“Grandma, Grandpa, Emily pulang!” seru Emily berlari masuk ke dalam mansion.
“Cucu Grandma udah pulang.” Abigail, ibu Eiden, merentangkan tangan dengan posisi berjongkok, menyambut pelukan cucu perempuannya. “Gimana tadi sekolahnya?”
“Seru, Grandma!” jawab Emily. Ia celingukan sebentar. “Grandpa di mana, Grandma?”
“Grandpa lagi keluar, Sayang, ada urusan.”
Emily manggut-manggut. Sedetik kemudian, bocah itu kembali bersemangat. “Oh, ya! Grandma, hari ini Emily dapat teman baru, lho, di sekolah.”
“Wah, Emily dapet teman baru?” ulang Abigail seraya menggendong cucunya menuju lift mansion, ingin mengantar ke kamar untuk berganti outfit.
Emily mengangguk antusias. “Namanya Kak Darren, Grandma. Kak Darren punya mami, namanya Aunty Kyra. Aunty Kyra baiiiiiikk banget. Dia juga cantik sekali, Grandma. Emily suka.”
Abigail tersenyum kecut mendengar penuturan cucunya. Sejak kecil, Emily tidak pernah bertemu dengan mommy kandungnya. Gadis kecil itu sering bertanya mengenai sang mommy, namun Eiden tidak pernah menjawab. Abigail pun tidak kuasa untuk menceritakan yang sebenarnya.
“Grandma, mommy Emily ada di mana, sih? Kok nggak pernah dateng ke sini?” tanya Emily sedikit merengek. “Emily mau main sama mommy juga seperti teman-teman Emily. Emily mau punya mommy kayak Aunty Kyra.”
Abigail menurunkan cucunya di kamar gadis kecil itu. “Nanti, ya, kapan-kapan Grandma ceritakan. Sekarang.. Emily ganti baju terus kita makan siang.”
Emily mengerucutkan bibir, kesal karena pertanyaannya tidak pernah dijawab. “No, Grandma. Emily mau makan siang sama daddy.”
“Sama daddy? Daddy masih di sini, Sayang?”
“Iya. Daddy tunggu di mobil, mau ajak Emily makan steak.”
“Oke, deh. Sekarang ganti baju dulu.”
“Siap, Grandma.”
...💫💫💫...
“Selamat da—”
“Sstt..” Eiden memberi kode supaya Garry, asistennya, diam. Pasalnya, Emily tengah tertidur dalam dekapan. Usai makan siang bersama, keduanya tidak segera pulang. Mampir terlebih dahulu ke mall untuk bermain. Mungkin efek terlalu lelah, gadis kecil itu hanyut di dunia mimpi sewaktu dalam perjalanan.
Eiden meletakkan Emily di ruang pribadinya. Posisi mereka saat ini berada di markas milik Eiden.
Eiden Athallah Kennedy, putra tunggal dari pasangan Cavan Kennedy dan Abigail Kennedy. Lelaki itu merupakan CEO perusahaan ternama yang berhasil masuk ke skala Benua Asia. Sekaligus pemimpin mafia terhebat, Blood Moon.
Lelaki itu dikenal dengan sifat dinginnya. Dia tidak tersentuh. Hanya keluarganya saja yang bisa merubah kepribadiannya menjadi lebih hangat—terutama Emily, putrinya dari hasil pernikahan pertama.
Ya, Eiden sudah pernah menikah. Namun, ikatan suci itu putus karena suatu alasan. Entah di mana mantan istrinya itu berada, Eiden tidak peduli lagi.
“Tuan Muda, tadi pagi, kita mendapat paket berisikan anggota tubuh anak buah kita,” lapor Garry. Di sampingnya, ada Michael dan Erryan, sahabat Eiden yang juga bagian dari Blood Moon. “Saya sudah meminta anak buah kita untuk menyelidikinya dan hasilnya—”
“Mafia The Zero’s yang melakukan, benar?” terka Eiden tepat sasaran. Garry pun membenarkan.
Air muka Eiden benar-benar datar, tanpa ekspresi. The Zero’s adalah musuh bebuyutan Blood Moon. Sejak dahulu, mereka terus berselisih karena suatu masalah. Bahkan, perseteruan kedua belah pihak sudah ada semenjak zaman orang tua mereka.
“Tangkap salah satu dari mereka, lalu cincang dia sama seperti mereka memperlakukan anggota kita. Impas, kan,” titah Eiden dengan seringaian bengis.
Garry, Michael, dan Erry mengangguk patuh. “Baik, Tuan Muda.”
“Lalu, bagaimana penyelidikan kalian?” tanya Eiden.
“Kami—”
“Daddy..?”
Mendengar suara serak bernada polos itu membuat Eiden menghirup napas dalam-dalam. Lanjut melengkungkan bibirnya hingga membentuk senyuman. Tidak jauh berbeda dengan ketiga sahabatnya, mereka langsung menghentikan pembicaraan dan memasang senyum di paras masing-masing.
Eiden berbalik menatap Emily. “Putri Daddy udah bangun?”
Emily mengucek-ucek matanya. Ia berjalan kecil mendekati sang daddy, memeluknya erat dengan wajah sayu. “Kita di mana, Daddy?” cicitnya merasa tidak mengenali lokasi mereka saat ini.
“Ini rumah Daddy yang lain, Sayang. Mau pulang?”
Emily mengangguk. Kepalanya ditengadahkan. Ia melambai pada ketiga lelaki yang berdiri di belakang Eiden. “Halo, Uncle,” sapanya.
Erry tersenyum gemas. Ia mencubit pelan pipi Emily. “Halo juga, Cantik.”
“Ciee.. baru bangun, ya?” goda Michael dengan wajah tengil. “Pantes bau asem.”
Bibir Emily mengerucut ke depan. “Emily wangi, nggak asem!”
“Bau asem,” ejek Michael.
Karena merajuk, Emily menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Eiden. “Daddy, Uncle El nakal. Masa Emily dibilang bau asem?”
Eiden terkekeh saja, tidak menanggapi lebih lanjut. Ia berpamitan pada ketiga sahabatnya. Garry mengangguk, sementara Michael dan Erry melambaikan tangan.
Sifat Garry memang seperti itu. Dingin seperti dirinya. Hanya saja, Eiden jauh lebih bisa mengendalikan ekspresi maupun emosi. Jadi, tolong dimaklumi jika kedua lelaki itu jarang dideskripsikan tengah mengukir senyum, oke?
“Hati-hati, Cantik,” seru Erry mengantar kepergian Emily dan Eiden.
Sepanjang perjalanan, Emily terus menanyai Eiden mengenai rumah tadi. Barusan adalah kali pertama dirinya memasuki hunian. Selama ini, Eiden memang menyembunyikan jati dirinya sebagai seorang mafia. Ia tidak mau putrinya turut dalam bahaya karena permasalahan orang dewasa.
“Daddy,” panggil Emily entah yang keberapa.
“Iya, Sayang?” sahut Eiden berusaha sabar.
“Emily mau bertemu mommy,” rengek gadis kecil itu.
Eiden terpaku. Lidahnya mendadak kelu untuk sekadar menjelaskan. Putrinya masih terlalu dini untuk mengetahui fakta sebenarnya. “Kenapa Emily ingin bertemu mommy?” tanya Eiden pada akhirnya.
“Emily, kan, mau main sama mommy, Daddy. Emily mau punya mommy seperti teman-teman Emily yang lain,” papar Emily mengutarakan isi hatinya.
“Mommy udah pergi ninggalin kita, Sayang. Emily nggak usah tanya-tanya soal mommy lagi, ya,” tutur Eiden menjelaskan secara halus. Ia tidak ingin putrinya terus mengungkit masa lalu, terutama mengenai mantan istrinya.
“Apa mommy nggak akan pernah kembali, Daddy?”
“Nggak akan, Emily.”
“Tapi, kenapa? Apa mommy nggak sayang sama kita? Sama Emily?”
“Nggak, dia nggak sayang sama Emily.” Menyadari perubahan air muka putrinya, buru-buru Eiden menambahkan kalimat. “Cukup Daddy, grandma, sama grandpa yang sayang sama Emily. Emily nggak perlu pikirin soal mommy lagi, oke?”
Walaupun tengah dilanda kesedihan, Emily tetap menganggukkan kepala. “Iya, Daddy.” Ia menundukkan kepala, sedih karena kenyataan barusan menyayat hati lembutnya.
Bukankah seorang ibu pasti menyayangi anaknya? Kenapa mommy Emily malah pergi tanpa menemui Emily sama sekali? Bahkan, Eiden mengatakan jika sang mommy tidak menyayangi Emily.
Sebenernya, mommy ke mana, sih?
“Daddy!” pekik Emily tiba-tiba. Eiden sampai terlonjak kaget dengan perubahan putrinya yang mendadak. Beruntung mobil yang ia kendarai tidak oleng karena terlampau kaget. “Kalo gitu, cariin mommy baru buat Emily!”
“Hah? Mommy baru?”
^^^To be continue...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Hilang di telan waktu,Tapi saat mantan suami mulai bukak hati dan mulai bahagia,Dan saat itu lah MANTAN isteri nya muncul dgn drama SOK TERSAKITI,Dan pengen kembali dengan ALASAN ANAK..Udah biasa Alurnya kek gitu mana2 novel yg ku baca..🙏🙏😂😂
2025-01-20
0
Qaisaa Nazarudin
Nah loe Eid..Cariin Emy mommy baru..🤣🤣
2025-01-20
0
Qaisaa Nazarudin
Untung bukan genk nya Kyra..🤣🤣😜
2025-01-20
0