“MOMMY!”
Kyra terkejut melihat Emily berlari menghampirinya. Bukan, bukan karena panggilan yang tersemat. Melainkan gaun hitam yang Emily kenakan dan mata bengkak gadis kecil itu.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Kyra berlutut dengan tangan merentang yang disambut pelukan dari Emily. Tangis gadis kecil itu pecah, sangat keras hingga menarik atensi seluruh insan. Bahkan, Darren saja terkejut melihat Emily menangis sekencang itu di pelukan maminya.
Abigail, Cavan, Eiden, dan anggota keluarga Kennedy lainnya menyusul. Mereka tadi kaget karena Emily langsung berlari keluar usai menerima berita jika Kyra dan Darren ada di sini.
“Emily kenapa, hm?” tanya Kyra lembut. Sekilas, wanita itu melirik pakaian yang dikenakan keluarga Emily. Semua hitam. Kayaknya emang ada yang meninggal..
“Hiks.. Mommy... huaaa..” Emily meraung-raung. Pokoknya, semua tidak ditahan lagi. Air matanya luruh. “Uty... Uty Varsha pergi, Mommy.. hiks...”
Walaupun tidak tahu siapa Uty Varsha yang dimaksud, Kyra tetap mengangguk. Yang ia tahu, Emily menyayangi Varsha, tapi orang itu sudah meninggal. Wanita beranak satu itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, membiarkan Emily menangis di bahunya sembari mengusap punggung Emily.
Karena tidak tega, Eiden menyusul. Ia ingin mengambil alih putrinya, namun kalungan tangan Emily terlalu kuat di leher Kyra. “Ikut Daddy, ya.”
“Nggak! Emily mau Mommy, hiks.. mau sama Mommy...” raung Emily. Ia melingkarkan kakinya di pinggang Kyra dengan kepala tenggelam di ceruk leher.
Kyra memberi kode supaya membiarkan Emily. Alhasil, Eiden berhenti mencoba.
Beberapa menit berlalu. Tangis Emily mereda, menyisakan senggukan kecil. Kyra merenggangkan pelukan. Tangannya bergerak mengusap pipi basah Emily. “Udah puas nangisnya?” tanya Kyra.
Emily cemberut. Ia mengangguk lucu dengan hidung memerah dan bibir mengerucut.
“Jadi, Uty Varsha meninggal?” tanya Kyra memastikan.
Emily mengangguk.
“Makanya, Emily sedih?”
“Iya, Mommy.”
“Emily sedih nggak kalau Uty Varsha sedih?”
“Sedih,” jawab Emily cepat.
“Emily tau nggak, orang yang meninggal itu bisa liat kita dari atas, lho.”
Emily mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. “Beneran, Mommy?”
Kyra mengangguk. “Kalo Uty Varsha liat Emily kayak gini, kira-kira dia sedih nggak, ya?” Kyra memasang raut sendu. “Sedih boleh, Sayang. Tapi, jangan lama-lama. Karena sedih itu nular. Kalo Emily sedih, Uty Varsha di sana juga ikut sedih. Emily mau Uty Varsha sedih?”
Buru-buru Emily menggeleng. Ia, kan, sayang pada aunty kecilnya itu.
“Nah, makanya Emily jangan nangis lagi.” Kyra mengusap pipi Emily gemas. “Lagian ada yang lebih parah, lho.”
“Apa?” tanya Emily ingin tahu.
Kyra menunjuk dengan dagunya. Sontak Emily menolehkan kepala, memperhatikan keluarganya yang tengah menatapnya sendu. “Seperti yang Mommy bilang, sedih itu nular, Sayang. Gara-gara Emily nangis, yang lain ikut sedih. Daddy, grandma, grandpa, semuanya sedih.”
“Jadi, sudah, ya, nangisnya. Nangis nggak akan ngehasilin apa-apa, Sayang, malah buat kamu capek sendiri. Nanti mukanya jelek,” tambah Kyra menggoda gadis kecil itu.
Emily langsung kesal. “Emily nggak jelek, ya, Mom!” ketusnya melipat tangan di depan dada.
Kyra terkekeh. Ia menggendong putri Eiden itu, lalu berdiri. Ia berjalan menuju pintu utama yang diisi keluarga besar Kennedy. “Semua orang pasti meninggal, Sayang. Cuma.. kapan kita meninggal, nggak ada yang tau.”
Kyra menurunkan Emily di depan Abigail. “Walaupun Uty Varsha udah nggak ada, tapi, kan, Emily masih bisa ingat-ingat Uty Varsha. Kenangan Uty Varsha masih tetep ada. Jadi, Emily jangan sedih. Nanti nular ke banyak orang. Mommy juga ikutan sedih nanti. Tadi aja Mommy hampir nangis, untung ditahan.”
“Emang nangis bisa ditahan, ya, Mommy?” tanya Emily polos.
Kyra cengengesan. “Bisa dong. Tapi, mata Mommy jadi sakit. Aduuhh..” Sok pura-pura mengusap mata.
Bibir Emily kembali menekuk ke depan. Tangan mungilnya bergerak mengusap mata Kyra. “Sakit, ya, Mommy?”
“Iya, Sayang, aduuhh.. sakit.” Kyra berakting.
Darren yang melihat berdecih. Si ratu drama memang suka sekali bertingkah. “Udah, ya, Mami.” Buru-buru ia mendekat dan menepuk lengan Kyra. “Apa-apaan barusan? Adegan pengabaian anak kandung demi anak tiri?”
“Astaga, Mami salah apa sama kamu, Darren?” protes Kyra mengusap lengannya. Nggak kira-kira putranya menggeplak tangannya.
“Itu tadi, Mami gendong Emily terus ngelewatin Darren gitu aja. Darren jadi pemeran anak nggak dianggap gitu?” Yang ini Darren sungguhan kesal tidak, sih? Bocah itu melipat tangan di depan dada dengan botol di genggaman. Raut wajahnya nampak sebal.
“Darren, Mami, kan, sedang berbuat baik, menenangkan gadis kecil yang sedang sedih. Harusnya kamu contoh.” Kyra kesal. “Ikut tepuk-tepuk kek, atau kasih kalimat penenang kek. Nggak liat apa kalo Emily lagi sedih?”
“Iya, sih, sedih. Darren punya mata dan masih berfungsi dua-duanya.” Darren melotot ke arah sang mami. “Tapi, emang perlu Mami lewatin Darren gitu aja? Apa Darren cuma patung pajangan doang? Minimal diajak kerja sama kek, gitu, lho.”
“Apa? Kamu cemburu?” ledek Kyra.
“Cih, cemburu?” Darren memaksakan diri untuk tertawa. “Enak aja Darren cemburu. Ini cuma perasaan tidak terima, ya, Mi. Tujuan kita ke sini, kan, bukan jadi pemeran drama anak tiri dan anak kandung. Tapi, balikin botol minum. Kalo mau main drama, Darren jadi anak kandungnya dong. Nggak seru, ah, kalo gini.”
“Ppfftt...” Beberapa orang di belakang Abigail menahan tawa melihat interaksi Darren dan maminya. Unik sekali.
Kyra mendesis sinis. Ia baru saja ingin membalas, namun tawa Emily pecah duluan. Anak perempuan itu bertepuk tangan riang. “Mommy sama Kakak lucu, deh.”
Sementara Emily fokus tertawa, Darren dan Kyra saling melirik. Keduanya menyunggingkan senyum misterius. Tanpa diketahui Emily, sepasang ibu dan anak itu bertos ria, lalu mengacungkan jempol.
Misi menghibur Emily, sukses.
...💫💫💫...
“Kenapa saya dipanggil kemari, Nyonya?” tanya Kyra. Usai menenangkan Emily tadi, ia tidak langsung pulang. Gadis kecil itu mengajaknya dan Darren untuk tinggal sebentar.
Ribuan pertanyaan Kyra terima. Banyak yang menanyainya ini dan itu. Pasalnya, jarang sekali Emily bisa dekat dengan orang luar. Putri Eiden itu bahkan tidak berhubungan dekat dengan kerabat yang memiliki ikatan darah. Ada pun hanya beberapa.
“Menikahlah dengan anak Tante, Kyra,” ucap Abigail.
Shock!
Kyra sampai tidak bisa berkata-kata. Begitupun dengan lelaki di sebelahnya. Ini ada badai apa, sih, sebenarnya? Kenapa maklumat tak diduga begini bisa menggema tiba-tiba?!
“Maksud Mama apa?” Dengan raut datarnya, Eiden bertanya.
“Mama ingin kalian menikah, itu aja.”
Kalau itu, saya juga tahu, Nyonya. Kyra geregetan sendiri, deh. “Maksudnya, alasan Anda ingin kami menikah apa, Nyonya? Ini sangat tiba-tiba dan tidak... saya duga.”
Abigail membisu. Wanita paruh baya itu memandang Kyra dan Eiden bergantian dengan sorot rumit. Usai menghela napas, ia berkata, “Menikahlah demi anak-anak, Nak.”
Tahu jika kedua insan berbeda gender di hadapan masih tak mengerti, Abigail melanjutkan. “Demi Darren dan Emily. Kalian berada di situasi yang sama, kan? Kalau kalian menikah, Emily dan Darren akan punya orang tua lengkap.”
Ah, Kyra mendapat sedikit titik terang di sini. Apa Abigail menyerukan permintaan—atau mungkin perintah—tak terkira ini akibat adegan pelukan di luar mansion beberapa menit lalu? Jika iya, ini cukup masuk akal.
Iya, masuk akal bagi seorang nenek yang menyayangi cucunya.
“Selama ini, Emily nggak pernah dekat sama wanita mana pun, Nak. Cuma kamu, cuma kamu yang dia sebut. Tante aja kaget waktu dia manggil kamu ‘mommy’ tadi,” papar Abigail pada Kyra. “Tante paham kalian sama sekali nggak punya perasaan satu sama lain. Tapi, apa salahnya mencoba? Seenggaknya, anak-anak kalian bahagia.”
Punya bapak triplek datar kayak ginigini bahagia?! Hahaha... lucu sekali, Nyonya. Dunia jungkir balik kalo gitu.
Kyra menggeleng. “Tidak, Nyo—”
“Panggil ‘tante’ saja, Nak. Atau ‘mama’ juga boleh,” sela Abigail dengan senyum lembut.
Kyra mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu, berdeham. “Tante, perkataan Tante mungkin ada benarnya. Tapi, putra saya tidak membutuhkan itu. Dia sudah mengikhlaskan kepergian papinya.”
Abigail mengulas senyum. “Apa kamu yakin, Kyra?”
“Hm?”
“Mungkin Darren bertingkah seperti itu demi kamu, supaya kamu nggak sedih. Apa kamu bisa jamin kalau Darren nggak pernah mau kasih sayang seorang ayah?”
Sial! Kalau begini, Kyra jelas tahu jawabannya. Ia saksi di beberapa malam ketika sang putra mengigau papinya atau menatapi figura Wildan yang dipajang.
Hanya saja, menikah lagi? Itu kegiatan terakhir di daftar prioritas Kyra.
Apalagi calonnya Eiden. Yang ada Kyra bisa mendadak kehilangan nyawa karena tekanan darah tinggi.
“Tante, saya tetap ti—”
“Oke. Akan kami pikirkan,” sela Eiden yang sukses membuat Kyra terkejut. Usai berpamitan, ia menarik lengan Kyra keluar ruangan, ruang kerja Eiden.
“Kau!” Kyra menyentak tangannya. Usai mengamati sekitar yang jauh dari keramaian, ia menuding wajah Eiden. “Apa maksud kata-kata Anda tadi, hah?!” Kalimat Eiden bukannya sedikit ambigu? Itu artinya mereka memberi harapan pada Abigail jika mereka akan berdiskusi untuk menindaklanjuti, kan?
“Lakukan saja.” Eiden menatap Kyra datar. Bedanya, kali ini Kyra bisa merasakan jika sorot itu sedikit melunak dari biasanya. “Menikah denganku.. demi anak-anak.”
“Hei, Tuan Narsis.” Kyra menajamkan pandangan. “Menikah dengan Anda? Hah! Itu mustahil.”
Dahi Eiden mengerut. “Mustahil? Kenapa?”
Kyra melipat kedua tangannya di depan dada, menunjukkan jika ia memiliki otoritas tersendiri. Wanita itu tidak akan kalah atas intimidasi yang Eiden beri. “Saya tidak mau menikah dengan laki-laki kaku seperti Anda.”
“Apalagi, kita tidak saling mengenal. Tidak ada perasaan sama sekali antara saya dengan Anda. Saya malah berpikir Anda menyebalkan sekali.” Kyra berdecak. “Bukannya pernikahan ini akan sia-sia?”
“Setidaknya, kedua anak kita bahagia bukan?” balas Eiden dengan alis terangkat sebelah.
“Mungkin lebih tepatnya, anak Anda, bukan anak kita.” Kyra maju satu langkah. Bola mata mereka bersirobok satu sama lain. “Selama ini, saya memang dekat dengan putri Anda. Tapi, memangnya Anda dekat dengan putra saya?”
Eiden terdiam.
Kyra tersenyum miring. “Seandainya kita menikah, Emily akan sangat senang. Lalu, Darren? Dia akan merasa tersisihkan karena perhatian maminya terbagi dan dia tidak mendapat kasih saya papinya. Itu tidak adil, kan?”
Melihat Eiden bungkam, Kyra tersenyum penuh kemenangan. Perkataannya barusan pasti menampar balik lelaki itu. Selama ini, kan, Eiden cuek sekali, termasuk pada Darren. Memikirkan putranya yang terabaikan membuat Kyra tidak nyaman.
“Jadi, Tuan Narsis.” Kyra menekan setiap kata pada kalimatnya. “Jangan suka berpikir yang aneh-aneh. Kita berdua tidak akan menikah karena pernikahan ini hanya menguntungkan sepihak. Jadi, permisi. Saya pamit pulang.”
Kyra berbalik, melangkah menjauh dari Eiden yang bergeming di posisi.
“Gimana kalau ini menguntungkan kita berdua?”
Suara bernada datar itu mengalun di telinga Kyra. Wanita itu menghentikan ayunan kakinya, lalu berbalik melihat Eiden yang mendekat. “Apa?”
“Gimana kalau pernikahan ini menguntungkan kita berdua? Apa kamu setuju?” tanya Eiden.
Kyra menaikkan sebelah alisnya, bingung.
“Satu minggu.”
“Apanya?” Kyra tidak paham.
“Aku akan mendekati Darren selama satu minggu. Jika Darren menyukaiku, maka kamu harus menerima pernikahan ini. Bagaimana?”
Wow, apa barusan Eiden menantang Kyra? Sebuah tantangan yang dibumbui tawaran aneh?
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Nah mending nikahin aja mereka oma..Untung aja kerja keras Eiden malam itu gak membuahkan hasil adek untuk Emily dan Darren..😆😆
2025-01-20
0
Qaisaa Nazarudin
SKAKMATT buat Eiden..Emily mah untung Darren yg buntung..😌😌
2025-01-20
0
Dara duri Rose
manis banget
2024-03-11
0