Tok Tok
"Masuk."
Suara yang tegas berwibawa itu berganti dengan suara pintu yang terbuka dan derap langkah kaki seseorang.
"Maaf Tuan, kami sudah mendapatkan apa yang anda perintahkan.“
Bagas Wiatama, pria yang dipanggil Tuan itu mengalihkan perhatiannya dari file yang ada di tangannya.
"Benarkah?" tanyanya semringah. Terlihat sangat senang dan puas.
"Iya, nona Raline sudah sekitar 15 menit yang lalu mendarat di Jakarta. Sekarang dia dalam perjalanan pulang menuju mansion mewah kediaman keluarga Abraham bersama para pengawalnya," lapor pria itu.
"Bagaimana dengan gambarnya, kalian mendapatkannya?"
Pria manis berkacamata itu menjawab, "Ya." sembari menyerahkan sebuah camera pada Bagas.
"Masih tetap jutek dan bossy seperti dulu,“ komentar Bagas saat memperhatikan photo-photo Raline pada camera itu, ketika di bandara, di caffe dan saat memarahi pengawalnya.
"Tapi tetap terlihat cantik, Tuan," tutur pria muda itu membuat Bagas tertawa.
"Kenapa, kamu menyukainya?“ pertanyaan itu membuat pria tersebut terkejut.
"T-Tidak Tuan, saya tidak berani. Lagi pula, dia kan gadis incaran Anda."
Bagas kembali tertawa mendengar kata "incaran" yang disebutkan oleh assistennya itu. Seperti dia hewan buas saja.
"Baiklah, kamu boleh pergi."
"Terima kasih, Tuan.“ Pria itu membungkuk hormat sebelum akhirnya meninggalkan ruangan tersebut beserta Bagas.
Bagas kembali pada kameranya yang masih memperlihatkan keangkuhan gadis itu di sana. Sesaat dia tersenyum. Tidak menyangka kalau pertemuannya dengan seseorang beberapa waktu lalu membuahkan hasil.
Dua pria berbeda generasi itu tampak duduk saling berhadapan. Di depan mereka terhidang berbagai menu makanan ditemani sebotol minuman.
Fernan Abraham, pria paruh baya yang merupakan konglomerat di Indonesia itu menatap pria muda di hadapannya. Pria yang dia tahu bukan orang sembarang. Sebagai sesama pengusaha mereka tentu saling mengenal dalam urusan bisnis.
"Baiklah, Tuan Bagas Wiatama. Apa yang ingin Anda bicarakan denganku, kurasa, soal kerja sama kita tidak ada masalah, kita sudah saling sepakat dan menandatangani kontrak. Apa yang mengganggu pikiranmu. Apa Anda ingin mengubah kesepakatan kita, atau Anda ingin membatalkan kontraknya, mungkin?"
Bagas tersenyum kecil. "Sebenarnya saya meminta waktu bertemu dengan Anda bukan untuk membicarakan tentang pekerjaan, Tuan Abraham."
Tuan Abraham terdiam sejenak. Tentu dia sedikit terkejut dengan penuturan pria di hadapannya ini.
“Saya ingin membicarakan hal pribadi dengan Anda."
Tuan Abraham mengangkat alisnya. "Apa itu?" tanya Tuan Abraham. Sedikit tertarik karena tidak mungkin orang sesibuk Bagas Wiatama meminta bertemu jika untuk urusan tidak penting.
"Maaf jika saya lancang mengatakan ini.“
Tuan Abraham tampak terdiam. Menunggu apa yang akan keluar dari mulut Bagas.
"Aku ingin meminta putrimu."
"APA?"
"Aku ingin meminta putrimu, Raline Anggelina Abraham.“
Tuan Abraham menatap Bagas tidak percaya. Dari raut wajahnya yang tenang dan serius itu, dia tahu kalau Bagas tidak main-main dengan ucapannya. Namun, tetap saja ini mengagetkan untuknya.
"Ha ha haa haaaa ...."
Tuan Abraham tertawa dan meneguk minumannya. Sikapnya itu secara tidak langsung membuat nyali Bagas ciut. Biasanya, seperti apa pun keadaan yang Bagas alami ia selalu tenang dan percaya diri. Tapi dia tidak menyangka kalau meminta anak gadis orang rasanya akan seperti ini.
"Maafkan aku, Tuan Bagas. Tapi aku tidak bisa untuk tidak tertawa." Bagas mengusap tengkuknya. Dia sangat gugup sekarang.
"Tuan Bagas, putriku bukan gadis biasa.“ Bagas tersenyum. Tahu pasti makna dari ucapan pria paruh baya itu.
"Anda sangat pantas, bahkan terlalu pantas untuk mendampingi putriku. Saya tahu itu karena kita sudah saling mengenal sejak lama. Bukan hanya sebagai rekan bisnis, karena Papamu dan aku berteman baik, tapi...." Tuan Abraham menjeda ucapannya dan menatap Bagas. "Putriku bukanlah orang yang cocok untuk mendampingimu. Dia keras kepala, kekanak-kanakan, sombong, dan egois. Dia tidak akan mendengarkanku jika aku tidak memaksanya. Aku khawatir, dia juga tidak akan menghormatimu nanti.“
"Aku sudah tahu itu, Tuan Abraham.”
"Apa?"
"Asal dia bersamaku, aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Lagi pula, aku sudah berjanji padanya."
Tuan Abraham mengernyit. "Kamu mengenal putriku?"
"Ya. Sepuluh tahun yang lalu. Tepat sehari sebelum dia berangkat ke New Zealand."
Bersambung ....
Btw, Raline blasteran ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments