergilah, Nona,” ketus salah satu satpam.
Kyra berlagak ingin kembali. Ia memandang putranya sendu. “Maaf, ya, Sayang. Mungkin kita ketemu Emily lain kali.”
Darren menunjukkan raut kecewa yang kentara—ikut ambil bagian di drama Kyra. Di tangannya ada botol minum pink milik Emily. “Padahal, Darren ingin balikin ini, Mi,” lirihnya sedih.
Salah satu satpam terkesiap. Ia memandang sepasang ibu dan anak di depannya dengan pandangan rumit. Nama Darren pernah ia dengar dari bibir mungil Emily. “Nama Anda Darren?” tanyanya.
Darren mengangguk dengan bibir mencebik ke bawah. “Darren mau balikin ini, Om” Menunjukkan botol minum di tangan. “Darren mau berterima kasih sama Emily. Tapi, nggak bisa, ya, Om?”
Kyra hampir tertawa lepas melihat binar simpati dari mata kedua satpam. Mereka langsung goyah melihat Darren yang memeluk botol minum pink dengan bola mata hijau berkaca-kaca. Sumpah, ternyata kemampuan akting putranya jauh lebih baik dibandingkan dirinya.
Salah satu satpam berdeham guna menetralkan perasaan iba di hati. “Saya akan menghubungi nona kecil untuk bertanya.” Setelah itu, ia berbalik ke pos untuk menghubungi orang dalam.
Darren dan Kyra tersenyum puas dalam hati. Memasang raut polos dan memelas memang cara terampuh untuk menarik perhatian orang lain.
Tidak sampai lima menit, satpam tadi kembali dan mempersilakan Kyra masuk. Bahkan, Kyra diminta untuk memasukkan mobil supaya tidak menghalangi jalan.
“Darren pintar banget, sih, pasang mukanya,” goda Kyra.
Darren terkekeh, paham maksud sang mami. “Kan, belajar dari ahlinya,” tuturnya bangga. Keduanya cekikikan.
“MOMMY!”
Kyra terkejut melihat Emily berlari menghampirinya. Bukan, bukan karena panggilan yang tersemat. Melainkan gaun hitam yang Emily kenakan dan mata bengkak gadis kecil itu.
Sebenarnya apa yang terjadi?
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Renireni Reni
ya ampun...kompak banget
2023-07-14
1
Elizabeth Zulfa
ngomong2.... ini kyra g ada tnda2 hamil kah....??? kn mreka ( kyra & eiden ) prnah brhubungan intim...
2022-12-31
3